4.3 ; Janaka


Segala pikiran buruk memang akan selalu datang apa pun caranya. Walau sudah berusaha meyakinkan diri untuk tidak demikian, tapi Janaka memang tidak bisa mengenyahkan pikirannya akan segala hal buruk mengenai Gapita yang bekerja. Ada apa sama gue, sih!?

Ketukan di pintu ruang kerjanya membuat Naka melebur lamunannya. Bukan lagi saatnya untuk terbawa dalam lamunan saat bekerja.

"Masuk!"

Riyanti membawa kepala cabang baru yang membuat kepala Janaka langsung memutar nama Gapita kembali dalam pikirannya. Sungguh luar biasa istrinya itu, bisa begitu cepat belajar memasuki ruang pikir Janaka.

"Pak, ini bapak Kandaru Toga ingin bicara dengan bapak."

Janaka mengangguk menyuruh Riyanti meninggalkan ruangan dan mempersilakan Kandaru duduk.

"Mau bicara apa?" tanya Naka.

Tidak membiarkan basa basi melewati mereka berdua. Meski sangat jelas bahwa Kandaru ingin bersikap baik, Naka tidak merasa membutuhkannya.

"Saya ingin memastikan saja, Pak Janaka. Apa bapak ada kendala selama saya dipindahkan ke sini? Karena selama kita bertemu respon bapak Janaka terhadap saya... sepertinya berlebihan."

Berlebihan?

"Saya nggak memiliki masalah denganmu. Juga nggak merasa bersikap berlebihan. Kamu ini mau bekerja atau menilai saya saja?"

Kandaru tersenyum. Ketenangan serta begitu lembutnya pria itu bersikap tiba-tiba mengusik Janaka.

"Kenapa kamu tersenyum begitu?" tanya Janaka skeptis.

"Saya tahu bapak Janaka ini memiliki ruang yang lebih luas di sini, karena bapak memiliki hubungan darah dengan pemilik—"

"Kamu mau menilai saya melakukan tindakan tidak etis di sini?! Kamu pikir saya menggunakan cara kotor itu dengan orangtua saya sendiri?!"

Kandaru semakin melebarkan senyumannya. "Saya tidak mengatakannya, justru bapak yang merasa lebih dulu. Tapi saya ingin menitip pesan, jika bapak Janaka tidak nyaman dengan keberadaan saya di sini akan lebih baik jika bapak langsung saja bicarakan dengan saya. Karena sepertinya ada yang salah dengan respon bapak terhadap saya. Tidak seperti rekan kerja yang baru mengenal, kita seperti memiliki masalah besar yang belum terselesaikan satu sama lain." Kandaru berdiri. "Saya permisi, Pak Janaka. Terima kasih untuk waktunya."

Janaka tidak memberi balasan apa pun. Dia merenungi apa yang sebenarnya Kandaru maksud. Pria itu sepertinya mampu membaca situasi yang sedang berjalan diantara mereka. Apa gue kelihatan benci banget sama dia? Janaka berulang kali memastikan sendiri, bertanya pada diri sendiri, dan dia tidak mendapatkan jawaban yang pas. Menurutnya sikap yang dia berikan pada Kandaru jelas biasa saja. Dia hanya sedikit menyepelekan Kandaru, tetapi tidak merasa berlebihan.

"Riyanti!" serunya pada sang asisten melalui sambungan di meja. "Masuk ke ruangan saya!"

Entah bagaimana Janaka merasa sangat tidak baik-baik saja setelah Kandaru bicara dengannya.

"Iya, Pak?"

"Kamu pastikan Kandaru Toga tidak menemui saya lagi. Saya nggak mau bicara dengannya lagi!"

Riyanti menatap atasannya dengan pandangan super heran. Ada apa gerangan hingga  membuat atasannya langsung enggan bicara lagi dengan kepala cabang yang baru.

"Maaf, Pak. Bisa tahu alasannya?" Dengan pelan Riyanti bertanya.

"Nggak ada alasan! Saya nggak mau bicara dengannya. Itu saja."

Aneh, tapi Riyanti tidak bisa mengutarakannya langsung.

"Bagaimana jika nanti ada desas desus, Pak? Itu akan membuat hubungan bapak dan pak Kandaru Toga menjadi semakin dibicarakan."

Janaka memicing. "Memangnya saya dan Kandaru sudah dibicarakan? Kenapa kamu bilang 'semakin dibicarakan'?"

Riyanti tidak berusaha menutupi. Dia menganggukan kepala dan menjelaskan. "Ya. Itu sebabnya bapak Kandaru ingin memperjelas apa masalah antara bapak dan beliau yang kentara sekali tidak menyukai pak Kandaru."

Sialan! Gue udah jadi bahan gosip di kantor.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top