4.2 ; Janaka

Paginya, Janaka sukses dibuat semakin tak tenang dengan Gapita yang sudah siap dengan pakaian rapi. Sebenarnya tidak akan aneh jika saja yang memakai bukanlah Gapita. Bagi Naka, sikap 'mendadak rajin' kerja istrinya itu terlalu aneh. Di matanya, Gapita terlalu bersemangat akan semua hal untuk dilakukan. Jadi, ada rasa tak ikhlas melihat Pita bekerja semudah apa pun pekerjaannya.

“Yakin kamu cuma kerja di toko bunga? Nggak di tempat lain?” Naka mulai menginterogasi.
Dasi yang dia usahakan pasang sendiri malah tidak benar bentuknya hingga dia harus mengulang dan makin kesal. Sedangkan Pita sudah berhias wajah, meski tipis Naka mendadak tak suka. Buat apa coba dandan cantik?!

“Iya, aku kerjanya di toko bunga itu, lho, depannya mini market—”

“Aku nggak nanya itu, nggak usah jelasin.” Belum apa-apa Janaka sudah lebih dulu menyela ucapan Gapita. Tentu saja membuat perempuan itu diam dan memilih tidak membalas dengan kalimat apa pun lagi.

Janaka yang merasa aneh dengan keterdiaman mereka menoleh dari pandangannya dari kaca lemari. Istrinya ada di seberang, di meja riasnya sendiri, tapi Naka tidak merasa bahwa perempuan itu ada di sana.

Memutuskan berdehem, Naka sukses membuat Gapita mengalihkan mata dari ponselnya yang digenggam dan membuat perempuan itu terkikik menahan tawa. Ada apanya coba? Senyum-senyum nggak jelas!

“Aku berangkat, ya.” Gapita ternyata melepaskan ponselnya karena ingin meminta izin pamit kerja, bukan karena Naka memberi teguran melalui dehemannya.

“Ini belum ada jam delapan, hebat banget toko bunga itu sampe bikin karyawannya dateng lebih pagi daripada karyawan kantoran.” Sindiran itu sepertinya tidak mempan untuk Gapita, karena sekarang perempuan itu malah melebarkan senyumannya dengan bangga.

“Iya, dong! Toko bunga aku kerja itu lebih disiplin daripada kantor kamu, hehe.” Lalu, Pita menyalimi tangan suaminya. “Aku berangkat!”

Dan benar. Gapita tidak menoleh lagi hanya untuk memastikan apakah semua kebutuhan suaminya terpenuhi atau tidak. Tidak peduli apakah perempuan itu sudah menyiapkan sarapan atau tidak. Meski tidak esktrem sampai tak peduli rumah, tapi bagi Janaka istrinya sudah tidak sepeduli biasanya.

“Baguslah! Lo harusnya bersyukur dia nggak peduli sama lo dan pernikahan kalian ini, Ka. Kalian bisa mutusin pisah setelah nggak ada kecocokan begini. Iya, kan?” tanya Janaka pada cermin di depannya. Masih dengan dasi yang belum selesai juga dia kerjakan.

Seharusnya dia bisa lebih cepat dari Gapita yang biasanya tidak secekatan dirinya. Namun, pagi ini hancur sudah vibe baik pagi harinya.

*

Sesampainya di kantor, Janaka memilih langsung mengerjakan apa yang asistennya—Riyanti sampaikan. Kepalanya yang berat karena memikirkan Gapita setidaknya bisa dia alihkan sejenak dengan pekerjaan.

“Kopi, Bapak.” Kata Riyanti seraya meletakkan gelas berisi kopi pesanan Janaka.

“Hm. Makasih,” sahut Naka.

“Kalau begitu saya permisi, Pak.”

Riyanti sudah akan ke luar, tapi Janaka memanggilnya kembali. “Eh, eh, eh, Riyanti!”

“Iya, Pak?” Perempuan itu kembali menghadap Janaka.

“Saya mau tanya seputar perempuan.”

Riyanti mengernyit, tapi tidak menolak. Ya, jika menolak bisa gawat pekerjaannya. “Iya, Pak. Selama saya bisa bantu jawab.”

Janaka menyangga kedua sikunya di atas meja. Merapatkan tangan hingga menahan dagunya.

“Perempuan kalo suka senyum-senyum sendiri sambil lihat handphone itu kenapa, ya?” tanya Janaka dengan nada super ingin tahu.

“Sepengalaman saya, Pak. Biasanya kalau ada balasan dari temen yang lucu, bikin balik semangat, ya... senyum-senyum lihat handphone, Pak. Jangankan chat lucu, gambar receh dari internet aja bisa bikin senyum bahkan ketawa.”

“Bukannya dapet chat dari pasangan atau selingkuhan, gitu?”

Riyanti tertegun sejenak.

“Nggak harus begitu, Pak. Kalau bapak berpikiran jelek, biasanya akan begitu yang dilakukan pasangan bapak. Semakin dituduh dan disudutkan, bisa aja pasangan bapak makin buktiin tuduhan bapak.”

“Saya nggak bilang pasangan saya selingkuh! Kok, kamu bilang gitu ke saya?!”

Riyanti mendengkus dalam hati. “Iya, saya minta maaf, Pak. Tapi itu jawaban saya. Maaf kalau tidak bisa memuaskan keingintahuan bapak.”

“Yaudah, balik kerja!” usir Janaka begitu saja.

Seperginya Riyanti, Janaka malah memikirkan lamat-lamat ucapan asistennya itu. Apa harus berhenti berpikiran negatif ke Pita?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top