Chapter 10
"Mohon maaf, Lady Emily... His Lordship sedang tidak berada di kediamannya."
"Apakah... aku bisa tahu dimana dia berada sekarang?" Emily memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Aku tidak bisa mengemukakan alasan sesungguhnya, tetapi ketahuilah bahwa... saat ini sangat penting untuk... memastikan keamanan Earl of Darlington"
Sang kepala pelayan hanya mengangkat sebelah alisnya. Kalaupun sebenarnya benaknya bertanya-tanya, ia sama sekali tidak menunjukkannya dalam ekspresi wajahnya. "Saya tidak bisa memastikan sepenuhnya, My Lady... tetapi kemungkinan besar His Lordship sedang berada di White's club"
Emily menyampaikan rasa terimakasihnya dengan sungguh-sungguh ketika tiba-tiba ada derap langkah kuda di belakangnya. Ia memutar tubuh dan melihat seorang pria bertubuh kekar mengendarai kuda Arab hitam dan tampak terburu-buru.
"Ada apa, Rob?"
"Kabar buruk, Hopkins... kereta His Lordship mengalami kecelakaan."
Emily mematung. Matanya menatap pria penunggang kuda sementara nafas seakan terhenti di dadanya.
Oh Tuhan...
"Astaga! Apa yang terjadi?"
"Ada perampok di jalan..."
Ini tidak mungkin... gumam Emily dalam hati. Matanya terasa panas saat mengamati wajah si pembawa pesan.
Aku akan membunuh Darlington untukmu...
Emily membekap mulutnya kaget. Ia mengeluarkan suara terkesiap kecil. Suara pria ini adalah suara yang terasa tidak asing. Emily mengenalnya sebagai... suara pria yang mengatakan kepada Arundel bahwa ia akan membunuh James sesuai dengan bayaran yang telah diberikan oleh Arundel untuknya.
Kaki Emily goyah.
"Aku perlu dokter. Kondisinya sangat parah."
Emily mendengarnya, merasakan lututnya goyah. Sedetik kemudian, dunia berputar. Emily membayangkan James, luka tembakan yang mungkin diterimanya, dan kondisinya yang sekarat. Emily bergidik sebelum akhinrya jatuh pingsan.
-OOO-
"Kurasa dia membutuhkan teh panas..."
Mata Emily membuka seketika. Ia duduk dan memandang nyalang ke sekeliling. Ia mendengar suara James dengan jelas. Emily melihat ke sekeliling ruangan, menyadari bahwa lagi-lagi ini bukan kamarnya sendiri.
"Emily, kau sudah sadar?"
Emeline muncul di pintu, membuat Emily menghela nafas sedih.
"Kudengar kau pingsan, jadi aku menerima pesan untuk menjemputmu di sini. Apa yang terjadi?"
"James... Earl of Clarendon..."
"Kenapa dengan dia..."
"Ku-kudengar James mengalami kecelakaan berbahaya...."
Emeline mengernyitkan dahi. "Kudengar memang dia terkena kecelakaan kereta. Tetapi, kurasa keadaannya seharusnya tidak separah itu..."
"Kau tidak paham...." Emily menarik nafas, mengulum bibirnya ragu. "Arundel mau membunuh James.... Aku datang kemari dan.... Ku-kudengar James dalam keadaan bahaya..."
"Apa yang kau cemaskan, sebenarnya? Dia kan..." Emeline mengernyitkan dahi. "Apakah kau sudah jadi menolaknya? Aku tidak paham kenapa bukannya menolaknya dengan tegas, kau malah bolak-balik mengkhawatirkan pria playboy itu..."
"Aku..." Emily ragu-ragu saat mengamati ekspresi wajah kakaknya. "Aku menyayangimu, Emeline... jadi aku selalu menghargai pendapatmu. Aku tahu apa yang kau katakan selalu ditujukan untuk kebaikanku... tetapi, James berbeda. Aku... aku menginginkannya, Emeline..."
Sorot mata Emeline melembut. "Kau mencintai pria itu, Emily?"
Emily tampak ragu-ragu lagi. " Apakah kakak dan ayah akan kecewa padaku kalau kukatakan bahwa aku berniat untuk... menerima lamaran James?"
Terdengar suara duk di pintu.
Emily menoleh dan terkejut mendapati James berada di sana, pelayan wanita di kanan dan kirinya, membawa baskom air dan secangkir teh panas.
"J-james..." Mendadak Emily lupa berkata-kata. Matanya mengamati James atas bawah. Ia bangkit dari tempat tidur dan menghampiri pria itu. James sehat, pikir Emily sambil mengamati cara James memandangnya dengan tatapan bingung sekaligus penasaran. James... tidak apa-apa... batin Emily, diam-diam merasa lega luar biasa.
"Kau tidak apa-apa..." gumam Emily.
"Aku baik-baik saja," jawab James. Tangannya menyapu pipi Emily. Perasaan aneh mencekam dada James, membuatnya merasa ingin menghapus ekspresi takut dan bingung yang tergambar di wajah Emily. "Ada apa, Emily? Kenapa kau pingsan?"
"Kudengar... terjadi kecelakaan... Ada perampok dan... kau..." Emily kehabisan kata-kata. James meraih tangan Emily dan meremasnya lembut. "Kau tidak apa-apa, James? Benarkah?"
"Aku tidak apa-apa, manis..." James menjawab dengan suara serak. Kalau saja ia tidak menyadari mata Emeline sudah memelototinya dari tadi, mungkin tanpa mempedulikan segala sopan santun dan sebagainya, James tidak akan mengacuhkan pelototan galak dari kakak Emily dan mencium gadisnya habis-habisan. Tetapi, ini Emily-nya.
Emily pantas diperlakukan dengan baik.
Tepatnya, Emily pantas mendapatkan perlakuan yang terbaik.
"Tapi.... Apa yang terjadi? Kudengar... Arundel..." Emily tergagap. "Dan pria itu... anak buahmu... yang menyampaikan kabar tentang kecelakaanmu... kukira dia yang melukaimu atas suruhan Arundel..."
James tersenyum. Hatinya tersentuh karena kekhawatiran Emily terlihat sangat kentara. Gadis itu mengamatinya baik-baik, seolah takut ada yang terlewat dari pengamatannya tentang James, seolah ada luka yang disembunyikan dirinya agar tidak membuat Emily khawatir.
"Panggilkan Rob untukku ..." perintah James kepada salah satu pelayan wanitanya yang baru saja menyiapkan teh untuk diminum Emily dan kakaknya. Tak lama terdengar langkah kaki yang kuat dan tegas, dan sesosok pria memasuki ruangan. Ia segera memberikan salam hormat begitu melihat James.
"My Lord?"
"Rob, Lady Emily melihatmu... Bersama Arundel merencanakan pembunuhanku."
Rob mengangkat alis lalu melirik James. James mengangguk tanpa suara. Pertukaran isyarat itu tertangkap oleh Emily. Sementara itu, Emeline hanya mengamati keseluruhan kejadian tanpa berkomentar apapun. Emeline mengunyah biskuitnya sambil menyelamati diri sendiri atas kemampuannya menahan lidahnya untuk bicara.
"My Lady, upaya balas dendam Arundel adalah hal yang sudah diperkirakan oleh His Lordship, sehingga beliau mengutus saya untuk menghampiri Arundel dan menawarkan jasa saya untuk membantunya kabur dan membalaskan dendam kepada His Lordship. Saya mengaku kepadanya bahwa saya juga menyimpan dendam kepada His Lordship karena beliau memberhentikan saya dengan semena-mena. Arundel tidak langsung mempercayainya, tentu saja. "
"Tetapi setelah pria itu berhasil saya bantu untuk membeli karcis perjalanan ke Perancis, ia langsung berani mempercayai saya. Saya memintanya membayar sejumlah uang kepada saya dan menandatangani kontrak untuk mengakui bahwa semua upaya pembunuhan James adalah dari inisiatif diri saya sendiri dan dia tidak punya kaitan apapun tentang itu. Tentu saja, kami sedikit bersandiwara dan berhasil menjebaknya. Surat itupun kami gunakan untuk menjebloskannya ke dalam penjara."
Emily terkesiap. "Lalu, siapa yang kau katakan terluka dan dalam keadaan parah?"
"Arundel. Dia berusaha lari setelah sadar kami menjebaknya, namun malah terjatuh dari kudanya dan mematahkan tangannya sendiri. beruntung sekali bukan lehernya yang patah."
"Terimakasih, Rob, tinggalkan kami..."
Setelah Rob pergi, James menatap Emily dan memberikan senyuman menenangkan. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan lagi sekarang. Arundel tidak akan menganggumu lagi."
Di luar dugaan James, Emily masuk ke dalam pelukan pria itu dan menyenderkan kepalanya di dada bidang James. Emeline nyaris menyemburkan tehnya karena kaget. Tidak biasanya Emily yang pemalu bisa bertindak begitu berani.
"Emm... Emmie?" panggil James kikuk. Ia bisa merasakan kehangatan dan lekukan tubuh Emily, menempel begitu erat, menggoda, dan menyiksa. Sungguh, Tuhan... tidak ada lagi siksaan yang lebih menyiksa sekaligus menggoda di saat bersamaan.
"Bolehkah... membiarkanku memelukmu sebentar seperti ini James? Aku merasa... ini semua masih belum terasa nyata..." suara Emily bergetar sesaat, membuat James membalas pelukan Emily dan menyandarkan pipinya di puncak kepala gadis itu. Emily-nya yang mungil merasa takut, bagaimana mungkin James tega membiarkannya merasa takut sendirian?
"Well, karena kelihatannya kalian butuh berdua, aku akan keluar sebentar..." ujar Emeline sambil mengangkat sepiring biskuit bersamanya. "Emily, kakakmu mau keluar..."
Emily tidak menjawab, masih membenamkan kepalanya di pelukan James yang terasa aman. "Sepertinya tidak ada yang peduli kalau aku di sini, tetapi aku tidak tahan melihatnya..." gumam Emeline sambil merenggut.
"Ada apa, Em?" tanya James setelah Emeline berlalu dari ruangan, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang menenangkan.
"James, apakah kau masih mau menikahiku?"
James nyaris tersedak. "Apa yang membuatmu bertanya demikian?" Jantung James berdebar cepat. Apakah Emily akan menolaknya lagi? Ia belum siap untuk menerima kata tidak dari bibir Emily. Setelah semua yang terjadi... bukankah seharusnya... ia punya harapan? Kalau tidak, Emily tidak akan memeluknya seperti ini bukan?
"Saat mendengar pembicaraan Arundel tentang rencananya untuk membunuhmu... sesaat aku merasa takut setengah mati. Aku takut... tidak bisa melihatmu lagi, bicara denganmu lagi... aku takut... pria itu berhasil membunuhmu..."
James memejamkan mata, menghirup aroma Emily dalam-dalam.
"James, aku mencintaimu..."
James mengetatkan pelukannya. "Sekalipun aku gemar berjudi kuda, Emily?"
Emily merenggut, ia tahu James bisa menebak ekspresinya dari tawa bergemuruh yang didengarnya di dada pria itu. "Aku masih tidak setuju dengan hobimu yang itu..."
"Aku akan menurutimu, tentu saja, kalau kau bersedia menjadi istriku..." James berujar. Ia berlutut di depan Emily dan mengambil cincin yang sejak lama sudah dipersiapkannya untuk meminang gadis itu. Pipi Emily bersemu merah ketika James menyodorkan cincinnya dan sekali lagi bertanya... "Emily, maukah kau menikah denganku?"
>> to be continued (last part--Epilog)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top