2.1 ; Janaka
Mengikuti kemanapun Atyssa pergi adalah jadwal tetap yang Janaka lakukan. Keharusan dimana Janaka selalu melebihkan apapun untuk perempuan itu. Perempuan yang, bisa dikatakan, tidak tahu diri karena terus melonglong Janaka seperti babu.
"Aku nggak suka jenis makanan kayak gitu!" protes Atyssa yang tak suka Janaka mengambil makanan ringan dengan varian rasa gurih asin. "Kamu, tuh kalo mau beli apapun itu tanya ke aku!" hardik perempuan itu.
Janaka mengangguk. Dia melebarkan senyuman untuk merayu Atyssa yang menjadi kesal karenanya.
"Maaf, ya. Aku tadi mikirnya supaya perjalanan ke rumah kamunya bisa ngemil itu."
"Ribet. Udah, nggak usah sok minta maaf! Ngeselin."
Atysaa meninggalkan Janaka lebih dulu. Seperti lambing dungu yang mengikuti kemanapun langkah Atyssa, lelaki itu tidak banyak protes marah ataupun yang lainnya.
Janaka sudah berjanji untuk membantu Atyssa. Membantu perempuan itu untuk keluar dari lingkaran setan dimana Atyssa yang menyukai kakak kandungnya sendiri. Demi membantu menyembuhkan Atyssa, Janaka sendiri mengucapkan tak akan berpaling dari perempuan itu sampai hati Atyssa menghilangkan nama kakaknya sendiri.
Meski semuanya berujung pada Atysaa yang merasa kesal, Janaka tetap teguh pendirian untuk ada disaat perempuan itu membutuhkannya. Sama seperti sekarang ini, dia menemani Atyssa belanja keperluan sebelum pulang ke rumah keluarga besarnya. Memenuhi kebutuhan sebelum bertemu kakaknya yang selalu peduli meski tahu hati Atyssa tak biasa saja pada si kakak.
Bicara soal kakak, Janaka sendiri tak mengerti kenapa pria bernama Aryktar itu belum juga menikah meski tahu adiknya menggilainya. Jika saja Aryktar menikah, mungkin saja masalah semacam ini akan berlalu.
"Sa, apa nggak lebih baik kamu tetep balik ke apartemen?"
Atyssa menoleh singkat. "Nggak. Aku juga kangen sama keluargaku." Perempuan itu berbalik badan, menatap Janaka curiga. "Kenapa kamu larang-larang?? Atau jangan-jangan... kamu mau ke apartemenku, ya?!" tuduh Atyssa.
"Nggak. Aku cuma kepikiran aja... kalo kamu nggak ke rumah, pasti nggak makin kepikiran sama kakakmu."
"Udah, deh. Semakin kamu bahas soal perasaanku ke kakakku sendiri, semakin aku kesel. Berhenti, dan diam aja."
Janaka kembali menuruti. Dia memerhatikan saja gerakan tangan Atyssa mengambil barang yang dibutuhkan. Seketika juga dia mengingat bahwa kebutuhan di rumah sudah menipis. Ah, pasti Pita bisa nyari sendiri. Berkali-kali Janaka menepis apapun yang berhubungan dengan kepeduliannya pada Gapita.
"Habis ini kamu beneran anterin aku ke rumah, kan?" tanya Atyssa, menagih janji.
"Iya, Sa."
Mengirimkan pesan pada Gapita bahwa dirinya akan pulang lebih larut dan segera menghapusnya dari kolom pembicaraan adalah hal biasa. Semuanya menjadi biasa dan begitu saja dia lewati tanpa rasa bersalah.
Gapita lebih mandiri dari Yang orang lain lihat. Begitulah penilaiannya terhadap istri diam-diamnya itu. Berbeda dengan Atyssa, yang begitu rapuh karena konflik perasaan dan keluarga. Itu sebabnya Janaka lebih peduli pada Atyssa, dan lebih dari itu... Janaka memang menaruh rasa pada Atyssa.
"Kamu ada acara nggak habis nganter aku?"
"Hm... nggak, sih. Kenapa?"
"Jangan pulang, ya. Nginep aja di rumahku, tidur di kamar tamu. Biar kakakku nggak leluasa ngajak aku ngomong."
Janaka mengangguk. Dia tak peduli risikonya bahwa sang istri menunggu di rumah. Bagi Janaka, yang dilakukannya ini benar. Sebab sesuai dengan hatinya. Berbeda dengan menikahi Pita, sama sekali tak dia inginkan.
"Tadi kamu chat siapa, Ka?"
"Oh, ini... tadi, temen kuliah."
"Kok langsung dihapus?"
"Nggak penting soalnya. Ganggu."
Atyssa hanya mengangguk. Tak memedulikan apapun lagi, toh dia bertanya hanya untuk basa basi pada lelaki yang menaruh rasa lebih padanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top