Fall in Love with Hot Sugar Daddies

🍒🍒🍒

Dalam hidup Keara Ainsley, semua berjalan sesuai yang ia harapkan, kecuali perihal uang dan biaya hidup. Untuk yang satu ini, selalu saja takdir buruk menyertai gadis 21 tahun itu.

Saat usianya delapan tahun, pada malam natal, kedua orang tuanya mengalami kecelakaan tunggal dan meninggal di tempat. Keara melanjutkan hidupnya bersama kakek dan neneknya.

Menjadi hakim adalah impiannya, memutuskan memilih jurusan hukum adalah langkah awal. Ia diterima di fakultas hukum ternama di kotanya, gadis cerdas yang selalu mendapat IPK tertinggi di tiga semester awal kuliahnya. Ya, semua berjalan seperti yang ia harapkan. Sebelum kesialan terjadi pada usaha properti yang digeluti sang kakek.

Bisnis yang Kakek Ainsley rintis selama puluhan tahun harus jatuh tak bersisa saat orang kepercayaannya menancapkan pisau pengkhianatan. Di usia senja sang kakek, tidak banyak yang pria itu bisa lakukan untuk menghidupi istri dan cucu semata wayangnya.

Mau tidak mau, sanggup tidak sanggup Keara harus menjadi tulang punggung keluarganya. Mulai bekerja paruh waktu di kafe, menjadi guru les privat, bahkan ia pernah menjadi tukang cuci piring di sebuah restoran. Semua demi pundi-pundi masuk ke sakunya. Jangan harap nilai kuliahnya akan sama seperti tiga semester pertama, semua mulai turun dratis. Ia tidak sempat lagi membuka modulnya atau sekadar membaca satu paragraf pasal dan perundang-undangan. Semua tanggung jawab beralih ke pundak sempitnya, termasuk biaya pengobatan sang nenek.

Mahasiswi cerdas kebanggaan dosen terancam drop out. Berita itu sangat cepat tersiar seantero kampus hingga sampai di telinga Chalvin Ellion, dosen bisnis yang terkenal akan kesendiriannya di usia hampir kepala empat.

"Kamu ... Keara Ainsley, right?" tanya Chalvin yang dengan gagahnya duduk di kursi kebesarannya di ruang rektor.

Keara mengangguk takut, ia sudah pasrah jika harus dikeluarkan dari fakultas ini lantaran tidak sanggup membayar tunggakannya.

"Tutup rapat pintu dan turunkan gordennya," ujarnya lagi memberi titah pada seorang pengawal.

Keara bingung, akan diapakan dia setelah ini. Dadanya bergemuruh hebat, manik kecokelatan miliknya bergulir mengikuti pergerakan si penjaga yang hilang di balik pintu.

"Kamu butuh pekerjaan?"

Gadis itu tersentak akan pertanyaan dari sang dosen, ia mengalihkan atensi pada wajah tampan pria itu. Sungguh, pahatan Tuhan yang sangat sempurna. Rahangnya tegas, batang hidungnya tinggi, alis lebat berbaris rapi, serta bola mata pekat kelam.

"I-iya, Sir. Saya butuh pekerjaan lebih untuk pengobatan nenek saya," ujarnya setengah lirih.

"Kuliahmu? Bagaimana dengan cita-citamu?" Chalvin menaikkan alisnya.

"S-saya sudah sangat putus asa untuk biaya nenek saya. Mungkin ... saya akan berhenti bermimpi, t-tapi Sir Chalvin tenang saja. Sampaikan ke pihak kampus, saya akan berusaha melunasi tunggakan saya." Keara memohon dengan kedua telapak tangan yang saling menangkup di depan dada.

Chalvin beranjak dari kursi kebesarannya, beralih pindah ke samping kursi Keara. "Dengan gaji pekerjaan paruh waktumu? Sampai kapan semuanya akan lunas? Tiga, lima tahun? Atau justru sepuluh tahun?"

Keara merutuki keputusan memilih kampus ini, andai saja ia memilih kampus yang biasa-biasa saja, mungkin ia masih sanggup membayar uang SPP hanya dengan gaji pekerja paruh waktu.

"Datanglah ke rumah, saya akan memberi pekerjaan dengan bayaran yang tinggi. Dan yang kamu kerjakan hanya menurut padaku. Nenekmu akan mendapat pengobatan terbaik dan kamu tetap bisa melanjutkan pendidikan."

Keara menelan ludah susah payah, usianya memang masih 21 tahun, tetapi ia tahu ke mana maksud dan tujuan penawaran Chalvin. Namun, pikirannya masih berusaha positif. Bisa saja dosennya ini memberi pekerjaan paruh waktu di salah satu perusahaannya. Keara sempat mendengar bahwa Chalvin Ellion adalah pebisnis sukses dengan memiliki lebih dari tiga perusahaan besar.

"Maaf, Sir. Jika saya boleh tahu pekerjaan seperti apa yang Sir Chalvin tawarkan untuk saya?"

"Datang saja, akan saya jelaskan nanti," ujarnya dengan menyunggingkan senyum miring.

Melalui kemeja yang sengaja digulung batas siku, Keara dapat melihat tangan kokoh dengan urat-urat tercetak jelas itu mengangsurkan selembar kertas kartu nama.

Sedikit ragu, tetapi pada akhirnya kertas dengan kombinasi merah dan keemasan itu Keara terima juga. Ia tidak berminat menerima tawaran Chalvin, tetapi ia simpan saja. Barangkali akan dibutuhkan nantinya.

Keara pamit undur diri, pertemuan yang sangat tidak membantu baginya. Ia tetap akan bekerja paruh waktu di restoran tempatnya bekerja sekarang ini, mengubur mimpinya menjadi seorang hakim hebat. Baginya, kesembuhan neneknya adalah paling utama saat ini. Persetan dengan tawaran menjanjikan yang dosen itu beri. Keara masih waras untuk tidak menjual diri pada laki-laki tua bangka yang haus belaian itu.

"Kenapa dia tidak menikah saja, sih? Kenapa harus mengincar dan memanfaatkan keadaan gadis sepertiku. Dasar dosen mesum!" umpat Keara saat dirinya sudah memasuki lift yang membawanya ke lantai bawah.

Menghela napas panjang, ponselnya di dalam sling bag berdering ribut. Merogoh tas paling dalam, Keara menggeser tanda hijau mengangkat panggilan yang masuk.

"Halo ... siapa?" tanyanya pada nomor yang belum tersimpan itu.

"Khusus untukmu, tawaran yang saya berikan tidak berbatas waktu."

Keara mengerniyit, ia belum hapal suara si penelpon, tetapi dari topik yang ia bicarakan tentang penawaran, gadis itu langsung bisa menebak siapa itu.

Mematikan panggilan secara sepihak, lagi-lagi Keara mengumpat, "Chalvin Ellion berengsek! Dia pikir siapa? Gadis lain mungkin bisa dia pelihara, tapi tidak dengan ak—"

Keara berhenti mengumpat saat pintu lift terbuka di lantai bawah, ponsel sederhananya kembali berdering nyaring.

"Aku tidak akan menerima tawaran itu, berengsek!"

"Kea? Ini kakek, kamu baik-baik saja?"

Keara gelagapan, benar saja yang muncul di layar ponselnya bukan lagi nomor tadi, melainkan nomor kakeknya.

"M-maaf, Kek. Aku sedang emosi karena ada orang iseng meneleponku, menawarkan pinjaman berbunga tidak masuk akal. Ya, pinjaman yang rentenir tawarkan."

"Segera ke rumah sakit, nenekmu tidak sadarkan diri."

Tanpa salam, Keara segera berlari ke gerbang utama fakultasnya, mencari kendaraan umum yang bisa membawanya sesegera mungkin ke rumah sakit. Dua puluh menit ia tempuh untuk sampai di sini, lagi-lagi Keara berlari. Kakinya berhenti di lorong rumah sakit saat pria renta berbalut kemeja krem lusuh itu ditangkap indera penglihatannya.

"Kek," panggil Keara setengah melirih.

"Kea, nenekmu semakin melemah. Dokter bilang harus segera menjalani operasi dan setelah itu kemoterapi," jelas sang kakek tertunduk dalam.

Keara bisa membaca isi kepala kakeknya, uang untuk pengobatan kemoterapi neneknya bukanlah sedikit. Puluhan juta, bahkan bisa saja ratusan juta. Satu tahun lalu, neneknya didiagnosa mengidap kanker pankreas dan sudah memasuki stadium dua.

Ia bukan tidak ingin melihat neneknya menjalani pengobatan yang terbaik, hanya saja dari mana ia bisa mendapatkan sejumlah uang itu? Pekerjaannya sebagai pekerja paruh waktu di sebuah restoran hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Menebus obat rutin neneknya saja, Keara harus menyambi pekerjaan paruh waktu lainnya di tempat yang berbeda.

Kepala Keara berdenyut nyeri, telinganya berdengung bising. Berat sekali beban yang ia tanggung, usianya saja masih sangat muda untuk menanggung semua ini. Menarik napas dalam satu tarik panjang, gadis itu menghela dengan pelan.

"Kekek tenang aja. Kea akan berusaha untuk nenek. Nenek pasti bisa mendapat pengobatan setelah ini." Keara berjongkok di depan pria rimpuh itu, tangannya menggenggam erat seolah menenangkan kakeknya.

Dahi pria pengganti ayahnya itu berkerut dalam, ucapan Keara seakan yakin ada pertolongan pasti yang entah datangnya dari mana.

"Biaya operasi dan pengobatan nenekmu, bukanlah sedikit, Kea. Rumah yang kita tempati dijual pun, tidak akan mencukupi."

Keara beralih duduk di samping kakeknya, memutar otak siapa yang harus ia datangi untuk meminjam sejumlah uang. Ia tidak berkeberatan jika harus menghabiskan hidupnya sebagai pekerja paruh waktu demi melunasi hutangnya kelak.

Gadis itu menjauh dari kakeknya, merogoh ponselnya menelepon seseorang yang mungkin bisa sedikit berbaik hati membantunya. Sepanjang obrolan dengan orang yang ia telepon Keara menggigit bibir bawahnya.

"Baiklah, terima kasih, Bos." Kalimat penutup obrolan mereka.

Wajah Keara berubah murung, satu-satu harapannya adalah pemilik restoran. Namun, sayang sekali orang yang ia sapa dengan sebutan bos tersebut pun tidak bisa meminjaminya uang.

"Kek, bagaimana dengan lentenir?"

Sontak pertanyaan itu membuat kakeknya menggeleng samar. Kakeknya paling anti berurusan dengan si lintah darat, mereka sangat keji tanpa perasaan merampas hak orang lain.

"Jangan, Kea! Kamu tidak tahu bagaimana kejamnya mereka menentukan bunga. Sampai mati pun kita tidak akan bisa melunasinya."

Keara menelan salivanya susah payah, seolah ada pil pahit yang tersangkut di tenggorokannya. Ia kembali menyakinkan kakeknya dengan berkata, "Kakek ingat lentenir yang meneleponku tadi? D-dia menawarkan pinjaman dengan bunga rendah. Hanya lima persen." Keara mengangkat kelima jarinya. "Ya, hanya lima persen, Kek. Bagaimana?"

Menghela napas berat, Kakek Ainsley mengangguk samar. "Terserah kamu saja, nanti kakek akan menghubungi teman lama kakek. Siapa tahu dia bisa membantu. Kakek juga akan berusaha mencari pekerjaan untuk membantumu menyicil pinjaman itu."

Secepat kilat Keara menarik tangan kakeknya, gadis itu merasa bersalah karena sudah membohongi kakeknya. Sekuat apa pun Keara untuk tak memikirkan tentang tawaran Chalvin, suara bajingan tua itu seakan melekat semakin gencar berdengung di telinganya. Akhirnya, hati kecil Keara mengikuti isi kepalanya.

Setelah berpamitan dengan kakeknya, bermodalkan kartu nama pria itu, Keara sudah berada di kediaman Chalvin. Betapa megahnya bangunan di hadapannya, lebih pantas disebut sebagai mansion. Keara memang tak menghubungi dosennya itu, ia hanya datang ke kediaman Chalvin. Alhasil, ia harus menunggu dua jam di ruang tamu yang sangat luas itu. Tentu saja ada satu penjaga yang mengawasi Keara di sana.

Suara ketukan sepatu pantofel dan high heel terdengar mendekati ruang tamu, belum lagi suara manja dari seorang perempuan sungguh membuat Keara ingin muntah. Penjaga itu menunduk memberi hormat pada kedua manusia yang baru saja datang.

Netra Keara dan Chalvin beradu, gadis itu menurunkan pandangan. Lengan Chalvin yang semula berada di pinggang seksi wanita di sebelahnya, seketika terurai saat manik kelam itu menangkap siapa tamunya malam ini.

"Aku ada tamu, tunggu aku di atas." Chalvin memberi titah.

Ingin rasanya Keara berdecih saat adegan di depannya dipertontonkan secara gratis oleh Chalvin dan wanitanya. Bibir yang dipoles lipstik merah menyala itu tanpa rasa sungkan mengecup bibir tebal si dosen ilmu bisnis tersebut.

Chalvin menarik senyum miring, di pipi kirinya tercetak jelas lesung pipi. Mengayunkan langkah mendekat ke arah Keara, pria itu memberi kode dari  jelentikan jari agar Keara mengikutinya.

Keara dibawa ke sebuah ruangan yang dipenuhi rak-rak buku menjulang tinggi. Cat ruangan yang didominasi warna dark grey itu tampak klasik. Di depannya ada meja luas dengan pelitur berwarna cokelat tua mengkilap.

"Aku tidak menyangka, kamu akan datang lebih cepat. Aku kira butuh waktu dua atau tiga bulan kamu akan menemuiku." Chalvin berujar dengan nada sombongnya.

"Sir, bantu aku. Nenekku butuh segera dioperasi, aku datang ke sini menerima tawaranmu." Keara menunjukkan kartu nama yang Chalvin berikan siang tadi.

Setelah ini Keara sudah tidak peduli akan seperti apa hidupnya menjadi simpanan om-om haus belaian, bahkan yang lebih parahnya lagi adalah om-om tersebut adalah dosennya sendiri.

Paling penting sekarang adalah kesehatan neneknya. Meskipun sejujurnya melihat perempuan yang tadi bersama Chalvin saja sangat membuatnya jijik. Ia akan menerima jika nantinya yang menjadi peliharaan laki-laki ini tidak hanya dirinya. Chalvin punya kuasa melakukan itu, uangnya tidak akan habis hanya karena memiliki dua atau tiga sugar baby.

"Apa yang kamu butuhkan, Baby," bisik Chalvin dengan suara rendah.

Rambut di sekujur tubuh Keara meremang, bukan hanya karena bisikan itu, tapi karena wajah Chalvin terlampau dekat ke wajahnya. Belum lagi kecupan ringan pria itu tinggalkan di bahu kiri Keara. Sontak gadis itu mendorong tubuh Chalavin. Bajingan tua seperti Chalvin jangan diberi hati, bisa-bisa ngelunjak.

"Sir, please jangan kurang ajar. Aku adalah mahasiswimu."

Chalvin terbahak, kedua tangannya dibawa ke dalam kantung celananya. Tatapan meremehkan ia layangkan pada gadis 21 tahun itu. Chalvin bersandar di meja kerjanya.

"Saat kamu memutuskan datang ke sini, hubungan kita bukan lagi tentang dosen dan mahasiswinya, Keara Ainsley. Kamu sama seperti perempuan yang tadi."

Keara menelan saliva susah payah, bak pil pahit yang menyangkut di tenggorokan. Apa yang dikatakan Chalvin benar adanya. Keputusannya datang ke sini, itu sama saja dengan membuang harga dirinya jauh ke dasar bumi. Ia yang secara suka rela menyerahkan diri mengambil tawaran Chalvin.

"Di rumah sakit mana nenekmu dirawat?"

"Rumah Sakit Santo Yosep, Sir."

Chalvin memutari meja kerja, meraih gagang telepon yang ada di atas sana. Menekan beberapa angka yang tentu saja Keara tidak tahu siapa yang Chalvin hubungi.

"Aku bisa membayarmu dua atau tiga kali lipat." Chalvin berujar pada orang di seberang sana. "Baiklah, nama dan usianya ...." Chalvin menjauhkan telepon dari telinganya, gagang telepon bagian bawah ia tutup dengan telapak tangannya. Chalvin menanyakan dengan gerak bibir tanpa suara pada Keara siapa nama dan berapa usia nenek gadis itu.

"M-maria Ainsley," timpal Keara segera.

"Baiklah, aku ingin kau lakukan yang terbaik untuk beliau." Chalvin menutup telepon.

Pria itu menjatuhkan bobotnya di kursi kerja, netranya menelisik Keara yang masih berdiri di tengah ruangan. Chalvin berdeham keras, sengaja agar Keara tersadar dari lamunannya.

"Ada yang kamu butuhkan lagi? Katakan saja, semua akan aku kabulkan malam ini juga," ucap Chlavin jemawa.

"Nenekku ...."

"Nenekmu sudah mendapat penanganan terbaik, mungkin saat ini sudah bersiap masuk ruang operasi."

Keara berdecak meremehkan, bagaimana bisa Chalvin menganggap ini seolah permainan. Keara butuh kepastian, ia tidak percaya dengan apa yang pria itu katakan. Memangnya dia siapa? Hanya melalui telepon saja bisa membawa neneknya mendapatkan penangan segera. Bukankah itu semua butuh biaya yang tentu sangat besar, bahkan setidaknya Chalvin datang ke rumah sakit menandatangani surat jaminan.

Chalvin tidak butuh menjelaskan atas apa yang membuat Keara bingung, telepon genggamnya sudah menjadi jawaban. Gadis itu tidak bisa berkata apa-apa saat sang kakek di seberang sana mengabarkan, bahwasanya sang nenek sudah pindah ke ruang operasi. Kakeknya kira, Keara berhasil meminjam uang pada rentenir seperti yang gadis itu sebutkan saat berpamitan tadi.

"S-sir, maafkan aku karena tidak percaya dengan ucapanmu tadi. Nenekku sudah mendapat penanganan seperti yang kamu bilang." Keara berucap dengan suara serak, rasanya ia ingin menangis saja. Betapa ia senang mendengar kabar dari kekeknya tadi.

"Pergilah ke rumah sakit, nenekmu pasti butuh kamu di sampingnya."

"Aku bagaimana? Apa yang harus aku tebus atas kebaikanmu? Atau ... kapan aku mulai bekerja denganmu?"

Chalvin keluar dari meja kerjanya, mengayunkan beberapa langkah mendekati Keara. "Sepertinya kamu sudah sangat tidak sabar, Baby." Jari telunjuk Chalvin menari lembut di permukaan kulit pipi Keara. "Datang lagi ke sini setelah nenekmu membaik," lanjutnya seraya meraih tangan Keara dan mengecupnya lembut.

Meski sebenarnya risih, tetapi gadis itu sebisa mungkin menahan rasa itu. Bagaimanapun juga, neneknya bisa dioperasi segera karena pria di hadapannya ini.

"Baik, terima kasih banyak, Sir. Aku akan—"

"Call me daddy, Baby!"

"Daddy? B-baiklah, aku akan ke sini lagi setelah tiga, D-daddy."

"Good, girl!"

Keara meninggalkan rumah megah Chalvin, tujuan utamanya kembali ke rumah sakit.

***
02112023💕

Terima kasih sudah membaca.
Mau lanjutannya spam komen apa saja di sini 👇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top