1.5 Gapita
Mala bukanlah sahabat yang jahat.
Gapita tahu hal itu, sebab sedari awal mengenal Mala sudah jelas jika kawannya itu suka mengatakan hal-hal secara langsung. Ucapannya berkarakter pedas. Tidak bisa diubah, karena memang sudah menjadi karakter seorang Mala.
Mengenai Janaka, Mala memang agak antipati kepada lelaki itu. Bukan karena Mala menaruh rasa pada Janaka, tapi karena keduanya sama-sama memiliki sifat yang suka bicara pedas. Tidak bisa dikatakan sama persis, tapi karena mereka mirip dan tak sadar, Gapita membiarkan saja. Juga Gapita betah-betah saja dengan orang-orang bermulut pedas, tapi baik.
"Kenapa nggak belanja bareng suami lo aja?" tanya Mala ditengah Gapita yang galau memilih merk susu.
"Kamu, kan tahu Janaka kayak apa. Dia pasti nolak, terus milih dia belanja sendiri."
"Udah tahu gitu, biarin aja dia yang belanja. Biarin dia yang capek. Lo lagi hamil muda, bilang ke dia buat jagain kandungan lo."
Mala bisa mendengar helaan napas Pita. Hanya saja tak mau ambil pusing. "Kenapa?"
"Mala, jangan nyuruh aku buat bilang gitu ke Naka. Dia pasti marah. Aku yang mau anak ini. Jadi, daripada suruh milih sama Naka lagi buat gugurin anak ini, mendingan aku lakuin semuanya sendiri."
Mala ikut merunduk melihat merk susu yang sekiranya bisa dilihat. Meski tak mengerti mengenai produk yang cocok untuk rata-rata ibu hamil, Mala ikut saja merekomendasikan kepada Gapita.
"Nih, kayaknya bagus, Pi." Kata Mala mengangsurkan merk susu hamil.
"Malaaa... lihat, dong itu buat usia kehamilan berapa bulan." Pita membalas.
Mala melihat kembali kemasannya. Keningnya mengernyit, lalu menggaruk pelipisnya yang tak gatal.
"Apa, sih, Pi? Gue nggak paham."
Gapita menarik kemasan ditangan Mala. "Ini, tuh buat yang enam bulan ke atas. Sedangkan janin aku aja belum ada dua bulan."
"Ooooohhhh, beda, ya? Gue baru tahu ada aturannya kayak gitu."
"Makanya belajar, Mala."
"Dih!? Kok, gue?? Harusnya lo yang belajar! Orang lo yang masih kayak bocah."
Gapita menggelengkan kepalanya. "Mala, nih. Aku bukannya kayak anak bocah, cuma aku emang nggak bisa ngomong kayak kebanyakan orang dewasa. Soalnya dibiasain sama mama papaku, sama mendiang bang Gala juga."
Mala menganggukan kepala. "Jadi, lo sebenarnya nggak polos-polos amat, kan, Pi?"
"Hm? Polos gimana?"
"Ya... lo intinya nggak polos yang ke arah bego. Tapi kenapa lo buta kalo suami lo—"
"Nggak ada cinta yang nggak bego, tahu, Mal. Kamu bakalan sama begonya kayak aku kalo udah jatuh cinta. Tunggu aja waktunya."
Mala bergidik ngeri. "Gue nggak bucin kayak lo!"
Gapita tertawa dan akhirnya mengambil satu merk yang sudah dia tetapkan. Jelas sudah, bahwa sebenarnya Pita akan pandai pada waktunya.
Mengantri, keduanya menunggu dalam satu garis. Mala mengedarkan pandangannya, dan spontan saja melihat sosok yang dikenalnya.
"Janaka...?" lirih Mala.
Gapita yang mengantri di depan Mala-pun menoleh. "Hm? Kenapa, Mal? Kamu nyebut nama Naka?"
Mala tergagap. Dia bingung, haruskah begitu saja memberitahukan kepada Pita? Atau membiarkan saja? Dua pilihan itu sudah Mala ketahui risikonya. Jika memberitahu maka Pita akan sakit hati, efeknya? Bisa berujung pada Pita yang stres. Jika tidak memberitahu maka Pita akan terbodohi oleh Janaka.
"Mal?"
"Eh, udah maju, tuh! Cepetan, cepetan maju! Buruan balik, gue ada tugas dadakan. Baru dikabarin sama kantor, nih."
"Hah? Kok buru-buru—"
"Duh, lama, deh! Cepetan, Pi!"
Mala tak akan sanggup melihat Gapita merana diusia kandungannya yang masih begitu muda. Maafin gue, Pi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top