2.5 ; Janaka

Usai dengan agenda mandinya, Janaka melirik istrinya yang sedang membereskan tempat tidur mereka. Bukannya tak rapi, tapi Gapita selalu sensi jika tatanan kasur yang sudah diduduki tak kembali dirapikan jika perempuan itu ingin kembali beraktivitas di sana.

"Bajunya di kursi rias, Naka. Aku beresin ini dulu, ya. Nanti makan bareng ke bawah—"

Gapita memang tidak melihat apa yang dilakukan suaminya setelah keluar dari kamar mandi. Dia sibuk merapikan apapun karena sejak hamil pembawaan ingin segalanya bersih semakin besar. Meski tak membereskan semua bagian rumah, tapi apapun ruangan yang sering digunakan untuk beraktivitas pastilah Pita sibuk membuat tatanannya bersih lagi.

Ketika sikunya disentuh dan merasakan suhu tubuh Naka yang selesai mandi perempuan itu meremang.

"Naka...?"

Tak membalas panggilan Gapita, pria itu mengambil kesempatan untuk menarik tubuh Pita yang masih membelakanginya untuk dirapatkan pada tubuh Naka sendiri yang masih menggunakan handuk.

"Udah mandi?" tanya Naka berupa bisikkan pada istrinya.

"Hm." Gapita tak pernah bisa menjadi pribadi yang teguh jika sudah berurusan dengan aktivitas ranjang.

"Aku mau bagianku tetap dilakukan, Pi."

"Bagian apa, Naka?"

Jemari pria itu sedang mencoba menurunkan tangannya untuk meraih bagian tubuh sensitif Gapita dengan caranya. Saat itu juga Pita menahan napasnya dan tanpa sadar menyandarkan kepalanya pada bahu suaminya.

"Ini, Pi. Jangan kamu pikir bagianku nggak ada lagi, Pi. Mentang-mentang cinta monyet kamu itu balik, nggak ada alasan kamu membuat bagianku ditutup." 

"Aku... nggak ada kepikiran... begitu, Kaaa." Dengan sisa napas yang tersendat-sendat karena aktivitas jemari Naka yang sengaja membelai kewanitaan Pita yang hanya tertutupi kain lucu nan seksi tanpa dalaman berwarna baby blue.

Bukan hal aneh sebenarnya jika Gapita hanya memakai lingerie sejenis itu. Jika menunggu Janaka kerja barulah Pita memakai dress lengkap. Sedangkan dalam keadaan Naka di rumah dan siap tidur, Pita tak pernah malu untuk memakai atasan dan bawahan super pendek tipe apa pun yang dia punya.

"Tapi kamu ingat betul dengan orang itu!" ucap Naka kentara dengan nada protes.

"Kandar—"

"Nggak usah disebut!" sela pria itu.

Dan memang tidak ada yang ingin Gapita sebut dalam situasi seperti ini. Janaka tidak akan pernah tahu bahwa dihati perempuan itu hanya ada nama Janaka, sedangkan Kandaru tidak membentuk kenangan apa-apa yang begitu berarti.

"Balik badan, Pi." Perempuan itu menuruti apa yang suaminya ucapkan. "Duduk." Bak kerbau dicucuk, Pita kembali menurutinya.

Ketika Janaka menurunkan handuknya dan memperlihatkan miliknya yang mengeras, Gapita terkesiap. Bukan karena hal baru, tetapi karena Pita selalu takjub dengan benda tersebut.

"Pegang, Pi." Suruh pria itu lagi. Ketika dengan segala gerakan canggung dan malu, Janaka merekamnya dalam kepala bagaimana Pita berusaha menekuni apa yang diinginkannya. Begitu sang istri menggenggam, Janaka memejam mata menikmati sentuhan jemari itu. "Cium, Pi."

Tak pernah ada kata gagal bagi Janaka untuk menuntun Gapita dan bagusnya lagi, Gapita tak pernah mengecewakan dalam hal menuruti segala titah Naka.

"Gini, Naka?" tanya Gapita yang mendongak seraya menciumi permukaan keras suaminya.

Begitu mendapati Naka memejamkan mata dan mulai meraup kepala Gapita, pria itu menekan wajah istrinya untuk maju. "Jilat, Pi. Masukkan ke mulut kamu juga."

Meski bingung, Gapita berusaha untuk menelaah ucapan Naka dalam kepala dan mencobanya. Mulai dari mencium, menjilat bagian ujung sebelum bagian dalam hingga bawah, lalu mencobanya untuk masuk ke dalam mulutnya yang tak dinyana mencakup milik Naka meski dipaksakan.

Agenda malam itu akhirnya diisi dengan pergulatan mereka di atas ranjang. Meski pembahasan mengenai Kandaru tak diselesaikan, tapi keduanya sudah lebih dulu mencapai puncak ketimbang memikirkan nama yang akan segera menjadi ancaman bagi rumah tangga mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top