2.2 ; Janaka

Kembali ke rumah dengan pemandangan Gapita yang tertidur di sofa sedikitnya membuat Janaka menjadi luluh. Wajah perempuan itu terlihat lelah, tapi memaksakan diri untuk menunggu. Padahal sudah jelas Janaka mengirimi pesan bahwa tidak akan pulang malam tadi. Hingga pagi hari seperti ini Gapita masih saja keras kepala.

"Pi!" panggil Janaka sembari menepuk pipi Gapita. "Bangun, Pi! Tidur di dalam aja sana!"

Pita menggeliat. Dia terkejut mendapati Naka melihatnya dengan tatapan lelah dan dirinya bahkan belum menyiapkan apa-apa. Pembantu rumah tangga tidak datang hari ini, seharusnya Pita bangun pagi dan segera membelikan bubur untuk Naka.

"Naka... maaf, aku kesiangan. Sarapan belum aku siapin."

Janaka berdecak. "Gimana mau nyiapin sarapan, mandi aja nggak sempet gitu. Udahlah, mendingan kamu tidur di kamar aja."

Janaka melangkah meninggalkan Gapita yang masih berusaha mengumpulkan nyawa setelah terbangun dari tidurnya. Namun, Janaka tak mau tahu bahwa tubuh—khususnya leher—Gapita terasa sangat sakit.

Mengikuti suaminya, Gapita segera menanyakan apakah pria itu akan langsung berangkat kerja atau tidak.

"Kamu kerja hari ini?" tanya Pita.

Menatap malas, Janaka membalas dengan tatapan mencibir. "Masih nanya? Kamu itu nggak lupa ingatan sama jadwalku, kan? Lagian, apa memang kamu berharap aku libur dari kantor?"

"Bukan gitu—"

"Aku tahu kamu itu malas. Nggak bisa ngapa-ngapain. Tapi harusnya kamu mulai tahu diri, kamu itu istri sekaligus calon ibu. Gimana bisa jadi ibu yang baik kalo ngurus diri kamu supaya bersih aja susah."

Janaka kembali meninggalkan Gapita yang terdiam dengan wajah menunduk. Tak peduli ucapannya menyakitkan, Janaka tetap bersiap untuk menuju kantor. Setelah semua pengorbanannya untuk Atyssa dan menginap di rumah keluarga perempuan itu, dia semakin berharap bahwa hubungannya dan Tyssa bisa segera terealisasi. Dukungan dari keluarga Tyssa membuatnya percaya diri.

Mengenai Gapita, dia akan memikirkan cara untuk terlepas dari perempuan itu. Meski keluarga mereka akan memprotes sana sini, Janaka akan tetap melakukan keinginannya. Dia tak mau dipaksa lagi pada hubungan yang tidak dia mau.

*

"Ini apaan!?" ucap Naka yang melihat bentuk nasi berwarna cokelat hampir kehitaman karena bercampur gosong di piring yang ada di meja makan.

Menatap Gapita penuh selidik, Naka tahu bahwa perempuan itu kembali mencoba belajar memasak dengan skill paling rendah yang Naka tahu.

"Nasi goreng." Jawaban Gapita dengan nada gembira dan raut begitu yakin bahwa makanan itu tidak menampilkan jejak keanehan membuat Naka geram.

"Gapita!" bentaknya menyebut nama istrinya. Naka tahu Pita terkejut karena bentakan itu, tapi dirinya tak peduli. Dia ingin menunjukkan pada Pita bahwa apa yang dilakukan perempuan itu memang tidak benar. "Kamu tahu kamu nggak bisa masak, kenapa masih keras kepala!!?? Apa kamu mau memakai kompor buat bakar rumah ini!!??"

"Naka... ma—maaf." Gapita berusaha meminta maaf.

"Aku, tuh udah males marah sama kamu, Pi! Aku capek, pulang bukannya disuguhi kamu yang rapi malah lihat kamu yang ileran! Belum lagi sarapan yang..." Naka mengusap wajahnya frustasi. "... apa kamu mau merancuni aku?!"

Gapita langsung menggeleng. Naka tahu Pita tidak akan mencelakainya, karena perempuan semacam Gapita memang menggilainya. Namun, dia kesal bukan main dengan pemandangan di rumah sejak datang.

"Aku langsung ke kantor."

"Tapi kamu belum makan, Naka." Gapita mengikuti Janaka hingga pria itu membuka pintu mobil dan memutuskan berhenti tepat dihadapan Gapita.

"Aku nggak mau sore nanti makin kesel. Nggak perlu urusin makan pagiku, urusin aja apa yang akan kamu lakuin nanti sore supaya aku nggak makin marah sama kelakuan kamu!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top