Chapter 2


"Emily!" Penelope menyambut Emily dengan wajah cerah. Tangannya yang terentang lebar langsung merengkuh Emily masuk dalam pelukannya segera ketika kaki gadis itu menginjak tanah. "Aku senang kau datang kemari!"

"Penelope!" Emily membalas pelukan sahabatnya dan mencium aroma hangat lavender dari tubuh Penelope. "Aku senang kau begitu cepat membalas pesanku."

"Oh, bagaimana tidak?" sementara menarik Emily memasuki kediamannya, Penelope memerintahkan pelayan untuk membawa koper gadis itu masuk. "Aku sudah menyiapkan kamar untukmu. Kau tidak biasanya mengirim pesan meminta tolong padaku. Pasti ada sesuatu yang buruk atau mendesak terjadi. Aku mengenalmu, sayang. Kau tidak mungkin bertindak tanpa alasan begitu..."

"Mari kita minum teh dan berbincang di kamarmu. Aku akan meminta pelayan mengantarkan biscuit di kamar yang sudah kusiapkan. Akan lebih leluasa bagi kita untuk berbincang tanpa ada telinga lain yang mendengarkan," Penelope tersenyum dan menerima anggukan Emily sebagai persetujuan.

Kamar yang dipersiapkan oleh Penelope adalah kamar dengan cahaya matahari yang berlimpah. Emily berseru senang melihat kamarnya terasa hangat dan nyaman. "Tidak keberatan kalau kita duduk dan mengobrol di atas tempat tidur? Aku agak lelah dengan semua etiket dan semacamnya..." canda Penelope lagi.

"Jadi, katakan padaku... oh, ada apa? Aku tidak sabar mencecarmu dengan pertanyaan sejak menerima pesanmu."

Emily menarik nafas dan menatap langsung kea rah mata Penelope yang coklat keemasan. "Aku harap kau tidak terkejut. Aku akan menikah."

"Ya..." Penelope memiringkan wajah. Lalu: "Apa? Oh, tidak... kau akan menikah? Siapakah pria yang beruntung itu, sayang? Apakah dia mencintaimu? Bagaimana caranya melamarmu? Ayahmu sudah menyetujuinya?"

Melihat wajah Emily tampak muram, Penelope mengernyit. "Pasti dia bukan calon yang kauinginkan untuk menjadi suamimu. Kalau tidak... kau tidak akan mengirim surat itu padaku..."

"Begitulah," sahut Emily sambil menghela nafas. Ia pun memutuskan untuk menceritakan segalanya pada Penelope. Hobi ayahnya untuk bertaruh di pacuan kuda, hutang mereka yang menumpuk, pembukuan yang selalu defisit, dan kesemuanya itu berujung pada surat lamaran dari Earl of Arundel.

"Arundel?" Suara Penelope meninggi tanpa bisa dicegah. "Apakah dia punya putra?" Melihat Emily menggeleng, Penelope ikut panik. "Oh, ini menjijikkan sekali. Katakan padaku kau tidak bermaksud menikahi Earl tua itu. Dia kan..." Penelope menarik nafas. "Aku tidak bermaksud tidak sopan tetapi... dia bisa menjadi ayah kita, Em..."

Emily menghela nafas. "Aku sudah lelah menangisi nasibku kemarin, jadi kepalaku sudah lebih jernih sekarang..."

Penelope menggenggam tangan Emily erat. "Aku turut sedih mendengarnya..."

Obrolan mereka sempat terhenti dengan adanya pelayan yang masuk membawakan baki-baki berisi teh dan sandwich serta biskuit lezats untuk dimakan. "Aku harap kau mau makan lebih banyak, Em... ibuku selalu memarahiku karena lingkar pinggangku membesar, kuharap aku bisa memiliki tubuhmu yang sangat ramping..."

Emily tersenyum sambil berterimakasih dan mengambil salah satu kudapan ringan yang telah disiapkan. "Karena itu," Emily memelankan suaranya. "Aku berharap... bisa bergabung denganmu untuk melakukan kenakalan terakhirku... sebelum berakhir dengan nasibku yang menyedihkan sebagai istri Arundel. Maukah kau menolongku, Penelope?"

Penelope menepukkan tangannya. "Tentu saja! Aku mendukungmu sepenuh hati. Bagaimana kalau kau sekalian melakukan skandal dan menjebak seorang pria tampan untuk menikahimu..."

Emily mendesah. "Tidak mungkin, Arundel sudah setuju untuk membayarkan utang kami yang fantastis... jadi sebenarnya aku sudah terikat sebagai istrinya secara tidak langsung..."

Penelope mendesah. "Aku tidak tahu harus berkomentar apa. Aku ingin mencela Ayahmu yang seolah menjual putrinya, tetapi... aku paham kalian berada di situasi tanpa jalan keluar lain. Pria tampan yang bisa kaujebak mungkin tidak sekaya Arundel dan bisa jadi marah besar kalau tahu dia dijebak untuk membayarkan utang Ayahmu..."

Sementara Emily mengangguk, Penelope melihat sekeliling dan menyadari Emily hanya membawa satu koper berukuran kecil. "Apakah hanya itu bawaanmu?" Emily mengangguk, membuat Penelope membelalakkan matanya. "Kau tidak membawa gaunmu?"

Emily mendesah. "Ayah tidak punya cukup uang untuk membelikanku gaun bagus... ini gaun-gaun terbaik yang kumiliki..." aku Emily malu.

Hati Penelope ikut mencelus melihat kesulitan hidup Emily. Ia menggandeng Emily untuk mengikutinya. "Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu..." mereka berjalan ke selasar dan memasuki sebuah ruangan berisi kotak-kotak besar yang ditumpuk sembarangan. "Ini semua adalah baju milik Ibuku..." Penelope menunjuk kotak yang terletak di bagian lain ruangan. "Dan ini milikku..."

Mata Emily menatapnya tidak paham ketika Penelope meneruskan. "Aku bisa memberikan ini padamu kalau kau bisa mengubah ukurannya sendiri... aku tahu kau punya kemampuan menjahit... Ibuku tidak suka memakai gaun yang sama dua kali sehingga kadang kami memberikannya kepada para pelayan..."

Mata Emily membulat kaget. Tidak memakai gaun yang sama dua kali? Ia bahkan sudah berhenti menghitung berapa kali ia mengenakan ulang gaun yang sama sampai bahannya terasa terlalu tipis di kulitnya. Ini semua bagaikan hadiah yang terlalu luar biasa untuknya.

"Apakah kau berkeberatan dengan pakaian bekas, Em? Aku harap kau tidak tersinggung... Aku hanya merasa kau lebih membutuhkannya daripada para pelayan. Mereka mungkin menjualnya kembali, kau tahu?"

Emily mennggeleng dan tersenyum. "Oh, aku akan sangat senang menerima pemberianmu. Terimakasih banyak, Pennie.. kalau aku bisa meminjam peralatan menjahit, aku bisa mulai menggubah baju-baju itu..."

Penelope tersenyum puas. "Bagus, bergegaslah karena akan ada banyak pesta untuk dihadiri. Aku akan menceritakan kondisimu pada Ibuku, kalau kau tidak keberatan. Mungkin... hanya garis besarnya saja?"

Tetapi, Emily menggeleng. "Aku tidak tega melukai harga diri Ayahku. Kau bisa mengatakan pada Ibumu bahwa Ayahku telah menerima pinangan untukku dan mengijinkanku melihat-lihat season sebelum menikah karena akan terasa menyedihkan untuk langsung menikah tanpa sempat mencicipinya sedikitpun."

"Hatimu terlalu baik, sayang..." cetus Penelope sedih. "Baiklah, aku akan mengatakannya sesuai keinginanmu. Maukah kau menungguku di kamarmu? Sementara itu, aku akan meminta pelayan membawakan kotak-kotak ini untukmu beserta peralatan menjahit yang mungkin kau butuhkan."


-OOO-


Ibu Penelope, Baroness Lampson memandang kasihan pada Emily yang muncul dengan gaun kusamnya di meja makan malam mereka. "Aku sudah mendengar kisahmu dari Penelope. Kurasa kau terlalu muda untuk menikahi... Earl of Arundel?"

"Ya, my Lady..." sahut Emily, "Tetapi saya percaya sepenuhnya kepada penilaian ayah saya..."

Baroness Lampson berdehem. "Aku percaya ayahmu pasti punya alasan yang kuat..." Walaupun menilik penampilan lusuh Emily, sedikit banyak ia bisa menebak alasannya. Kegemaran Duke of Holbrook atas judi pacuan kuda sudah merupakan rahasia umum. "Kurasa aku punya beberapa gaun yang pernah kukenakan lebih dari sekali... Apakah kau keberatan kalau aku juga menghibahkannya kepadamu, sayang?"

"Saya dengan senang hati menerimanya, My Lady..."

"Panggil Ma'am, sayang..." pinta Baroness Lampson. "Dan kalau kau tidak keberatan, aku tidak setuju untuk membawamu ke pesta dengan nama aslimu, karena nama Duke of Holbrook cukup dikenal banyak orang. Memanfaatkan momen di mana kau belum diperkenalkan di season, aku akan memperkenalkanmu sebagai sepupu jauh Penelope, putri seorang tuan tanah..."

"Apakah kau akan mengganti namanya, Ma?" Penelope bertanya dengan mata berbinar. Jelas semua urusan ini membuatnya tergugah. "Jangan cari nama yang terlalu sulit untuk Emily..."

"Emilianne Hull..." ucap Baroness Lampson dengan nada yang bangga akan dirinya sendiri. "Tidak berbeda jauh dari namamu sendiri, sehingga Penelope, putriku yang pelupa ini, masih bisa memanggilmu Em seperti biasanya... Bahkan panggilan Emily pun cukup masuk akal untuk nama Emilianne..."

"Saya setuju, Ma'am..." senyum Emily merekah. Dadanya terasa sesak karena antisipasi. Ia sudah mulai menisik gaun-gaun yang diletakkan dalam jumlah besar di lemari kamarnya oleh pelayan-pelayan suruhan Penelope. Pada awalnya pelayan-pelayan itu terlihat tidak senang karena Emily mendapatkan gaun yang seharusnya dihadiahkan kepada mereka. Namun, setelah mendengar gadis itu adalah putri seorang Duke, ditambah sikap Emily begitu sopan, para pelayan mulai memperlakukannya dengan lebih hormat.

"Setiap hari akan ada pesta dan jamuan menarik untuk dihadiri..." suara Baroness terdengar bergetar penuh semangat. "Dan aku harap kau bisa menikmatinya, sayang. Harapanku atas kebahagiaanmu mencicipi season ini sama besarnya dengan keinginanku untuk melihat Penelope segera mendapatkan lamaran yang diinginkannya."


-OOO-



Emily berkaca dan merasa gaunnya yang indah dan membalut tubuhnya dengan ketat membuat dirinya menjelma sebagai gadis yang sama sekali berbeda. Korset yang diikat erat menunjang payudaranya, membuat leher gaun yang rendah menonjolkan keindahan belahan dadanya. Dengan topeng yang menutupi separuh wajahnya, Emily terlihat misterius dan menggoda.

"Astaga, Em... kau cantik sekali..." pekik Penelope. Tubuh Penelope dibalut gaun biru tua keemasan yang menonjolkan lekuk tubuhnya yang matang. Temannya terlihat nakal dan menggoda, sama sekali tidak terlihat seperti seorang gadis yang menjalani season pertamanya.

Emily tersenyum. Sejauh ini, ia sudah menghadiri dua buah pesta. Lusa, waktu seminggu yang diberikan Ayahnya untuk mengecap season akan berakhir. Emily sejauh ini belajar Teknik menggoda dan membalas rayuan pria. Walaupun Emily diperkenalkan tanpa status kekayaan yang jelas, karena wajahnya dan sikapnya yang malu-malu, beberapa pria datang dan mencoba menggodanya dalam pesta dansa. Emily awalnya kewalahan, namun dengan cepat belajar untuk menanganinya dengan baik sesuai arahan Penelope yang lebih berpengalaman.

"Nah, Lady Emelianne..." ujar Penelope dengan alis terangkat sebelah. "Kurasa kau tidak bersikap nakal dengan pantas. Kalau kau memang ingin bersikap nakal, kau bisa memulainya dengan belajar berciuman..."

Pipi Emily memerah. "Itu... agak mengejutkan..."

Kening Penelope berkerut tidak setuju. "Sejauh ini, aku sudah dicium tiga pria, dan kalau boleh kuakui, aku cukup menyukainya..." Ia memelankan suaranya. "Rahasiakan dari Ibuku..."

Emily tertawa renyah. "Tentu saja, tetapi bukankah itu agak terlalu tidak pantas untukku?"

"Oh! Yang benar saja, sayang... kau ini terlalu bagus untuk Earl tua itu. Paling tidak, kau harus mencicipi ciuman yang sesungguhnya. Berikan ciuman pertamamu pada pria paling tampan yang bisa kau goda. Jangan sia-siakan semua pengalaman pertamamu pada pria keriput seperti Arundel. Pada saatnya nanti, kau bisa punya sesuatu untuk dikenang... sesuatu yang cukup untuk menguatkanmu saat sedih. Misalnya... ah, paling tidak aku pernah dicium dengan cara yang mengesankan oleh pria itu..."

Dada Emily terasa berdebar membayangkannya, namun ia mengangguk setuju pada Penelope. "Nah, saatnya kita turun dan masuk ke kereta. Apakah kau siap untuk menjadi benar-benar nakal dan menggoda?"

"Ya," angguk Emily mantap. Ia menarik nafas dan mengangguk sekali lagi, meyakinkan dirinya.

Sebagai upayanya untuk membuktikan kekayaan dan posisinya di masyarakat, pesta yang digelar Baron of Somerleyton sangat mewah. Bertemakan Yunani kuno, pilar-pilar dihadirkan lengkap dengan sulur-sulur tanaman yang menyulap hall mewah kediaman Somerleyton sebagai taman Olympus.

Sementara Emily melihat-lihat dan mengambil limun yang disajikan dalam mangkok kaca bulat besar dalam pelukan patung cupid, Penelope tahu-tahu sudah menghilang.

Emily celingukan ke kiri dan kanan, mencari keberadaan Penelope ketika tanpa sengaja lengannya menyenggol seseorang. "Oh, maafkan aku... aku sungguh tidak sengaja..."

Matanya bertemu dengan iris berwarna hijau kebiruan, seperti es yang membeku di danau. Pria itu memiliki rambut berwarna keemasan seperti gandum, warna yang menandakan bahwa musim panen telah tiba.

Di luar dugaan, bibir pria di depannya yang semula merapat dengan sinis melekuk dengan kejahilan yang tidak ditutupi. "Aku menerima ucapan maafmu dengan gembira, terutama kalau kau mau menemaniku melihat bintang sebagai ganti dari membuat bagian depan jasku basah..."

"Apa? Oh..." ekspresi penyesalan memenuhi wajah Emily. Pria itu menumpahkan sedikit wine di bagian depan jasnya. Emily merutuki kebodohan dirinya sendiri. "Aku sungguh minta maaf. Apakah kita bisa mencucinya sebentar? Aku takut nodanya akan semakin sulit hilang kalau dibiarkan mengering..."

"Apa?" Pria itu menduga telinganya salah dengar.

"Kita bisa menggunakan garam..." Emily menarik tangan pria itu, jelas tidak menyadari kalau sebelumnya pria itu berusaha menggodanya.

"Wow, wow... aku tidak menyangka kau akan menawarkan diri menemaniku melihat bintang, tetapi..." Suara pria itu menghilang ketika menyadari wanita di depannya sungguh-sungguh bertanya pada pelayan dimana letak toilet dan meminta dibawakan segenggam garam.

"Baiklah... bisakah kau membuka bajumu..." kalimat Emily terhenti di udara ketika ia baru menyadari keseluruhan situasi mereka. Ia dan seorang pria, berduaan, berada di kamar mandi tamu, dan... ia meminta pria yang tidak dikenalnya untuk membuka bajunya.

"Apakah kau memintaku membuka topengku juga? Kurasa ada banyak hal yang bisa kita lakukan setelah aku membuka bajuku, hmm? Apa selanjutnya celanaku?"

Pipi Emily memerah, namun ia dengan cepat memalingkan wajahnya. "Aku hanya... bermaksud membantu membersihkan bajumu. Tidak akan lama seharusnya... jadi, kalau kau bisa bersikap kooperatif... itu akan sangat membantu..."

"Aku tidak merasa pernah melihat Lady sepertimu..." ucap pria itu serak. Meskipun demikian, ia menuruti permintaan tidak wajar Emily dan mulai melepas kancingnya satu per satu. Emily dengan terkejut melihat pria itu juga melucuti kemejanya alih-alih jasnya.

"Apa? Kenapa Anda juga melepas kemeja Anda..."

"Jangan panik, sayang... tentu saja karena jasku tidak apa-apa. Yang kotor kemejaku. Tenang saja, aku punya badan yang enak dipandang, dan aku memberikan ijin untukmu memandanginya sepuas hati..."

"Tidak, terimakasih..." Emily membuang wajah dan dengan tangannya menerima uluran kemeja pria di sampingnya. Dengan bertelanjang dada dan berdiri penuh percaya diri, keberadaan pria itu terasa terlalu mengintimidasi. Emily bisa merasakan kehangatan menguar dari pria di sebelahnya, membuat pipinya merona panas.

Pria itu mengamati Emily yang melepaskan kedua sarung tangannya dan dengan sepenuh hati membalurkan garam di jejak noda kemejanya. Jemari lentik Emily menekan garam dan menggosoknya perlahan, menciptakan keajaiban ketika noda wine itu perlahan-lahan terhapus.

"Lihat, aku berhasil..." tawa yang terlihat dari wajah puas Emily, serta beberapa helai anak rambut jatuh di dahinya membuat sosoknya terlhat menggemaskan.

Ketika menoleh, Emily sadar bahwa ia berdiri terlalu dekat dengan pria yang bahkan tidak dikenalnya. "Ya Tuhan, kau cantik..." ujar pria itu serak.

"Apa..." Emily menoleh untuk melihat pria itu meraih tali di belakang kepalanya dan melepas topengnya, memperlihatkan wajah yang tampan, mungkin... pria yang paling tampan yang pernah Emily lihat sepanjang hidupnya.

"Nah, aku akan menciummu..." Pria itu bergerak maju. Ia tersenyum miring mengamati ekspresi Emily yang kaget. "Siapa namamu, Lady? Aku nyaris yakin tidak pernah lihat mata seperti ini..." tangannya meraih rambut Emily yang digelung, "dengan warna rambut gelap seperti ini..." Dahi pria itu berkerut, "Dengan kemampuan menggosok dan pengetahuan yang tidak umum dimiliki seorang Lady..."

"Itu karena kau mungkin tidak berpengalaman dengan wanita..." sahut Emily berkelit. Ia bergerak mundur, tetapi pria itu malah memerangkapnya di tembok.

"Nah, sekarang aku bisa memutuskan apa yang harus kulakukan kepadamu karena kau sudah menggodaku..."

"Aku tidak menggodamu," balas Emily, merasa agak kehabisan nafas.

"Tersenyum dengan wajah cantik itu sudah menggodaku, manis..."

Emily tidak bisa menjawab lagi karena pria itu sudah maju untuk memagut bibirnya.


>> to be continued


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top