Teman (masa) Kecil
***
Lapangan dengan panjang 28 meter dan lebar 15 meter, menjadi tempat berkumpulnya siswa dari tiap kelas. Belum lagi suara gaduh dari pinggir lapangan dengan teriakan menyuarakan yel-yel yang hampir saja bisa ia hapal.
Dentuman dari bola basket menabrak papan ring memancing keributan lain. Tak jarang, siswa laki-laki menggeram dan berteriak kesal karena kapten dari tim mereka gagal memasukkan bola tersebut.
Kirani Jovanka, duduk pada kursi panjang berbahan semen yang keberadaannya tidak jauh dari lapangan basket. Netranya mengedar mengikuti pergerakan kapten basket dengan seragam corak hijau tua, nomor punggung sebelas tercetak jelas di sana. Semakin sering ia memantulkan bola di tangannya, semakin histeris pula siswi-siswi yang mengagumi anak laki-laki itu.
Setelah seminggu para siswa menjalani ujian penilaian akhir semester (PAS). Akhirnya, seperti biasa sekolah akan mengadakan class meeting. Satu kegiatan yang membangun kerja sama antar teman.
"Kiran!" teriak si kapten basket melambaikan tangannya dengan heboh saat menemukan keberadaan Kirani.
Trishan Sakhala, anak laki-laki berusia enam belas tahun itu, sudah banyak menghabiskan waktunya bersama Kirani. Menjadi sahabatnya sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, menemani dan melewati semua badai yang si gadis punyai.
Kirani mengangsurkan satu botol minuman isotonik pada Trishan. Tidak ada alasan bagi anak laki-laki itu untuk menolak, apalagi yang memberi sahabat yang ia sayangi.
"Gimana? Menang nggak?" tanya Kirani saat Trishan sudah benar-benar menjatuhkan bobotnya di bangku sebelahnya.
Trishan menjauhkan botol minum dari bibirnya setelah meneguk air berwarna putih keruh tersebut. Sensasi sedikit asam mewarnai indera pengecapnya.
"Menang dong, tapi masih harus tanding di final lagi," jelasnya sembari melanjutkan meminum.
Trishan mengubah posisi duduknya, sedikit menyerong menghadap Kirani. "Seruni dan Seno jadi datang?"
Kirani menggeleng lemah, dua nama yang Trishan sebutkan adalah teman masa kecil Kirani, jauh sebelum ia mengenal sosok Trishan. Gadis itu sangat merindukan kedua temannya, ia berharap bisa bertemu mereka lagi. Bisa memperkenalkan Trishan pada temannya tersebut.
Tangan Trishan terulur mengusap puncak kepala Kirani, mengacak-acak poni si gadis berambut sebahu tersebut. Kemudian kembali berujar, "Nggak apa-apa. Mereka pasti punya alasan kenapa mereka pergi."
Gadis itu menarik garis senyum samar. Meski samar, tetapi tetap saja manis di mata Trishan. Katanya, senyum Kirani lebih manis dari cokelat yang meleleh di atas kue brownies.
"Omong-omong, nanti sore jadi, kan? Kita ketemu papaku di kliniknya."
Kirani mengangguk. Ia ingat bahwa hari ini sudah ada janji bertemu dengan papa sahabatnya ini. Setiap bulan, anak laki-laki itu meminta pada papanya untuk mengosongkan satu hari khusus untuk bertemu Kirani. Betapa istimewanya persahabatan yang mereka jalin.
"Nanti pulang sekolah, kalau kelas kamu udah selesai duluan. Kamu ke kelas aku, ya," ucap Trishan seraya beranjak dari sana.
Bunyi nyaring pluit dari tengah lapangan menjadi alasan Trishan berlari kecil meninggalkan Kirani di tempat itu, pertandingan final akan segera dimulai.
"Trishan! Semangat!"
Teriakan Kirani ayal membuat Trishan dan siswa yang lain menoleh. Anak laki-laki itu berbalik, mengangkat kedua lengannya di atas kepala, mempertemukan jari-jarinya hingga membentuk hati.
"Kamu pasti menang!" teriak Kirani lagi.
Mendengar suara lantang dari gadis yang terkenal jarang sekali berbicara itu ... bisa dikatakan suatu keanehan. Tak heran jika aksinya memancing siswa lain untuk mengalihkan atensi padanya.
Ya, itulah Kirani. Si gadis yang jarang berinteraksi dengan teman sebayanya. Ia lebih senang menghabiskan waktunya bersama Trishan. Atau jika anak laki-laki itu sedang tidak bersamanya, Kirani lebih memilih duduk di bawah pohon rindang belakang sekolah, mengobrol bersama Seno dan Seruni.
Desas-desus tentang dirinya yang diberi gelar 'Si gila penyindiri' pun sudah sampai ke telinganya. Namun, ia tak ambil pusing. Justru Seruni yang mencak-mencak tidak terima. Temannya yang satu itu memang memiliki watak yang keras, anak perempuan itu sangat berani menyuarakan isi hatinya.
Seruni suka sekali ribut dengan teman, orang yang tidak ia kenal sekalipun, Seno yang menengahi. Seruni juga sangat menyukai sesuatu yang menantang diri, bahkan keselamatannya.
Pernah suatu ketika, Seruni mendorong Kirani untuk melompat dari balkon kamarnya. Beruntung Seno mencegah dan membantu Kirani. Pernah juga, gadis itu menyayat pergelangan tangan Kirani sewaktu tidur, dengan alasan ia tidak merasakan sakit saat melakukannya. Itu sebabnya Kirani pun pasti tidak akan merasa kesakitan.
Berbeda dengan Seruni, Seno memiliki watak yang sedikit lembut dan sabar. Ia adalah sosok yang selalu berdebat dengan Seruni jika gadis itu mengajak Kirani melakukan hal-hal yang berbahaya. Namun, bukan sekali dua kali Kirani akhirnya mengikuti segala kegilaan yang Seruni ingin coba.
***
Kirani meraih ponsel yang ia simpan di saku seragam sekolahnya. Gadis itu mengetikkan sesuatu di kolom chat kontak Trishan. Tadinya, setelah bel tanda pulang berbunyi, ia akan menemui Trishan di kelasnya. Namun, niat itu ia urungkan saat melihat Trishan dan teman-teman masih berada di euforia yang sama atas kemenangan mereka di pertandingan final basket tadi.
Gadis itu memutuskan menunggu sahabatnya di parkiran sekolah setelah mengabari Trishan melalui pesan chat. Kirani celingukan, mencari keberadaan Trishan yang mungkin datang dari ujung sana. Namum, siswa laki-laki yang terkenal seantero sekolah itu belum juga ditangkap oleh netra Kirani keberadaannya.
"Kirani," panggil seseorang dengan suara sangat Kirani kenali.
Kirani mendongak, pandangannya menyapu setiap penjuru parkiran. Mencari si pemilik suara yang sangat ia rindukan.
"Seno? Itu kamu? Di mana?" teriak Kirani gusar. Langkahnya tergopoh mencari teman lamanya.
Kirani berlari, mencari ke balik mobil dewan guru terparkir. Bola matanya nanar ke sekitar parkiran. Ia berjongkok melipat tangan memeluk lututnya. Gadis itu hampir menangis, frustrasi karena tak menemukan sosok Seno.
"Tidak usah menangis, Kiran. Semua karena ulahmu. Kamu yang mengusir kami!"
Suara tegas itu menginterupsi Kirani. Gadis itu sontak berdiri, netranya menangkap bayangan Seruni di antara dua mobil yang terparkir. Langkah tergopoh ia ayunkan menghampiri Seruni yang sudah berbalik meninggalkan tempat itu.
Kirani berlari mengejar, entah bagaimana caranya gadis itu semakin cepat melangkah meninggalkan Kirani tanpa menoleh sedikit pun. Semakin kencang Kirani berlari, semakin jauh pula Seruni pergi.
"Seruni, maaf ... maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengusir kalian. Aku—"
Gadis yang malang, ia meringis saat lututnya beradu dengan kerasnya conblock parkiran. Ya, Kirani terjatuh. Ia berusaha bangkit, berusaha mengejar ketertinggalannya, tetapi sia-sia karena rasa perih itu mulai menjalar hingga ke ulu hatinya, semakin menghujam tanpa ampun. Terlebih lagi, kenyataan bahwa Seruni telah hilang dari pandangannya dalam sekejap mata semakin meremas organ-organ dalam tubuhnya.
"Kiran!"
Kirani mendongak, suara itu bukan lagi dari Seno ataupun Seruni. Ada Trishan di sana, berlari panik menghampirinya yang masih dengan posisi tersungkur di tanah. Laki-laki itu cemas, bingung, entahlah. Terlalu banyak pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya.
"Trishan ... Trishan, tolong kamu kejar Seruni sebelum dia lompat pagar. Dia tadi lari ke sana, aku nggak bisa kejarnya," tunjuk Kirani ke arah belakang gedung sekolah.
Trishan mengernyit. Pasalnya, arah yang Kirani tunjuk adalah jalan buntu. Tidak ada jalan untuk melarikan diri di sana. Hanya ada tembok setinggi sepuluh meter, rasanya akan sulit untuk dipanjat. Apalagi oleh seorang gadis. Mustahil.
"Aku nggak lihat Seruni di sana, kamu salah orang kali?"
Kirani bangkit, lututnya yang berdarah tak ia hiraukan. Seketika tubuh gadis itu bergetar panik, ia kembali tersungkur. Trishan memopong tubuh itu, membantunya berdiri. Gadis itu memberontak, tangannya memukul kepala hingga dadanya. Dengan sigap Trishan meraih tangan Kirani, agar tidak menyakiti dirinya lebih jauh.
Gadis itu menjerit histeris hingga menjadi pusat perhatian murid lain. Sorot matanya tajam, dia marah pada Trishan. Meneriaki laki-laki itu dengan dada naik turun. Sampai akhirnya, terkulai lemas tak sadarkan diri.
***
"Kirani? Kamu Kirani Jovanka?"
Gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu berbalik, menatap Trishan dengan heran. Ia memindai ke tangan anak laki-laki itu. Ada botol minum di tangan siswa itu, jelas Kirani mengenali botol yang pada tutupnya terukir namanya.
"Punya kamu? Tadi ketinggalan di tempat duduk itu," tunjuk Trishan ke belakang.
Kirani meraih botol minumnya yang Trishan angsurkan tadi. Gadis itu hanya mengangguk sebagai respons pertanyaan Trishan, tidak ada kata terima kasih. Namun, untuk pertama kalinya, Trishan langsung menyukai sesuatu yang baru ia lihat, yaitu senyum Kirani. Ya, gadis itu hanya menarik garis bibir melengkung ke atas.
"Aku lihat dari seragam kamu, kita satu sekolah. Kamu kelas berapa?" tanya Trishan penasaran dengan suara si gadis.
Sebelum memutuskan menghampirinya, dari kejauhan Trishan sudah memperhatikan Kirani. Duduk sendirian di taman kompleks, tersenyum, bahkan seperti sedang asyik mengobrol dan bersenda gurau. Ia semakin penasaran pada gadis ini.
Kirani menjatuhkan bobot tubuhnya di bangku panjang, diikuti Trishan mengisi tempat kosong di sebelahnya. Tatapannya lurus ke depan, ada senyum samar di sudut bibirnya.
"Kamu sendirian ...."
Ucapan Trishan menggantung, ia merasa ada yang aneh pada gadis ini. Namun, alih-alih pergi anak laki-laki itu justru semakin penasaran. Ia sedikit terperanjat saat Kirani menoleh.
"Aku kelas 7.C. Aku nggak sendirian, dari tadi kita ngobrol bertiga."
Akhirnya, suara lembut dari bibir Kirani bisa Trishan dengar. Anak laki-laki itu mengulurkan tangannya ke dapan Kirani. "Aku Trishan Sakhala. Kelas 7.B. Ternyata kelas kita dekatan, ya."
Kirani lagi-lagi hanya tersenyum, tatapannya tak lepas dari satu titik yang membuat Trishan semakin penasaran, apa yang sebenarnya gadis itu lihat.
"Oh, iya. Teman kamu mana?"
"Itu ... mereka main di sana," tunjuk Kirani menggunakan dagunya pada dua ayunan di ujung sana.
Trishan mengernyit, tentu saja dia bingung. Pasalnya, apa yang Kirani tunjuk tidak bisa dia lihat dengan netranya. Tidak ada siapa-siapa di sana.
"Namanya Seno dan Seruni. Mereka kakak adik, tapi punya karakter yang berbeda banget," ujar Kirani menjelaskan.
"Oh, ya? Boleh aku berteman juga sama mereka?"
Baiklah, Trishan mengikuti alurnya, ia menarik kesimpulan bahwasanya Kirani adalah salah satu anak istimewa yang bisa melihat apa yang orang lain tidak lihat, yaitu anak indigo.
Namun, semakin mengenal Kirani, semakin banyak momen yang mereka lewati setiap hari, bulan, bahkan berganti tahun. Trishan paham, Kirani bukan anak istimewa seperti yang ada di pikirannya. Ada yang salah dengan sahabatnya ini.
Dugaan Trishan semakin kuat, saat tiap kali ia menerima kabar dari orang tua Kirani, bahwa gadis itu melakukan percobaan bunuh diri. Bukan sekali atau dua kali Trishan berlari ke rumah gadis itu, saat mendapat kabar Kirani mencoba melompat dari balkon kamarnya. Atau putar balik ke rumah sakit, saat pesan masuk di ponselnya adalah kabar Kirani menyayat nadi di pergelangan tangannya dan berakhir di IGD rumah sakit. Dan aksi menyakiti dan melukai diri lainnya.
"Trishan," panggil seseorang menepuk bahunya.
Trishan tersentak, menariknya kembali pada kesadarannya. Bayangan tentang pertemuan pertamanya dengan Kirani menguap begitu saja.
"Iya, Tante. Kenapa?"
Wanita paruh baya itu tersenyum, wajar saja jika Kirani memiliki senyum paling manis, ibunya pun demikian. Kirani mewarisi senyum ibunya.
"Kamu belum mau pulang? Sudah sore."
Trishan mengalihkan pandangannya pada sosok sahabat yang terbaring di atas tempat tidurnya. Gadis itu masih lelap dibuai mimpi. Mungkin.
"Iya, aku pamit sekarang, Tante. Oh, iya, tadi aku udah hubungi papa. Jadwal Kiran ketemu papa diundur aja besok," ujar Trishan beranjak dari sana.
Ibu Kirani menepuk bahu Trishan. "Makasih, ya, Nak. Kamu baik banget udah mau jagain Kiran," balas sang ibu.
"Sama-sama, Tante. Kalau gitu aku permisi dulu, ya, Tante." Trishan meraih tangan yang lebih tua, mencium punggung tangannya.
Trishan meninggalkan rumah Kirani, besok ia akan kembali lagi ke sini, menjemput Kirani menemui papanya sesuai yang ia katakan tadi.
Sudah hampir dua tahun belakangan, Kirani rajin bertemu dengan Dr. Kaizhen Matthew, M.psi. Ph.D—Ayah Trishan—setiap bulannya. Seorang psikiater yang cukup terkenal di Jakarta. Melalui diagnosis sang ayahlah Trishan tahu, bahwa sahabatnya itu mengidap bipolar psikotik. Atau sering dikenal bipolar dengan halusinasi. Di mana seorang pasien ini mengalami halusinasi, delusi atau pikiran terganggu.
Bipolar psikosik bisa terjadi ketika seseorang mengalami episode manik berat. Jika psikosik bipolar terjadi selama episode depresi, pasien tersebut mungkin percaya bahwa seseorang berusaha untuk menyakiti mereka, atau mereka sendiri telah melakukan suatu kesalahan. Keyakinan ini dapat memicu perasaan amarah yang ekstrem.
Hingga sekarang, Kirani harus mengikuti terapi dan mengkonsumsi obat-obatan yang diresepkan ayah Trishan. Untuk urusan Seno dan Seruni, enam bulan belakangan, Kirani mencoba menghilangkan dua sosok itu dari pikirannya, menyakini teman masa kecilnya itu tidaklah nyata.
Ya. Seno dan Seruni tidaklah nyata. Dua sosok itu hanya hasil halusinasi Kirani semata.
End
July, 29.2023
Cerita ini ada di dalam Antologi The Universe terbit Desember 2021 di penerbit Lovrinz
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top