3.5 ; Gapita

Terkejut dengan segala kebetulan yang ada, Gapita menarik kesimpulan bahwa mungkin saja pemilik toko bunga yang dikenal Mala ini hanya kebetulan begitu mirip dengan Kandaru Toga; mantan cinta monyet Gapita dulu.

Melihat Gapita yang tertegun dengan pintu yang belum tertutup sempurna, Handaru ikut menatap kebingungan.

"Hai, Gapita? Yang mau melamar pekerjaan, kan?"

Handaru jelas membuat Pita semakin terkejut. Sikap lemah lembutnya sama seperti Kandaru.

"Nama sama wajah bapak mirip dengan seseorang yang saya kenal." Spontan saja Pita mengeluarkan pemikiran tersebut kepada calon atasannya.

Handaru mengedipkan mata beberapa kali. Merasa kesan pertama pertemuan mereka agak unik dibanding dengan proses wawancara yang lain.

"Oh, saya mirip dengan seseorang? Boleh tahu siapa?"

Handaru bahkan mengenyampingkan urutan profesional. Tidak biasanya Handaru akan menaruh urusan pekerjaan untuk menimpali topik dari calon pekerja di toko bunganya, tapi Gapita ini memang cukup unik.

"Kandaru Toga."

Mata pria itu membeliak terkejut. "Kamu kenal dengan adik saya?"

Gapita menjadi tak kalah terkejutnya. "Adik bapak? Kandaru Toga?"

Terjadilah sesi saling bertanya yang tidak ada habisnya diantara keduanya.

Handaru tertawa pelan. "Maaf, saya baru kali ini mendengar langsung perempuan mengenal adik saya. Dia... saya kira tidak ada perempuan yang dekat dengan dia."

Gapita mengangguki. "Oh, gitu. Dulu waktu sekolah dia sering main, kok ke rumah saya."

Kedua alis Handaru naik. Mungkin ada informasi yang tidak pernah pria itu ketahui langsung.

"Wow. Jadi, kamu perempuan itu. Akhirnya saya tahu."

Gapita yang menjadi tidak paham dengan pembahasan yang menjurus ke ranah pribadi itu.

"Sini, duduk. Saya mau dengar banyak cerita kamu dan adik saya."

Sepertinya Handaru tidak memiliki insting apa pun mengenai kondisi Gapita yang sudah bersuami dan kini tengah berbadan dua.

*

"Ke mana dia?"

Janaka mengernyit heran karena belum ada tanda-tanda Gapita di rumah. Kunci duplikat sudah ada di tangan, dia tidak perlu menunggu kepulangan Gapita lagi. Namun, rasanya aneh jika perempuan itu tidak menyambutnya.

Kesal selalu melanda, ada Gapita dia kesal. Tidak ada perempuan itu di rumah kenapa justru semakin kesal?

Mengeluarkan ponselnya. Janaka mencari nama sang istri dalam daftar kontak. Dia gemas begitu menemukan 'Gapita' di layar. Menghubungi dengan cepat yang dia dapatkan adalah jawaban dari operator bahwa panggilannya tidak terjawab oleh si penerima.

"Sialan! Ke mana, sih?!"

Amarahnya naik. Begitu melihat langit mendung dan menunjukkan rintiknya perlahan hingga menyerbu kencang, amarahnya semakin naik.

"Bodoh banget, lagi hamil malah masih keliaran jam segini! Hujannya deras malah nggak diangkat! Bodoh!" makinya tanpa peduli bahwa hanya dirinya seorang yang bicara dan mendengar.

Mulanya Janaka berniat mandi lebih dulu. Namun, ternyata rasa khawatir lebih mendominasi. Berdecak berulang kali, Janaka seolah tak paham bahwa dirinya sedang dilanda rindu. Menyangkal berulang kali meski dalam pikirannya berkelebat adegan buruk mengenai Pita dan bayi mereka.

Kakinya berderap kencang segera untuk kembali ke luar menuju garasi. Belum usai dia mencari sepatunya, wajah Pita dengan rambut yang basah menyapa matanya.

"Kamu mau ke mana? Kok, belum mandi. Oh, iya. Aku belum siapin air hangat, ya. Sebentar, aku—"

Janaka tidak membiarkan hal lain terucap dari bibir perempuan itu. Dibungkamnya Pita dengan bibir pria itu. Menuntut untuk mendapat balasan yang sama.

Menuruti kemauan Janaka, Pita mengalungkan lengannya pada suaminya. Menyerah pada keinginan Naka di atas sofa bed mereka. Membuat jejak basah yang lain diiringi musik natural dari jatuhnya air hujan, entah sebagai perayaan apa. Untuk kepulangan Gapita? Atau untuk mengapresiasi rasa rindu serta cemasnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top