4.4 ; Janaka
Tidak tahu hawa apa yang membawanya ke toko bunga yang dia ketahui dari penjelasan istrinya itu sekarang. Sepertinya sekilas memang tak ada yang salah, tapi Janaka tahu bahwa dirinya sedang teler berat hingga kemungkinan dirinya mabuk dan mendatangi tempat bekerja Gapita adalah satu-satunya yang ingin dia lakukan. Meski sepulang kerja adalah waktu yang paling melelahkan, belum lagi Janaka harus mengisi jadwal kuliah tingkat duanya yang tetap membutuhkan tenaga serta perhatian di kala rumah adalah tujuan dia beristirahat.
Lalu, kenapa dia justru mendatangi toko bunga itu sekarang?
"Permisi, Mas. Mau parkir masuk toko bunga apa mau masuk ke Indiapril?" tanya salah seorang tukang parkir di sana.
"Euh... saya—"
"Naka?"
Seruan dari suara yang Janaka kenali itu membuat si tukang parkir langsung menyingkir, mungkin tahu hanya untuk menjemput—
"Oh, mau jemput adiknya, ya, Mas?"
—adik? Harusnya si tukang parkir itu menyebut istri, kan? Kenapa justru menyinggung menjemput adik?
Janaka juga bingung, kenapa dia tidak terima ditebak sedemikian. Padahal dia senang sekali jika ternyata orang lain melihatnya dan Gapita seperti adik dan kakak. Jadi pernikahannya tidak akan diketahui banyak pihak.
"Sialan," gumam Janaka begitu tukang parkir pergi mencari mobil lain untuk dicarikan tempat parkir di depan minimarket itu.
"Kamu marah sama siapa? Tukang parkir?"
Pita mendekat dan menatap wajah suaminya dengan aneh. Sore begini Janaka sudah marah-marah di tempat umum. Lebih aneh lagi, karena pria itu malah berada di depan tempat kerja Pita.
"Kenapa di sini, Ka? Kamu, kan, udah bawa kunci rumah. Aku juga baru aja mau pulang, nih."
Berdecak, Janaka menatap lekat istrinya. "Kamu pake pewarna bibir berapa kali, sih? Jam segini masih nyala aja warnanya!" protes Janak tiba-tiba.
Sontak saja Gapita menyentuh bibirnya sendiri. "Eh? Ini tadi pas jam makan siang aku pake ulang makanya masih kelihatan merah. Bagus, ya. Lipstick-nya warna ini, tuh bikin aku kelihatan bersih—"
"Jelek! Besok, kalo berangkat kerja nggak usah dandan. Biasa aja, nggak ada bagusnya pake warna-warna di muka sama bibir kamu. Lagian kerja cuma di toko bunga. Mau ketemu siapa sampe dandan kamu?"
Gapita yang biasanya diam dan menurut kini membalas, "Ketemu pelanggan, pembeli, pokoknya yang bisa bikin toko bunga laris penjualannya. Aku juga harus tampil rapi dan cantik, Naka. Masa aku mau kumel aja? Bikin selera orang yang mau beli jadi turun."
Janaka mengerutkan keningnya. "Siapa yang ngajarin kamu bales ucapan suami, Pi?"
Gapita menatap sekeliling dengan panik. Dia menutup mulut Janaka dengan cepat dan berbisik, "Kamu, kok teriak-teriak gitu? Kamu tadi nyebut kalo kamu itu suami aku, Naka."
Tak terima dibekap, Janaka menepis tangan Pita. "Emangnya kenapa?! Aku emang suami kamu, kok!"
Pita menatap sekeliling karena merasa banyak mata yang memerhatikan mereka. Saat ini keduanya seperti pasangan yang tengah bertengkar di tempat umum.
"Kan kamu sendiri yang mau rahasiain kalo kita ini menikah, Naka. Kamu yang bilang kalo ada yang tahu aku ini istri kamu dan anak ini sampe diketahuin anak kamu—"
"Nggak ada kayak gitu! Mulai sekarang aku mau kamu nggak nutupin mulutku kalo aku bilang kamu adalah istriku dan aku suami kamu. Paham?"
"Tapi kamu—"
"Nurut sama aku mulai sekarang, Pi."
Gapita menunduk. "Dari awal aku juga nurut. Emangnya aku pernah buka cerita ke temen kantor kamu kalo kamu udah nikah sama aku?"
Janaka kembali mendecak. "Kamu pinter bales omongan aku sekarang. Pokoknya aku nggak terima bantahan lagi, kamu harus akuin aku sebagai suami kamu. Jangan sampe ada yang ngiranya kamu adikku. Pokoknya aku suami kamu. Inget, suami dan ayah dari anak di kandungan kamu!"
Dengan keras-keras Janaka seolah sengaja menyebutkan 'suami' berkali-kali, hingga tukang parkir juga ikut menoleh. Janaka memasuki tempat duduk kemudi dan Pita masih berada di sisi mobil.
"Ngapain kamu berdiri di situ aja? Kamu nggak mau pulang, Pi?"
Pita mengangguk, tapi tidak bergerak untuk segera memasuki kursi depan mobil.
"Terus ngapain masih berdiri di situ???"
"Kamu ngajak aku pulang bareng, Ka?" tanya Pita balik.
"Iya-lah!"
"Tapi aku biasanya pesen ojek—"
"Masuk! Pulang sama aku, bukan sama tukang ojek!"
Pita segera menuruti suaminya itu. Dia tak mau ada ocehan dari Janaka lagi. Cukup saja tadi pria itu menekankan kata suami berkali-kali entah karena apa.
Naka kenapa jadi aneh, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top