Bab 7

Victoria lagi-lagi berbaring tak berdaya di ranjang rumah, diperiksa oleh dokter dan diberi obat. Menolak untuk dibawa ke rumah sakit karena merasa tidak ada yang salah dengan tubuhnya. Kakinya terkilir, membutuhkan alat bantu untuk bisa berdiri apalagi berjalan. Ia memutuskan untuk memejam dan mendengarkan percakapan di sekitarnya.

"Apa dia baik-baik saja, Dok?"

"Bagaimana kakinya?"

"Bukan kaki yang penting tapi kepala."

Sebastian datang, bicara lirih dengan Josep. Terdengar geraman, makian, disertai dengan pembelaan. Tidak peduli dengan riuhnya percakapan, Victoria tetap terpejam sambil menahan senyum.

Orang-orang di rumah ini bodoh kalau mengira dirinya diam saja dikerjai. Tadi malam ia tahu ada yang sengaja ingin mengintipnya. Ia hanya ingin tahu sejauh mana mereka bisa bertindak dan ternyata sangat kurang ajar. Tidak ada lagi rasa takut atau enggan untuk menghabisi nyawanya. Orang-orang di rumah ini memang sangat kurang ajar.

Sebenarnya masalah pribadi Isabela bukan urusannya. Awalnya ia hanya ingin mencari pembunuh Isabela saja, tapi makin kemari makin sadar kalo kebusukan di rumah ini terlalu pekat dan sarat dengan aroma membunuh yang tajam. Victoria harus lebih berhati-hati. Percobaan pembunuhan tadi malam gagal, pasti akan diulang lagi. Sekarang ini ia hanya perlu diam, berpura-pura tidur dan mendengarkan Sebastian bicara untuk membelanya. Sungguh tunangan yang baik, tapi entah benar baik atau hanya di permukaan, waktu akan membuktikannya.

"Kalian tinggal di rumah yang sama, sudah jelas Isabela terluka tapi masih memberikan kamar atas untuknya." Sebastian menatap penghuni rumah satu per satu. "Kalian sengaja ingin mencelakainya?"

Putri tersenyum, berusaha meredakan kemarahan Sebastian. "Bagimana bisa kamu bicara begitu, bagiku Isabela seperti anak sendiri. Tentu saja sebagai ibu aku berusaha dengan baik merawatnya. Kamu bisa tanya pelayan atau juga Isabela sendiri, tiap hari makanan aku yang turun tangan langsung untuk memasak. Memastikan dia mendapat makanan bergizi. Kalau kami ingin mencelakainya, kenapa harus merawatnya?"

Julia menyambung kalimat sang mama. Menatap Sebastian dengan jengkel karena sudah membela Victoria.

"Kak Sebastian, tolong jangan sembarangan menuduh. Soal kamar karena Isabela suka tinggal di kamarnya. Mana kami tahu kalau tengah malam dia akan keluyuran. Padahal ada pelayan yang bisa dipanggil setiap saat."

"Nah, itu yang aneh. Kenapa dia keluyuran sendirian? Apa yang dicarinya saat tengah malam?" Josep ikut menimpali.

Sebastian menghela napas panjang, menahan jengkel dengan orang-orang di depannya. Mereka jelas-jelas bersalah karena sudah mengabaikan Victoria tapi tidak mau disalahkan. Apakah orang-orang ini tidak mengerti betapa bahayanya meninggalkan orang yang cacat sendirian di lantai dua. Mereka bukannya tidak mengerti tapi tidak mau mengerti. Sebastian melirik perempuan yang berbaring di atas ranjang, tunangannya yang terus menerus mengalami kecelakaan. Ia berencana membawanya pergi tapi tidak mungkin karena belum ada ikatan pernikahan.

"Pindahkan Isabela ke lantai satu, kalau memang nggak ada kamar kosong, biar aku yang merenovasi rumah dan membuat kamar untuknya."

"Haduh, tidak perlu sampai begitu, Sebastain. Masih ada kamar kosong untuk ditempati. Biar semua diatur oleh istriku." Haland menjadi penengah seperti biasanya. Menjadi pembela dan pelindung keluarganya, tidak peduli dengan apa pun yang sudah dilakukan keluarganya. "Jangan kuatirkan tunanganmu, dia akan baik-baik saja setelah ini."

Sebastian terdiam, mengamati Victoria yang tertidur dengan mata terpejam dan napas yang berembus dengan tenang. Tidak terlihat seperti orang yang baru saja kecelakaan. Padahal dokter menyatakan kalau kakinya terkilir. Apakah Victoria benar-benar kuat menahan sakit atau hanya berpura-pura? Sebastian yang tidak ingin menganggu tidur tunangannya mengajak semua orang keluar.

"Aku akan melihat sejauh mana kalian menjaga Isabela. Kalau memang tidak mampu, aku akan menjaganya sendiri."

"Sebastian, kamu nggak boleh melakukan itu?" ucap Putri mengingatkan. "Kalian belum menikah. Dua orang yang belum menikah nggak boleh tinggal bersama."

"Kami bisa menikah besok kalau mau. Nggak ada yang nggak mungkin."

"Tetap saja itu jalan pikiran yang keliru. Kami pastikan ini nggak akan terjadi lagi."

"Aku berharap hal yang sama, Bibi. Jangan sampai tunanganku terluka lagi. Kalian harus ingat, tanda tangan Isabela diperlukan untuk semua hal yang menyangkut perusahaan. Kecuali kalian bisa mendatangkan Orion dari luar negeri."

"Baiklah, kami paham. Istriku, bisa nggak kamu minta pelayan untuk menyiapkan minum buat kami?" pinta Haland.

Putri mengangguk, memberi perintah pada pelayan.

"Ide bagus, Papa. Kita jangan berdebat lagi. Sebastian, kita minum dulu dan bicara soal pembukaan cabang baru." Josep tertawa lirih.

Haland menggiring Sebastian keluar diikuti oleh Josep. Tertinggal hanya Putri n Julia di kamar. Victoria masih memejam, menggunakan seluruh indra pendengarannya mencari tahu isi hat orang-orang ini. Meskipun sudah tahu tetap saja penasaran.

"Gembel sialan ini membuat Sebastian marah, Mama."

Putri menghela napa panjang. "Di mana Uria?"

"Di dapur, menyiapkan makan siang."

"Kamu ke dapur, minta pelayan membuat bubur. Selama Sebastian di sini kita harus bersikap baik. Tadi malam si miskin ini kelayapan pasti karena lapar. Jangan sampai Sebastian tahu soal ini."

Julia mencebik, menghentakkanm kaki ke lantai. "Maa, aku benci dia!" Menunjuk Victoria yang berbaring terpejam.

"Mama pun tidak menyukainya, tapi nggak boleh gegabah. Ayo, kita keluar sekarang. Pengap dan bau di kamar ini."

Victoria tetap terdiam sampai suara menghilang dan pintu ditutup dari luar. Setelah beberapa menit tidak lagi ada suara, ia membuka mata. Menatap cahaya yang masuk melalui sela jendela. Satu rencananya berhasil, membuat Sebastian lebih waspada dengan keluarga ini. Ia akan memanfaatkan hubungan pertunangan dengan Sebastian untuk mendapatkan perlindungan. Selama laki-laki itu masih dianggap menakutkan dan berkuasa di rumah ini, ia akan baik-baik saja.

Ia menggerakan kaki dan sedikit nyeri. Tidak sesakit yang dikiranya. Tadi malam ia berpura-pura jatuh, padahal kalau mau bisa menangkis orang-orang yang mendorongnya. Ia tahu siapa yang berdiri belakangnya dan sedang memutar otak untuk membalas. Isabela mungkin akan diam karena takut tapi Victoria tidak akan tinggal diam.

Terdengar gemuruh tawa di ruang tengah, entah apa yang lucu dari percakapan mereka. Victoria mengusap rambutnya yang mulai tumbuh, menggerakkan kakinya sedikit demi sedikit sambil membentuk rencana di benaknya. Ia akan membangun pertahanan lebih dulu sebelum menyerang.

Victoria makan siang disuapi oleh Nita berupa bubur dengan lauk lengkap. Menolak untuk duduk di meja makan bersama mereka. Sebastian berpamitan pulang sebelum makan siang.

"Isabela, jaga dirimu baik-baik. Mulai sekarang, kemana-mana harus ditemani Nita."

Victoria mengangguk. "Iya, aku janji."

"Aku ada dinas ke luar kota selama beberapa hari. Nggak akan bisa datang menjengukmu."

"Oke, jaga."

Sebastian duduk di pinggir ranjang, mengamati Victoria yang berbaring dengan wajah pucat. Entah penglihatannya yang berubah atau memang benar adanya, ia merasa tunangannya menjadi lebih kurus. Bisa jdi karena belum pulih dari kecelakaan. Meraih jemari Victoria dan menggenggamnya dengan lembut.

"Makan yang banyak, habiskan obatmu, jangan lupa latihan serta terapi. Aku janji, kalau kamu sembuh akan mengajakmu berjalan-jalan."

"Kemana?"

"Kemana saja yang kamu mau."

"Asal jangan ke butik. Aku nggak mau ke sana lagi." Ini adalah murni isi hati Victoria. Ia bergidik membayangkan ledakan, api yang menyambar tubuh, rasa sakit dan panas di seluruh tubuh dan dada yang sesak tidak bisa bernapas. Tidak ingin mengalami hal mengerikan seperti itu lagi.

"Nggak akan ke sana. Kamu jangan kuatir. Mulai sekarang, kamu nggak akan pernah bepergian sendiri lagi."

Kata-kata dan penghiburan Sebastian menenangkan Victoria. Sungguh hal yang aneh, Sebastian adalah orang asing baginya. Tidak pernah mengenal secara akrab, tapi Victoria bisa percaya dengan ucapannya seratus persen. Mungkin karena sikap Sebastian yang membelanya secara terang-terangan di hadapan keluarga membuat hati Victoria tersentuh. Ia tidak pernah dibela oleh pasangannya, Teddy dulu malah ikut memarahinya.

"Isabela, seandainya kamu masih hidup dan menikah dengan Sebastian pasti bahagia."

Victoria sendiri berusaha menerima sikap Sebastian sebagai perilaku jujur dan bertanggung jawab dari seorang tunangan. Ia akan gunakan kebaikan, perhatian, dan kasih sayang Sebastian pada Isabela untuk melindungi dirinya sendiri. Victoria berharap Isabela memaafkannya karena sudah memanfaatkan cinta sang tunangan.
.
.
Di Karyakarsa sampai bab 24

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top