PENGUNTIT
"Kamu yakin dia bukan penguntit? Kamu tahu dia selalu liatin kamu loh, Lis." Aku tidak tahu apa maksud Revan mengatakan itu. Aku tidak peduli juga siapa pria yang kata pacarku itu menguntitku. Toh, dia tidak bikin onar juga dengan kehidupanku. Jadi aku santai-santai saja, mungkin saja Revan yang terlalu parno dengan pria berkaca mata yang tampangnya biasa saja itu.
"Kamu harus hati-hati loh, Lis. Ini serius loh aku khawatir sama kamu." Lagi-lagi dia berbicara masalah itu. Makanan yang hampir aku suap turun kembali ke piring, kuulurkan tanganku untuk menyentuh punggung tangan Revan yang agak basah karena keringat.
Pria itu menatapku sejenak, lalu menghela napas kasar. Seolah meluruhkan segala beban lewat helaan napas panjangnya. Aku mengulas senyum lalu memakan nasi goreng yang sedari tadi tidak kusentuh karena omongan yang sangat tidak penting ini. Oh, bagi Revan ini penting. Karena menyangkut keamananku.
"Lisa, pulang sekolah mau mampir ke café dulu gak? Udah lama rasanya kita gak kencan. Kemarin kan libur kita gak bisa ketemu karena aku keluar kota." Kuanggukkan kepala sebagai jawaban atas ajakan Revan. Kurang lebih sebulan Revan meninggalkanku ke Bandung.
Tak selang beberapa menit setelah membicarakan pria berkaca mata itu, dia lewat di depan meja kami. Revan memicing melihat pria itu menatapku sebentar lalu beralih pada Revan. Ada sorot aneh yang tidak bisa aku jabarkan, dia tidak mungkin membenci Revan karena pria itu tengah memandang sinis padanya kan?
"Kenapa kamu ngeliatinnya kayak begitu?" tanyaku penasaran. Revan meletakkan telapak tangannya pada punggung tanganku, erat sekali dia menggenggam seolah takut lepas. Aku tidak tahu apa maksud, tapi matanya menyiratkan sebuah kekhawatiran.
"Revan kamu sekhawatir ini padaku?"
"Lis, kita gak tahu mana orang yang sebenarnya baik dan sebenarnya jahat. Manusia itu punya topengnya masing-masing. Kamu harus hati-hati ya sayang." Senyumnya mengembang, telapak tangan yang tadi beralih ke kepalaku, mengusapnya perlahan. Lalu mengacak poniku yang tertata rapi. Dia tertawa melihatku mendengus sebal.
"Kamu lucu kalau lagi ngambek. Sini-sini aku peluk!" pintanya sambil tertawa.
"Sekolah, Van! Sekolah!"
"Anak peringkat pertama mah ingatannya sekolah mulu." Revan ngambek.
"Tapi di pikiranku cuma kamu loh." Godaku, Revan mengusai lagi rambutku.
"Aku enggak tuh," balasnya membuatku menggembungkan pipi. Dia benar-benar ya, digodain malah bikin kesal. Sendok yang kupegang kugunakan untuk memukul punggung tangannya. Revan tertawa lagi, sukses membuatku kesal.
Ah, saking asiknya lupa perkenalan. Namaku Alisa Haditama, pacar dari Revandi Aksara. Pria yang menjabat sebagai most wantednya sekolah Angkasa Jaya. Tidak tahu kenapa Revan bisa menyukaiku yang berwajah pas-pasan ini. Tapi dia bilang jika dia menyukaiku karena aku cantik dan baik. Padahal keduanya sama sekali tidak menggambarkan diriku. Masa bodoh, aku berpacaran dengannya hampir 5 bulan sejak memasuki kelas 2. Revan punya pribadi yang baik, jahil dan romantis. Tapi lebih banyak ngeselin sih, karena setiap dia ngegombal ujung-ujungnya ambyar.
Seperti sekarang, setelah pulang sekolah aku dibonceng motor besarnya menuju kafe. Sepanjang jalan dia menggodaku.
"Tau gak aku tuh sekarang lagi hobi mikir loh."
"Belajar maksudnya?" tanyaku dari balik punggungnya. Revan menoleh sedikit, senyumnya samar karena tertutup helm bogo yang dia pakai.
"Bukan. Mikir pokoknya," balasnya. Aku curiga dia mau ngegombal lagi. Dia keturunan Raja gombal sepertinya. Pria itu cekikikan lagi, benar-benar sih dia ini. Kutunggu ucapannya, "Akhir-akhir ini aku mikir, gimana caranya biar bisa jadi suaminya kamu. Cihuyyy."
Kupukul punggungnya berulang kali sampai dia mengaduh pun tidak kepedulikan. Pria itu tertawa sambil menyetir motornya.
"Belajar dulu biar pinter baru mikir jadi suami aku." Aku berhenti memukulinya, kembali merapatkan diri memeluk tubuhnya yang tidak terlalu besar. Revan punya badan kurus tapi tidak terlalu kurus. Ototnya juga tidak sebagus otot bias-biasku di korea sana.
"Enakkan kalau badanku kurus, kamu bisa meluk. Coba kalau berisi, dah keenakan tidur kamu." Giliranku tertawa mendengar celotehannya. Sesampainya di kafe Revan memesan coppucino kesukaannya, sedangkan aku memesan cokelat panas biasa.
Namun belum sampai Revan menyeruput minumannya, mata pria itu sudah membelalak kaget. Aku berbalik mengikuti arah pandangan matanya. Seketika bulu kudukku berdiri, di dekat motor Revan berdiri seseorang dengan jaket hitam, memakai masker menutupi wajahnya. Mulutku terasa kelu ketika Revan melontarkan komentarnya, "Lisa, aku sudah bilangkan? Kamu itu punya penguntit sekarang." Revan berusaha memelankan suaranya, ku tatap pria yang sudah menghilang dari motor Revan itu.
Tidak berlama-lama, kami berdua pulang. Sayang, keterkejutan kami seolah kembali dibangunkan lagi. Secarik kertas terselip di antara kaca helm depan milik Revan.
Pesan itu bertuliskan, Alisa itu milikku! Siapapun yang berusaha menjauhkan aku darinya, siap-siap saja.
Bulu kudukku meremang. Ya Tuhan, Revan ternyata benar. Aku selama ini dikuntit oleh seseorang yang sepertinya bukan si kacamata yang Revan maksud. Jadi yang mengirim pesan ini siapa? Orang baru?
***
Jadi kemarin itu Part ini ku ganti. Sebenarnya lebih pendek. Kalau anak Raws mungkin sudah tahu cerita ini berupa dribble dan masih puzzle. Maka dari itu kuhadirkan Part ini sebagai pembukanya haha.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top