Chapter 7


Emily berlari sambil mengangkat pinggiran roknya. Di belakangnya, Susannah tergopoh-gopoh mengikutinya. Emily menoleh ke belakang, "Oh, bolehkah aku berlari mendahuluimu, Susannah? Kurasa duelnya sudah dimulai... Aku harus melihat hasilnya dengan mata kepalaku sendiri..."

Larangan untuk mencegah Emily menonton ajang duel antara dua pria bodoh sudah ada di ujung lidah Susannah, namun melihat wajah cemas Emily, ia mengurungkannya. "My Lady, silahkan berjalan lebih dulu. Kakiku sudah tidak sanggup berjalan cepat. Saya akan menyusul Anda beberapa saat kemudian."

"Oh, kau tidak perlu memaksakan diri, Susannah... aku akan baik-baik saja. James... maksudku, Earl Darlington berjanji duelnya akan aman-aman saja..."

Susannah membiarkan nonanya berlari cepat ke arah keriuhan di depan kediaman Arundel. Firasatnya tidak enak sepanjang pagi. Susannah juga tidak bisa sepenuhnya percaya kepada seorang pria asing yang tampan, sekalipun dia adalah seorang Earl. Bagaimanapun, karena pria itu, nonanya ditampar oleh calon suaminya sendiri. Susannah menghela nafas dan menepuk lutut tuanya yang mulai terasa sakit. Ia hanya bisa berharap siapapun pemenang duel itu, nama baik nonanya akan tetap terjaga.


                                    -OOO-


Emily tiba ketika tepuk tangan riuh rendah berkumandang di halaman tengah kediaman Arundel. Ia berusaha menyeruak maju untuk menemukan pemenangnya. Hatinya melesak masuk melihat James tersenyum bangga sementara Arundel... Emily melihat calon suaminya berlutut di tanah.

Emily menoleh kebingungan ke kanan dan kiri. Beberapa lord maju untuk membantu Arundel dan memberikan dukungan semangat. Sebagian lainnya menyorakkan kemenangan James dan pria itu sendiri terlihat bangga dengan kemenangannya.

"Lady Emily!"

James menoleh dan menghampiri Emily. Tangannya tanpa bisa dicegah naik untuk merapikan anak rambut yang terancam lepas dari sanggul Emily. "Kau berlari kemari?"

"Aku cemas..." mata hijau Emily tampak kalut. "Apakah kau memenangkannya?"

"Itu tembakan yang jitu sekali, Darlington." Seseorang di sebelah mereka menepuk pundak James kagum.

Mata Emily kembali ke arah Arundel. Apakah pria itu tidak apa-apa? Bagaimana kalau ia terluka? Ia tidak akan menuntut James, bukan?

"Kenapa? Apa yang kau cemaskan?" mata biru James tampak agak aneh saat mengamati Emily yang berulang kali berusaha mengecek keadaan Arundel.

"Apakah dia tidak apa-apa?"

"Aku hanya menembak pistol di tangannya. Kurasa tangannya sedikit sakit atau tergores saat pistol itu terlempar jatuh dari tangannya." James menjawab ketus dan asal-asalan.

Wajah Emily melembut, jelas-jelas terlihat lega. Melihat hal ini, James merasakan kedongkolan naik ke lehernya. "Untuk apa mencemaskan bajingan yang sudah menamparmu itu? Aku sempat tergoda untuk membunuhnya..."

"James!" Emily membelalak memperingatkan. "Tidak perlu berlebihan, aku tidak apa-apa... Yang lebih penting, duelnya selesai dengan aman. Aku..." Emily menarik nafas dan menelan ludah, "Aku hanya tidak ingin sesuatu terjadi padanya dan kau disalahkan atau mendapatkan hukuman..."

Senyum kecil tersungging di bibir James. Ia merasa agak malu mengakui kalau ia sempat cemburu karena Emily kelihatannya lebih menaruh perhatian kepada Arundel yang jelas-jelas kalah jauh darinya.

James masih tersenyum ketika tahu-tahu Emily menoleh ke belakang dan dengan panik mendorongnya. Suara tembakan pistol terdengar dan teriakan kaget terdengar di seluruh lapangan.

"Kau gila, Arundel!"

Beberapa Lord yang semula berpihak pada Arundel langsung mengamankan pria itu dan menyita pistolnya. James menahan nafas, terkejut merasakan bobot tubuh Emily berpindah di atasnya. Ketika James mengangkat tangannya, ia bisa melihat warna merah di mana-mana. "Em... Emily!"

Emily tergolek di atasnya, bahu gadis itu merah oleh darah. James dengan panik mengusap rambutnya dan berteriak. "Panggilkan dokter kemari! Lady Emily... putri Duke of Holbrook terluka...!" Mata James memandang Arundel yang terlihat syok dengan perbuatannya sendiri.

"A-aku tidak bermaksud..."

"Ya," James menggeram. "Kau bermaksud membunuhku... tetapi digagalkan oleh Emily..."

Kerumunan pelayan pergi dengan panik untuk memanggilkan dokter. James meneliti bahu Emily dan menahan nafas. Begitu banyak darah. Apakah pelurunya bersarang di dalam? Apakah...tembus? Dengan terkejut ia menyadari tangannya terasa gemetar saat memeluk gadis itu.

"My Lady!" seru seseorang. Rupanya Susannah, pelayan Emily. "Astaga! Apa yang terjadi! Bukankah duelnya sudah selesai..."

"Arundel berusaha membunuhku..."

"Dan Lady Emily melindungi Anda?" tanya Susannah tegas. James mengangguk malu. Ia terlalu lengah. Dibutakan oleh kesombongan atas kemenangannya sendiri. Mungkin, kalau ia tidak berdekatan dengan Emily dan memanas-manasi Arundel seperti tadi... Emily tidak akan tertembak. Mungkin, kalau ia lebih siaga, Emily tidak akan tertembak.

Oh, demi Tuhan... dimana dokternya?

"Sekarang..." Susannah menarik nafas dan memberikan perintah kepada pelayan rumah Arundel. "Aku ingin kalian meminjamkan kamar tamu yang bisa dipakai untuk membersihkan lukanya dan memberikan pertolongan sementara. Semuanya berwajah pucat ketakutan, sepenuhnya sadar bahwa Tuan mereka baru saja berusah membunuh seorang bangsawan dan berlaku curang.

Arundel sudah pasti akan mendapatkan pengasingan dari para bangsawan lain.

"My Lord, bisakah kau menggendong Lady Emily ke kamar?" James mengangguk tanpa berkata-kata.

Emily terasa begitu ringan, ringkih, lembut, dan... pucat. James menundukkan kepalanya, mencium aroma rambut gadis itu dan menyesapnya. Apa yang telah dilakukannya? Semua ini hanyalah sia-sia tanpa kehadiran Emily di sisinya. Sepenuh hati, James berdoa kepada Tuhan untuk menyelamatkan nyawa Emily. Dan detik itu dia menyadarinya, bahwa selama ini ia sudah jatuh cinta kepada Lady Emily Holbrook.


                                -OOO-


Emily mengerjapkan mata. Sinar matahari menyelusup dari sela-sela gorden. Emily berkedip dan memandang sekeliling. Itu bukan warna gorden kamarnya, pikirnya. Matanya memandang langit-langit dan menilai. Ini juga bukan langit-langit kamarnya. Emily ingin bergerak bangun, tetapi sengatan rasa sakit di bahunya seakan terasa panas dan menusuk. Emily menjatuhkan tubuhnya dan mengernyit kesakitan. Rasanya mengerikan... bahunya terasa... seperti ditusuk ribuan jarum.

"Emmie!"

Emily melihat James masuk Bersama Susannah. "Bagaimana keadaanmu?"

"Apa yang terjadi?" tanya Emily lemah.

"Apakah kau tidak ingat? Arundel berusaha menembakku dan... kau mendorongku..."

Emily menatap James, samar-samar berusaha mengingat keseluruhan kejadian itu. "Aku tidak ingat jelasnya, aku hanya ingat Arundel menaikkan pistolnya ke arah jantungmu..."

"Demi Tuhan, Emmie..." James maju dan menggenggam tangan Emily. Mata biru kehijauan pria itu terlihat kalut. "Jangan melakukannya lagi... aku ingin... tidak... akulah yang seharusnya melindungimu, dan bukan sebaliknya..."

"Kau sudah melindungi kehormatanku dalam duel itu..." bisik Emily.

"Itu tidak cukup..." cetus James.

"Itu cukup... kenapa kau bersikeras itu tidak cukup..."

"Ini semua tidak akan pernah cukup, Emmie... aku menginginkanmu... bukan hanya menginginkan rasa terimakasihmu karena aku sudah membela kehormatanmu. Dan itu, termasuk dirimu di dalamnya. Bagaimana mungkin aku membelamu tanpa syarat seperti itu..."

"Aku..." Emily bergerak gelisah. "Aku tidak paham, James..."

"Maksud pemuda ini, dia menyukaimu, My Lady..." celetuk Susannah sambil setengah menggerutu. "Untuk apa bicara berputar-putar. Bahkan suamiku, Adrian saja bisa bicara lebih tegas daripada dirimu..."

Pipi Emily bersemu merah. "Aku tidak lupa, ya, kau menginginkanku... sebagai..." Emily berhenti mengucapkan kalimatnya. Ia tidak sampai hati menyebutkan kata simpanan. Mengetahui maksud James sebelumnya untuk menjadikan Emily simpanannya, menghabiskan satu malam bersamanya, bisa-bisa pria itu diusir keluar detik itu juga oleh Susannah.

"Tidak, Em..." James menggenggam tangan Emily lebih erat, menjatuhkan kecupan ke jarinya dan menempelkan tangan Emily ke pipinya. "Aku menginginkanmu lebih dari itu...."

"Aku tidak paham..."

Susannah terang-terangan menghela nafas kesal.

James melirik Susannah dan wanita tua itu menggeleng-geleng kecewa. James menggeram dan menghela nafas. Tampaknya wanita itu belum mengakui kalau ia adalah pria yang benar-benar pria, jantan, dan lebih dari layak untuk Emily.

"Aku akan ke bawah dan memanggilkan His Grace, My Lady..." Susannah mohon diri dan bergegas pergi. James menghela nafas lega sekaligus sebal.

"Ini di mana?"

"Ini di rumah Arundel..." Mata Emily membulat kaget. James tersenyum. "Tidak perlu cemas, dengan sedikit usaha dan uang yang kumiliki, aku bisa mengambil alih rumah ini. Sekarang, tidak ada yang perlu kau cemaskan selain berusaha sekuat tenaga untuk kembali pulih."

Mata James kembali memandang Emily, dan sejenak... kecantikan yang polos dari gadis itu mencuri hatinya sekali lagi. Apa yang baru saja ia katakan? Bahwa ia sebenarnya layak untuk Emily? Sungguhkah?

Gadis itu, Emily-nya... dengan semua keluguan dan kebaikannya... membuat James terombang-ambing dan merasa takut kehilangan dirinya setiap saat. Seakan Emily masih menjadi seorang gadis misterius dalam sebuah pesta topeng yang dihadirinya secara kebetulan. James menebak-nebak dan berpikir... sejak kapan ia menginginkan gadis ini?

Sejak kapan ia menginginkan Emily seutuhnya.. jiwa dan raganya?

Pegangan tangan Emily di dalam rengkuhan James bergerak. Jemari gadis itu balas mengenggam tangannya. "Ada apa, James? Kau diam, apa yang kau pikirkan?"

James tertawa hambar. "Banyak... tetapi aku tidak yakin harus mulai dari mana..."

"Pelan-pelan saja?" bujuk Emily tulus. "Sekarang, aku tidak punya pilihan selain berbaring seharian. Kau jangan cepat-cepat menyelesaikan ceritamu dan meninggalkanku..."

Hati James melesak lagi, kali ini terasa hangat sekaligus menyakitkan. Emily mengalami hal ini karena dirinya, tetapi di sinilah mereka berada. Berduaan di kamar Emily, dengan gadis itu sama sekali tidak menyalahkannya, dengan permintaannya yang begitu menggemaskan untuk ditemani oleh James. Permintaan yang seumur hidup tidak akan pernah James tolak.

"Bagaimana kalau kumulai dari satu kalimat yang sederhana?"

"Begitu juga boleh," senyum Emily. James mengerang dalam hati. Apakah sopan kalau ia mencium Emily dengan ganas di atas tempat tidur sementara gadis itu baru sadar setelah pingsan dua hari penuh? Bagaimana kalau Duke of Holbrook tiba-tiba naik dan mendapati James sedang berlaku tidak senonoh kepada putrinya.

"Baiklah," James berdehem beberapa kali dalam sebagian usahanya untuk menjernihkan kepala dan tenggorokkannya. "Bagaimana kalau kumulai dengan... kurasa aku mencintaimu, Lady Emily Holbrook...?"



>> to be continued


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top