Chapter 1

-London, 1822

"Oh, Ayah, kurasa kita sungguh bangkrut..."

Emily Waterborne, putri bungsu Duke of Holbrook memijit pelipisnya dan mengernyitkan dahi. Ia melihat angka perhitungannya, semuanya dirinci sampai ke digit terkecil yang bisa dihitungnya. Bahkan pengeluaran untuk membayar tips yang diberikan ayahnya kepada seorang bocah yang membantu menyikat kuda-kudanya telah diperhitungkan.

Tidak ada yang kurang diperhitungkan, desah Emily sambil mengamati tulisan tangannya yang rapi dan memperlihatkan jejeran angka pembukuan yang teliti. Yang kurang adalah uang masuk. Pendapatan dari sewa tanah serta pajak dari para petani setempat tidak cukup untuk menutupi semua pengeluaran yang terjadi di kediaman Duke of Holbrook.

Pekerja taman mereka sudah tidak ada, begitu pula dengan tukang masak. Emily tidak memiliki pelayan pribadi lagi, sama seperti Ayahnya. Pelayan yang tersisa hanya tinggal Susannah dan kepala pelayan, Adrian. Susannah adalah wanita tua manis yang tadinya pengasuh Emily dan kakak-kakaknya sejak kecil, tetapi kini merangkap dan membantu bersih-bersih.

Terpujilah jiwa Susannah yang baik hati karena mau bekerja dan membantu membersihkan kediaman Holbrook dengan gaji yang minim, tetapi semua orang tahu Susannah terlalu tua untuk melakukan pekerjaan kasar semacam itu. Emily beberapa kali menangkap basah Susannah sedang memijit persendian lutut atau pinggangnya yang tua dan lelah.

Adrian nyaris sama tuanya dengan Susannah. Pria itu punya garis wajah yang semakin dipenuhi keriput, tetapi kesan tajam di matanya, didukung oleh alisnya yang tebal memberikan kesan galak bagaikan Ayah tiri. Bayaran Adrian tidak perlu disebutkan, pikir Emily dengan pipi memerah. Tuhan tahu betapa beruntungnya keluarga Holbrook dikaruniai dua pelayan setia dan baik seperti Susannah dan Adrian.

Emily membuyarkan lamunannya, sadar bahwa Ayahnya tidak menjawab. Ia mengangkat wajah dan menyadari Ayahnya tenggelam dalam bacaan di hadapannya, nyaris tidak mendengarkan satu pun keluh kesah Emily.

"Ayah?" panggil Emily lagi. Ia mengerutkan dahi dengan cemas. Apakah yang dibaca oleh Ayahnya adalah majalah yang memuat hasil pacuan kuda? Ia melirik resah. Ayahnya berubah menjadi pecundang semenjak Ibunya meninggal.

Hanya Ibunya yang bisa meredam keinginan Ayahnya untuk berjudi dan bertaruh pacuan kuda. Keberadaan Ibunya selalu memberikan cahaya bagaikan matahari di keluarga ini. Ayahnya berhenti bahagia, semakin merusak diri, dan membiarkan kedua putrinya terlantar padahal mereka sedang berada di usia dimana mereka seharusnya memasuki lingkungan aristocrat, diperkenalkan pada kehidupan ton-bangsawan Inggris lalu menikah dengan calon terbaik yang bisa mereka dapatkan.

Terdengar desahan nafas. Emily melihat Ayahnya mengangkat tangan dan mengusap dagunya gelisah. Itu kebiasaan yang dilakukan Ayahnya setiap kali kalah berjudi dan menghabiskan lebih banyak daripada yang seharusnya.

"Ayah?" Perasaan tidak nyaman menyelimuti dada Emily. Apa lagi kelakuan Ayahnya kali ini? Emily bukan malaikat yang tidak bisa sama sekali tidak merasa kesal kalau harus memutar otak sekali lagi untuk membayar hutang Ayahnya dan pergi membeli daging dengan menebal-nebalkan wajah. Ia mengingat wajah tukang daging dan tukang roti yang masam dan kerap kali memintanya secara halus untuk melunasi sebagian hutang-hutangnya sebelum membeli yang baru.

Duke of Holbrook menghentikan gerakan tangannya dan matanya beralih ke putrinya, Emily, yang kini berusia delapan belas tahun. Terlalu muda, sudah melewati waktu debutnya untuk diperkenalkan dalam season, dan terpuruk di mansion tua mereka.

Ia tidak menyadari selama ini, betapa Emily dikaruniai wajah yang berbentuk hati dengan dagu mungil, mata hijau yang cerdas, dan rambut hitam gelap seperti mendiang istrinya. Putrinya yang tertua, Emeline dititipkan ke Bibinya yang dengan baik hati membantu mensponsori debutnya. Sungguh disayangkan, karena Emeline berwajah lebih cantik dan hanya ada satu gadis yang bisa ditampung oleh adiknya, Emily terpaksa tinggal di rumah dan bertahan dengan kebiasaan berjudi Ayahnya.

Bibir Emily dikulum dan tampak cemas menilai ekspresi Ayahnya, membuat Holbrook tersenyum sedih. Emily cantik dalam caranya sendiri, dan ia selama ini tidak menyadarinya. Sekalipun terbungkus gaun kusam jelek yang membuatnya terlihat seperti puritan, Emily bertubuh ramping dan tetap enak dilihat mata.

Sayangnya, ada pria lain yang menyadarinya, pria yang menginginkan Emily menjadi istrinya. Pria itu bukan calon yang terbaik yang bisa diberikan Holbrook untuk putrinya. Kalau Holbrook memaksa Emily menikahinya, Holbrook jelas tidak pantas disebut Ayah. Tetapi, ketika jumlah hutangnya dirinci dan di depan matanya diberikan sejumlah angka sebagai hadiah pernikahan, Holbrook pun tidak punya jalan lain. Ia memutuskan untuk menyerahkan Emily. Kasarnya, ia memutuskan untuk menjual putri bungsunya untuk melunasi hutang-hutangnya yang fantastis.

"Emily, Ayah memutuskan untuk... menerima pinangan Earl of Arundel..."

"Earl of Arundel...?" Wajah Emily pucat pasi. Earl of Arundel sudah tua, sepanjang pengetahuan Emily, usia pria itu nyaris sama dengan Ayahnya. Emily merasakan desakan perasaan sedih untuk Kakaknya. Istri Earl of Arundel meninggal dua tahun lalu, tidak jelas penyebabnya. Pria itu kaya jadi tidak banyak desas-desus yang terdengar tentang penyebab kematian istrinya. Tetapi, membayangkan pria setua itu mencari istri berusia di bawah dua puluh tahun membuat hati Emily mencelus.

"Apakah itu pantas Ayah, membiarkan Kakak menikah dengan pria seperti itu? Kakak mungkin akan mendapatkan suami yang baik dalam tahun ini. Surat terakhir yang kuterima dari Bibi mengatakan bahwa Emeline cukup sukses di season..."

Emily berhenti bicara karena Ayahnya sudah mengangkat tangan, mengisyaratkannya agar diam. Duke of Holbrook berdehem, sesaat tidak tahu bagaimana cara terbaik menyampaikan kabar ini kepada putrinya.

"Bukan kakakmu, Emeline yang mendapatkan lamarannya. Kau, Emily, yang dipilih langsung oleh Earl of Arundel sebagai istrinya."

"Aku, Ayah? A-aku kira... aku akan menikah setelah Kakak menikah." Emily terkejut bukan main. Ia bangkit dan menghampiri kursi berlengan tempat Ayahnya duduk. "Apakah kita tidak bisa menolaknya Ayah? Earl of Arundel... agak terlalu tua untukku. Aku..."

Emily kehabisan kata-kata. Ia memejamkan mata, tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau ia menjadi istri pria yang seusia Ayahnya. Bukankah dari obrolan pelayan, ada sesuatu mengerikan yang terjadi di kamar tidur saat malam pengantin? Sesuatu yang menyakitkan dan membuat Emily berdarah?

Emily membayangkan harus membiarkan Earl of Arundel memasuki kamarnya dan melakukan apapun itu padanya dan ia berkewajiban menerimanya sebagai istri. Emily bergidik. Ia tidak bisa melakukannya. Ia tidak bisa menjadi istri Earl of Arundel. Ini mengerikan. Ini mimpi buruk.

"Aku tidak bisa, Ayah..." Emily menyadari suaranya bergetar ketakutan. Ia menatap sekeliling rumahnya, tempat yang beberapa menit lalu terasa seperti sesuatu yang melindunginya dan membuatnya merasa aman. Sekarang semua ini terasa seperti mengukung dan menjebaknya. Ia merasa seperti terpenjara, menunggu hukuman mati dijatuhkan kepadanya.

"Aku akan... menyamar dan bekerja sebagai governess kalau perlu, tetapi kumohon... tolaklah pinangan itu untukku, Ayah..."

"Emily, kau tahu berapa jumlah hutang kita?"

Emily menahan perasaan tercekat di tenggorokannya. Ia mendadak merasa limbung dan marah. Ayahnya yang membuat hutang mereka membengkak dengan parah setiap tahunnya sementara Emily-lah yang berjuang untuk menggunakan setiap peser yang tersisa sebaik mungkin. Kini, ketika Ayahnya membebankan semua hutang itu di pundaknya, Emily tidak bisa mencegah sengatan perasaan tidak adil yang membakar dadanya.

"Itu hutang Ayah..."

"Oh, demi Tuhan..." Holbrook mengumpat. "Jadilah anak yang berguna sekali saja..."

Emily menutup mata, merasakan cairan hangat meluncur turun di pipinya. Ia merasa pipinya seperti kena tamparan tidak terlihat, Jadi, selama ini ia tidak cukup berguna untuk Ayahnya.

"Arundel sudah tua, dia tidak akan bertahan lama. Ketika itu tiba, kau akan mendapatkan kekayaan melimpah sebagai jandanya, terutama kalau kau punya anak darinya..." Emily menahan diri agar tidak sesunggukan memalukan, Ayahnya toh tidak peduli. "Sekarang, kalau kau pikirkan lagi, tidak akan ada tawaran yang lebih baik daripada ini. Apalagi kau tidak punya siapapun untuk menjadi sponsormu."

Itu sebuah tamparan telak lain di pipinya. Emily menggigit bibirnya. Vonis mati sudah dijatuhkan. Ia tidak bisa melangkah mundur. Rupanya sejak membaca surat Arundel, ayahnya sudah memutuskan. Emily sama sekali tidak punya hak suara. Emily hanya punya kewajiban untuk menerima keputusan ayahnya yang bijaksana dan menjalani hidupnya sebagai anak yang baik dan berguna.

"Aku paham..." jawab Emily akhirnya.

Wajah tegang Holbrook mengendur, digantikan senyuman senang. "Ayah senang kau bisa berpikir jernih..."

Emily hanya tersenyum.

Hatinya terasa sakit dan hampa. Malam itu, ia membakar semua catatan keuangan yang telah dibuatnya selama dua tahun terakhir. Ia lelah dan muak menjadi anak baik sepanjang hidupnya. Dan Emily memutuskan untuk melakukan kenakalan pertama dalam hidupnya. Setidaknya, ia masih bisa menikmati beberapa bulan yang tersisa sebelum menjadi Countess Arundel yang terhormat. Ia akan melakukan kenakalan yang bisa dikenangnya seumur hidup, cukup untuk menjadi penyemangat baginya ketika nanti ia terpaksa hidup Bersama Arundel.

Emily menulis sebuah surat dan mengalamatkannya kepada Penelope Stratton, teman baiknya, seorang putri baronet kaya yang sedang menikmati season di London. Hanya dua baris kalimat yang tertera di dalam suratnya.

"Tolonglah aku, Penelope, sesegara mungkin setelah kau membaca ini, jemputlah aku. Aku sangat putus asa."

Penelope Stratton adalah gadis yang baik hati. Dikaruniai kekayaan dan mahar besar, sekalipun tidak cantik, gadis itu menjalani musim pertama yang cukup sukses. Ia selalu menganggap persahabatannya dengan Emily sebagai sesuatu yang special, terlebih karena Emily selalu bersikap baik dan membantunya. Kali ini, sebagai jawaban atas surat pendeknya dan doa Emily, sebuah kereta kuda tiba di depan kediaman Holbrook yang mulai rusak termakan usia.

"Aku berjanji akan segera pulang, Ayah..." ujar Emily sambil memohon kepada Ayahnya.

Duke of Holbrook semula sama sekali tidak berkeinginan untuk melepaskan putrinya pergi. Gadis itu toh akan segera menikah dengan Earl of Arundel. Untuk apa membiarkannya berkeliaran di London dan bersenang-senang. Bukankah hanya akan membuang uang? Tetapi karena ia sedikit banyak dicengkeram perasaan bersalah karena menjual putrinya untuk melunasi hutangnya, ditambah dengan tatapan penuh permohonan dari mata besar Emily, hatinya luluh juga.

"Satu minggu, tidak lebih. Kurasa, itu lebih dari cukup."

Emily tersenyum dan memberikan hormat sebelum menaiki kereta yang disediakan oleh Penelope. Hatinya berdebar saat menantikan pengalaman pertamanya menginjakkan kaki dalam pesta dansa yang selama ini hanya ada dalam imajinasinya semata.

>> to be continued


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top