4.1 ; Janaka

Pulang ke rumah dengan suaminya yang tiba-tiba saja menghadang di depan pintu dan menyergapnya membuat Gapita sangat kebingungan. Tak tahu apa yang sedang suaminya alami, pun tak tahu apa yang terjadi, hanya menikmati saja yang Gapita lakoni sebagai istri. Toh, tidak biasanya juga Janaka akan memberikannya sentuhan intim langsung semacam ini. Maka dari itu, menikmati saja sudah lebih dari cukup. Meskipun setelahnya dia makin kebingungan dengan sikap Janaka yang tak bicara padanya untuk beberapa waktu.
Memasak yang dia rasa paling cepat, Gapita lebih dulu siap dari mandi Janaka yang ternyata cukup menghabiskan waktu. Pita melirik jam dinding, dia menunggu keberadaan Janaka dari dalam kamar. Rasa laparnya membangkitkan niatan untuk lebih dulu makan, tetapi mengingatkan diri berulang kali bahwa ada suami yang harus dia layani menambah niat Pita makin urung dilakukan.

“Ngapain di situ diem aja?” tanya Janaka yang membawa tiga jenis snack ke depan ruang tv.

“Nungguin kamu. Makan, yuk, Naka!” ajak Gapita seolah pria itu adalah sebenar-benarnya teman baik.

Walaupun memang Naka adalah teman baik, jika saja mereka tak dijodohkan dan dalam kondisi menjadi pasangan. Sudah pasti respon Janaka akan lebih manusiawi ketika Pita memang hanya sebagai anak tetangga sekaligus adik dari mendiang sahabatnya yang turut serta menjadi sahabat juga. Sayang, takdir mereka seakan memang digariskan bersama dan akhirnya merugikan salah satunya. Dalam hal ini yang dilihat orang lain dengan apa yang dirasakan Janaka jelas berbeda.

Bagi orang lain, nasib Gapita yang mengenaskan. Namun, bagi Janaka dialah yang paling menderita dengan menerima perjodohan tersebut.

“Makan? Aku udah makan, ngapain ditungguin? Lagian, aku mau nonton siaran bola. Nanti aku pesen sendiri makanan tambahan kalo laper.”

Pesen sendiri? “Aku masak, kok, Naka.”

“Ya, terus?”

Gapita tertegun. Ya, terus... Apa, Pi? Jawab dia!

Nyatanya keberanian itu untuk menjawab itu tidak ada dalam diri Pita. Terbiasa diperlakukan dengan baik dan disayang berlebihan membuat Gapita tidak sampai hati memprotes kepada Janaka yang sudah mau menerimanya.

Jika begini, Pita jadi ingat kembali bagaimana Janaka lemah lembut memperlakukannya ketika masih begitu akrab dengan kakak perempuan itu. Perlakuan Janaka sedikit berbeda.

“Heum, nggak apa-apa. Kamu nonton aja, aku makan dulu.” Kata Gapita pada akhirnya.
Jika ingin menyesali, untuk apa dia menunggu Naka jika akhirnya dicampakkan begini? Namun, Pita berpikir kembali bahwa dia memang perlu belajar mengalah. Dia bukan anak kecil lagi, mengalah bukan berarti tak bisa menjadi apa-apa. Lagi pula Pita juga akan menjadi seorang ibu, mengajarkan anaknya sejak dalam kandungan untuk bersabar akan membuahkan hasil yang baik.

Menatap punggung suaminya dari belakang menambahkan rasa yang aneh dalam diri Pita. Apa? Perasaan apa? Tak jelas, sebab Pita tidak pernah benar-benar mengerti cinta dan perasaannya sendiri. Hanya saja Pita tahu ketika dirinya menyukai seseorang, sama seperti ketika dia menyukai Kandaru sewaktu sekolah dulu. Lalu, dia menekan dadanya sendiri. Apakah jantungnya berdetak untuk rasa suka? Atau rasa cinta yang tidak dia begitu pahami?

“Oh, ya. Aku mau nanya, ngapain kamu hujan-hujanan? Habis dari mana?” tanya Janaka tanpa menoleh dari layar tv.

Pita menoleh ke jendela. Hujan sudah reda, malam juga semakin naik. Dia tidak memiliki niatan untuk menjawab panjang karena semangatnya mendadak luntur entah karena apa.

“Habis dari toko bunga.”

“Ngapain?”

Sesungguhnya Pita ingin mendesah napas kesal, tetapi urung dilakukannya. Jangan suka mengeluh, Pi! “Aku izin tadi pagi sama kamu. Aku lamar kerja di toko bunga, kamu pasti nggak dengerin.”

Janaka langsung membalikkan tubuh. Ditatapnya Pita yang tidak membalas tatapannya dari jarak mereka.

“Kamu bilang apa?” tanya Naka.

“Aku lamar kerja di toko bunga.”

“Bukan yang itu,” kata Naka meminta istrinya mengatakan ulang.

“Aku izin sama kamu tadi pagi.”

“Setelah itu?”

“Kamu nggak denger?”

Janaka menjentikkan jari. “Itu, iya. Apa maksudnya? Kamu mau bilang aku budeg?” todong pria itu.

“Nggak. Aku Cuma bilang gitu aja, kamu nggak denger tadi pagi makanya kamu lupa.”

Janaka terlanjur sewot, dia dengan badmood enggan melanjutkan.

“Terserah kamu-lah! Banyak alasan!”

Gapita hanya bisa terdiam. Naka kenapa, sih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top