5.5 ; Gapita
Tidak banyak hal yang Janaka lakukan untuk menyenangkan Gapita. Namun, hidup mereka terasa sangat menyenangkan dijalankan. Hanya karena satu hal yang diubah; komitmen. Terbukti, dengan menyatakan komitmen berubah dengan istrinya maka segalanya terasa berbeda.
"Janaka!"
Baru kali ini Gapita sengaja memanggil suaminya dengan panggilan tersebut. Biasanya Pita hanya akan memanggilnya dengan 'Naka'.
"Kenapa, Pi?"
Kebetulan perempuan itu sedang berada di kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja.
Gapita menunjukkan wajah panik, pucat, hingga Janaka turut merasa cemas.
"Kenapa???"
Mendekati sang istri, Janaka baru sadar jika Pita tidak menggunakan celana dalamnya dengan benar. Kain itu bertengger di dengkul sang istri.
"Pi...?"
"Bercak, Ka..." Pita mulai menangis. "Ada bercak. Aku takut."
Kepanikan membawa mereka untuk segera bertindak.
"Pake baju yang benar, Pi. Kita ke rumah sakit."
Bukannya bergerak, Gapita masih menangis dengan posisi yang sama. Pada akhirnya Naka menggulung kemejanya dan menggendong sang istri kembali ke kamar. Menggantikan bajunya dan terus menggendong Gapita hingga mobil.
Baru saja semalam mereka tertawa berdua, bercanda dengan kondisi yang berbeda. Kini mereka harus menghadapi ketakutan bersama.
*
Wajah Janaka kusut. Kondisinya berantakan, istrinya sudah dirawat dan kini dia berhadapan dengan sang dokter.
"Ini flek normal, Pak. Tidak perlu dikhawatirkan. Tapi memang harus diperhatikan supaya si ibu tidak kelelahan. Apa istri bapak bekerja?"
Janaka merasa sedikit lega, informasi ini membantu sekali untuk menenangkan kecemasannya.
"Iya, istri saya bekerja, Dokter."
Sang dokter mengangguki. Seperti biasa, wejangan dan obrolan yang terjadi membuat Janaka banyak memikirkan kemungkinan. Salah satunya adalah melarang Gapita untuk bekerja.
Sekembalinya dari ruangan dokter, Janaka bertatatapan dengan istrinya dan memberikan senyumannya.
"Gimana, Ka? Apa kata dokternya?"
Meski sebenarnya bukan kondisi serius, tapi Janaka memaksa pihak rumah sakit memberikan ruangan untuk istrinya. Terlihat berlebihan, tapi Janaka tak peduli. Dia memang ingin supaya Pita mendapatkan perawatan terbaiknya.
Duduk di sisi ranjang dan mengusapi dahi perempuan itu, Naka menjawab pertanyaan sang istri.
"Nggak apa-apa. Faktor terbesarnya kamu kelelahan."
Terlihat wajah Gapita yang ringan, tidak lagi tertekan seperti sebelumnya.
"Kayaknya aku lupa kalo lagi hamil, kalo kerja aku seneng aja gitu. Nggak ada beban. Nggak sadar ternyata kecapean."
Janaka menggenggam tangan istrinya. Dia berusaha menyampaikan isi pikirannya. "Aku boleh minta kamu untuk berhenti kerja?" tanya pria itu.
Ada keterkejutan dari wajah Gapita. Namun, Naka tidak bisa menahan lebih lama lagi pemikirannya.
"Pi, bukannya aku sengaja nyuruh kamu diam di rumah. Kamu boleh bekerja, asal nggak membawa dampak buruk buat anak kita. Karena sekarang kamu begini, aku khawatir akan ada flek-flek lainnya yang bikin kita panik."
Niatnya Gapita memang ingin egois dengan membantah suaminya. Namun, semuanya akan semakin kacau jika mengandalkan keegoisan.
"Gimana? Kamu mau, kan, Pi? Demi anak kita. Setelah anak kita lahir kamu bisa—"
"Aku akan berhenti kerja."
Itu adalah jawaban yang Janaka mau, tapi sedih juga merajai hatinya karena melihat kebebasan untuk Gapita harus dikungkung kembali.
Janaka memberikan senyumannya. "Makasih, Pi."
Gapita mengiyakan dengan begitu cepat. "Apa pun demi anak kita, Ka."
Pada saat seperti ini, Janaka tak bisa menahan keinginan untuk mencium bibir Pita. Meski berada di rumah sakit, satu ciuman lembut tidak akan merugikan siapapun.
"Makasih, Pi. Makasih."
Dan Gapita tetap menanti kata-kata setelah ucapan terima kasih itu. Nggak ada kata cinta, Ka?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top