3.2 ; Gapita
Dalam benak Mala langsung timbul pemikiran bahwa temannya terlalu memandang segala hal dengan positif, sedangkan kenyataannya tidak seperti itu. Semua orang akan mengkhianati satu sama lain pada akhirnya, meskipun memang takdir tidak akan dengan teganya tak memberi bahagia setelahnya. Tapi paling tidak, rasa sakit akan terus menaungi mereka. Mala tak tahu apakah kebahagiaan yang akan ada diakhir cerita Gapita akan muncul sebelum atau sesudah masalah panjang dihadapi.
"Pi, lo nggak ada curiga apa gitu ke Naka?" tanya Mala untuk memancing saja. Kira-kira Gapita sebenarnya peka tapi berpura-pura atau memang tak peka sama sekali.
"Curiga apa, Mal? Naka baik, kok—"
"Yawlah, Pi! Baik itu kalo dia sayang ke lo, mau anterin belanja ke supermarket bininya, mau nerima lo dalam situasi dia yang masih kuliah ataupun nggak. Kalo dia masih nutupin... itu namanya nggak baik, Pi."
Pita berpikir bahwa Mala tidak akan mengerti alasan Janaka yang tak mau membuka masalah pernikahan ke banyak orang karena demi kebaikan rumah tangga mereka yang terhitung muda. Pernikahan mendadak yang terjadi karena mendiang kakak Gapita yang meminta... pastilah sulit bagi mereka berdua jika menyatakan pernikahan tanpa cinta. Ya, setidaknya yang tidak mencintai adalah Janaka. Sedangkan Pita menjadi pihak yang tresno jalaran seko kulino.
Mala memutar bola mata ketika mendengar balasan Gapita, "Kamu nggak akan ngerti, Mal. Pernikahan aku sama Naka itu nggak biasa."
"Ya udahlah, terserah!" Habis sudah kesabaran Mala. Dia memilih tak mau mengorek apa pun lagi, ketimbang nanti malah menyakiti perasaan Gapita saja. Sadar diri bahwa ucapannya juga ketus jika berhubungan dengan Janaka si brengsek.
"Eh, iya. Aku bisa ke tempat si Ongkoh ini kapan, Mal?"
Mala meletakkan ponselnya sendiri. "Kayaknya bisa kapan aja, sih. Tapi orangnya kadang nggak ada di toko, sibuk mau ngurus pertunangannya."
"Oh, gitu. Aku jadi bingung mau ke sana kapan."
Ya, dasar Gapita yang polos pasti selalu bingung.
"Gue coba hubungin duluan, deh. Gue tanyain dia kira-kira ada di toko kapan." Kata Mala untuk memutuskan agar Pita segera bertindak.
Sepertinya memberikan kesempatan pada Gapita untuk bekerja akan lebih baik, ketimbang mengurusi Janaka saja yang jelas tak pernah menghargai usaha Pita di rumah. Mala suka gagasan di mana Pita sibuk bekerja, begitu asik dan akhirnya menimbulkan drama rumah tangga dan Pita sadar suaminya tidak baik untuk hidupnya. Masalah pisah atau tidak, Mala tak mau ambil pusing. Yang Mala inginkan adalah Gapita tahu Janaka tak baik untuknya.
"Nih, kata Ongkoh dia besok ada di toko dari jam sepuluh pagi."
"Tanyain juga, dong, Mal. Bisa nggak aku lamar kerjaan besok?"
"Duh, banyak mau, deh ibu hamil!" Meski mendumal, nyatanya Mala tetap mengetikkan pesan seperti yang Gapita mau. "Katanya bisa, nih. Dia nunggu dari jam sepuluh sampe sebelum jam makan siang."
Gapita tersenyum lega. "Oke. Aku besok ke sana jam sepuluh."
Mala tidak melarang. Dia tahu Gapita orang yang pandai disiplin waktu jika sudah berurusan dengan hal yang lebih ke ranah kerja. Zaman kuliah saja Mala sampai geleng-geleng kepala karena Gapita selalu selesai mengerjakan tugas di hari tugas itu diberikan.
"Mau gue temenin, besok?" tawar Mala.
Gelengan Pita menjadi jawabannya. "Aku mau berusaha sendiri besok. Kamu santai aja, lagian kamu masih punya jadwal ngantor besok. Aku nggak mau ganggu."
Bagaimana Mala tak betah berteman dengan Pita, tingkat pengertiannya sudah luar biasa. Bukan datang saat butuh saja, Pita datang saat butuh dan Mala bersedia dengan waktunya. Sayang, suami Gapita malah menyia-nyiakan sosok manis nan penurut itu.
Kalo Gapita udah nggak kuat, dia bakalan lebih keras dari pada batu. Mala berharap Janaka akan merasakan usaha sulitnya memecahkan batu tersebut suatu saat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top