Bab 9
Pandangan Sebastian tidak lepas dari Victoria. Tunangannya benar-benar cantik malam ini dan sedikit mengejutkannya. Meskipun masih duduk di kursi roda tapi tidak mengurangi pesonannya.
"Aku nggak tahu kamu bisa make up, Isabela," tanya Putri.
Victoria menunjuk Nita yang berdiri di dekat pintu dengan dagu. "Aku nggak bisa, Bibi tapi Nita pandai melakukannya.
"Oh, jadi pelayan itu yang meriasmu?"
"Benar sekali."
Malam ini Victoria sengaja bersikap sangat manis, dan manja pada Sebastian. Tidak menolak semua makanan yang ditawarkan dan menatap laki-laki itu sepenuh hati seperti perempuan yang sedang jatuh cinta pada umumnya. Sebastian pun bersikap sangat mesra dan penuh perhatian padanya.
"Aku dengar kalau Teddy dari perkebunan keluarga Yard datang ke kantormu?"
Perkataan Josep membuat Victoria yang sedang menyuap terpaku. Dadanya berdebar seketika saat mendengar nama suaminya disebut.
"Memang, Teddy mengajukan kerja sama untuk pengiriman anggur," jawab Sebastian.
"Bukankah mereka sudah punya pengiriman langganan?"
"Itu yang aku ingin ketahui. Makanya aku telepon Orion, karena dulu keluarga Yard pernah kerja sama dengan Golden Eagle tapi terputus di tengah jalan. Orion yang tahu apa penyebabnya."
Victoria menahan napas, mendengar percakapan mereka. Tentu saja ia tahu apa penyebab keluarga Yard memutuskan hubungan dengan Golden Eagle. Saat itu, entah siapa yang salah tapi ada dana besar yang tidak dibayarkan. Golden Eagle menuntut pelunasan sedangkan pihak perkebunan jelas-jelas sudah membayar. Akhirnya tercapai kesepakatan untuk melunasi pembayaran dengan cara dicicil setelah tahu kalau dada pembayaran dibawa lari oleh salah satu anak buah perkebunan.
"Menurutku permintaannya tidak usah ditanggapi. Teddy itu licik," ucap Josep.
Kali ini Victoria sepakat dengan ucapan Josep.
"Diterima atau tidak, tergantung Orion."
Victoria melihat kalau Josep dan Haland bertukar pandang, sepertinya mereka tidak setuju dengan perkataan Sebastian tentang Orion. Ia tidak mengerti kenapa Antoni menyerah tanggung jawab perusahaan pada Sebastian dan Orion, alih-alih pada Haland dan Josep. Padahal mereka adalah keluarga dekat dan punya hubungan darah.
Pembicaraan tentang Teddy berakhir meskipun Victoria masih ingin mendengarnya. Ia ingin tahu sepak terjang suaminya dalam mengelola perkebunan. Mungkin sekarang bisa dikatakan mantan suami karena Teddy sudah menikah dengan perempuan lain dan menganggapnya sudah mati. Namun arah pembicaraan berubah menjadi tentang pesta, politik, dan ekonomi.
Selesai makan malam, Sebastian mengajak Victoria berjalan-jalan di taman. Mendorong kursi roda menyusuri jalanan yang temaram. Aroma bunga mekar dan rumput membaur di udara. Memberikan kenyamanan di paru-paru. Tidak banyak yang mereka perbincangkan karena sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebastian mengamati tunangannya yang cantik dan anggun, sedangkan Victoria sibuk memikirkan Teddy.
"Kalau kakimu sudah benar-benar sembuh, kamu sudah bisa menemaniku bersosialisasi."
"Bertemu dengan teman dan relasimu?"
Sebastian mengangguk. "Iya, biar mereka tahu kalau tunanganku sudah pulih dan menjadi semakin cantik."
Victoria tersenyum, mendongak ke arah Sebastian yang berdiri gagah di hadapannya. "Kalau begitu, aku akan cepat sembuh untuk kamu."
Sebastian mengulurkan tangan untuk mengusap bibir Victoria. "Bukan untukku, tapi untuk dirimu sendiri, Isabela."
Victoria merenungi perkataan Sebastian, merasa tidak enak hati karena harus berbohong. Ia menatap punggung kokoh laki-laki itu yang menjauh, tetap duduk di tempatnya dan menunggu Nita datang menjemput. Kalau Isabela masih hidup, pasti sangat bahagia punya calon suami yang baik dan perhatian. Ia yakin Sebastian akan selalu melindungi perempuannya, tidak seperti Teddy.
"Gadis Miskin, merasa senang karena diperhatikan laki-laki tampan?" Julia muncul, menatap Victoria yang duduk di kursi roda. "Jangan bermimpi terlalu tinggi, nanti jatuh kamu nangis."
Victoria tidak bereaksi, pandangannya tertuju pada tangan Julia yang berada di belakang tubuh. Entah apa yang dibawa gadis itu tapi yang pasti bukan hal baik. Julia tidak pernah berbuat baik padanya.
"Kamu cemburu'kan?" gumam Victoria. "Kamu mencintai Sebastian tapi dia memilihku?"
Julia terdiam lalu tertawa dibuat-buat. "Cemburu? Untuk apa aku cemburu dengan gadis miskin dan bodoh sepertimu. Harga diriku terluka karenanya. Sorry, kita nggak level!"
"Masalah adalah, gadis yang kamu anggap bodoh dan nggak level ini adalah tunangan dari laki-laki yang kamu cintai. Gimana, dong?"
Julia mengepalkan tangan, menahan marah yang menggelegak. Tidak percaya kalau saat ini dirinya sedang diejek oleh gadis cacat dan kampungan.
"Punya nyali kamu untuk menghinaku?"
Victoria mengangkat bahu. "Nggak ada yang ingin menghinamu, aku hanya melemparkan kenyataan yang mungkin kamu nggak tahu."
"Sombong kurang ajar!"
"Tadi kamu menghinaku miskin, sekarang mengataiku miskin. Sebenarnya apa maumu? Aku jadi bingung." Victoria meraih tongkat pendek yang terselip di kursi roda. Disiapkan khusus untuk berpegangan saat ingin berdiri. Tongkat dari kayu yang cukup kokoh sepanjang setengah meter. Sebenarnya tongkat ini tidak berguna apa pun selain sebagai senjata. "Julia, kalau memang kamu suka dengan Sebastian, lakukan dengan pelan-pelan. Jangan terlalu frontal, laki-laki manapun akan ngeri kalau bersama gadis yang agresif."
"Kamu bilang aku agresif?" teriak Julia.
Victoria mengangguk. "Iya, masa, kamu nggak ngerti kalau kamu agresif?"
"Kamu yang agresif! Menggunakan kemalanganmu untuk mendapatkan perhatian Sebastian."
"Untung saja aku malang, kalau aku sehat kami pasti sudah menikah."
"Hah, mengacalah kamu. Mau agresif seperti apa pun Sebastian nggak akan milih kamu. Dia baik karena kasihan sama kamu yang cacat!"
Dalam keremangan, Victoria memutar bola mata. Barang yang disembunyikan Julia mulai terlihat bentuknya. Victoria menggenggam tongkat makin erat. Yang perlu dilakukannya hanya memancing amarah Julia. Harus banyak bicara dan bersabar meskipun kemarahannya menggelegak dalam dada.
"Oh, benarkah? Padahal yang kelihatan jelas menggoda itu kamu."
"Apa?"
"Aku ulangi lagi, sudah jelas sepanjang malam kamu berusaha menonjolkan belahan dada. Julia, aku akui kalau kamu sexy dan dadamu besar, sayangnya tunanganku sangat setia dan nggak mudah tergoda."
"Aaargh, Gadis Miskin sialaan!"
Julia berteriak, Victoria bangkit mengayunkan tongkat di tangan.
"Aaah, apa itu? Kelelawar? Aaaah!"
Teriakan Victoria membuat Julia kebingungan menatap pohon di atas mereka yang dahan dan daunnya bergerak. Ketakutan merayapinya, hingga lupa dengan barang yang dibawanya. Victoria mengayunkan tongkat tidak tentu arah sambil terus berteriak.
"Kelelawar gila! Kerjanya ganggu orang saja!"
Tongkat merendah, memukul barang yang dibawa Julia hingga pecah. Cairan pekat dan licin pecah di tangan Julia, mengguyur bagian belakang tubuhnya dan membuatnya berteriak.
"Aaargh, sialan kau, Isabela!"
Victoria terduduk di kursi dengan tersengal, menatap Julia yang berlari menjauh. Kalau tidak salah terka cairan itu adalah oli. Apakah Julia berniat mencelakannya sekali lagi. Untungnya malam ini ia sudah bersiap. Ia mengulum senyum saat Julia terpeleset di teras dan meraung kesakitan. Membuat Putri, Uria, dan Josep keluar. Berusaha menolong dan Putri nyaris terpeleset karena teras licin.
"Julia, kenapa guling-guling di teras?" teriak Putri Julia yang berbaring sambil merintih di lantai. Oli melumuri pakaian dan kini merambah ke rambut.
"Mama, Gadis Miskin itu mengerjaiku!" Julia meraung dan menangis.
Uria mengernyit, menutup hidung. "Bau apa ini? Julian badan kamu penuh oli!"
"Kalian ini banyak bicara, tolong akuu! Tolong!"
Putri meminta pelayan menolong Julia yang kakinya terkilir. Victoria mengarahkan kursi rodanya dengan hati-hati menghindari oli yang berceceran. Tidak menyangka kalau Julia akan sebodoh itu, ingin menyiramnya dengan oli tapi menggunakan bungkus plastik yang mudah pecah.
"Miss, apakah Anda baik-baik saja?"
Nita bergegas menghampiri dengan wajah panik.
"Jangan lari, nanti kamu jatuh. Banyak oli di sini. Biar aku ke tempatmu, tunggu di sana saja!"
Nita menunggu hingga Victoria mencapai tempatnya, lalu mendorong ke arah pintu samping untuk masuk ke rumah. Teriakan dan makian Julia terdengar samar-samar. Victoria menghela napas panjang, sedikit lega karena malam ini bisa selamat. Entah besok siapa lagi yang akan mencoba untuk mencelakakannya.
"Julia sangat ketara ingin membuatku celaka. Gerakannya mudah ditebak. Yang berbahaya justru yang terlihat tenang, tapi punya niat lebih besar. Isabela, semoga aku bisa melewati cobaan demi cobaan di rumah ini," ucap Victoria pada bayangannya yang terpantul di cermin kamar. Tubuh dan jiwa adalah Victoria, tapi wajah sedih yang terlihat adalah Isabela.
.
.
.
Di Karyakarsa upadate bab 28-30 malam ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top