Bab 4

Rumah besar tiga lantai dengan design bangunan terinspirasi kastil, berdiri megah di halaman luas yang ditumbuhi banyak pohon dan bunga. Pemandangan indah membentang di depan mata, dengan para pelayan berseragam berjejer menyambut kedatangannya. Tanpa banyak persiapan dan hanya mengandalkan tentang ingatan yang hilang karena kecelakaan, Victoria datang ke rumah megah ini sebagai Isabela. Ia tidak tahu apa yang membuatnya berani mengambil keputusan ini dengan menjadi orang lain. Menggantikan sosok Isabel yang penggugup. Untuk sekarang Victoria tidak tahu apa yang diinginkannya, apa yang dicarinya, dan apa yang harus dilakukannya di rumah ini. Tujuan hidupnya hanya satu, mencari kebenaran atas kematiannya dan Isabela.

"Apa kamu ingat tentang rumah ini?" tanya Sebastian saat membantunya turun.

Victoria menggeleng. "Aku nggak ingat sama sekali, maaf."

"Kenapa minta maaf. Resiko dari kecelaan itu. Ayo, jalan pelan-pelan saja. Kalau nggak sanggup biar aku minta pelayan mengambil kursi roda."

"Nggak, aku bisa jalan."

Memegang lengan Sebastian, Victoria menaiki tangga dengan perlahan. Menapak satu demi satu anak tangga, sesekali berhenti saat kakinya terasa nyeri. Untungnya Sebastian cukup sabar membimbingnya. Tidak keberatan berhenti sebentar sebelum melanjutkan langkah. Tidak meminta lebih cepat, tidak mendorong, dan sama sekali tidak mengomel. Samar-samar Victoria teringat akan suaminya, yang suka sekali komplain dengan semua hal yang dilakukannya. Tidak sabaran, dan kurang peduli. Sampai-sampai ia mati pun tidak sabar menikah lagi.

"Mau aku gendong?"

Tawaran Sebastian membuat Victoria menggeleng malu. Sebastian bukan tunangan apalagi suami, tidak pantas kalau bersentuhan secara intens.

"Pingin olah raga."

"Pelan-pelan kalau gitu."

"Udaranya sejuk sekali setelah lama di rumah sakit yang dipenuhi bau obat-obatan."

"Memang, rumah ini memang sangat sejuk. Apa kamu ingat kenapa rumah ini banyak pohon dan tanaman?"

Victoria menggeleng. "Nggak ingat sama sekali."

Sebastian terdiam, tidak melanjutkan percakapan. Dengan kondisi tunangannya yang sedang pemulihan, tidak mungkin mengingat detil-detil masa lalu. Ingatan Victoria benar-benar hilang dan membutuhkan waktu untuk sembuh. Ia tidak akan memaksa, biar waktu yang akan menyembuhkan.

Angin berembus perlahan dan Victoria menghela napas panjang. Telah tiba di puncak tangga dengan selamat. Di teras telah menunggu Putri, Julia, Josep dan sang papa, Haland. Di belakang mereka ada lebih banyak orang, Victoria berdiri gamang di hadapan mereka. Pandangan orang-orang ini tertuju padanya dengan binar membunuh yang terlihat jelas. Seolah ingin menguliti dan membuatnya hancur dengan pandangan mematikan. Tidak ada keramahan layaknya keluarga, mereka berdiri bukan menyambut keluarga melainkan musuh.

"Selamat datang, Isabela!" seru Putri tanpa kehangatan. "Kamu pasti ingat kalau ini rumahmu bukan?"

Victoria menggeleng. "Nggak ingat."

Julia maju dengan dahi mengernyit. "Sama sekali nggak ingat?"

"Sama sekali nggak ingat."

"Aneh, kenapa otakmu jadi rusak karena kecelakaan?" sela Josep dengan tatapan bingung. "Jangan bilang kamu makin bodoh setelah ini."

"Josep, jaga ucapanmu," tegur Sebastian.

Josep mengangkat dagu ke arah Sebastian. Bersikap menatang tanpa kenal rasa malu dan takut. "Memangnya kenapa dengan ucapanku? Jelas-jelas yang aku katakan benar adanya."

"Sayang, jangan berdebat. Tidak baik untuk Isabela yang baru datang. Lagi pula, Sebastian sudah pasti akan membela tunangannya."

Seorang perempuan bertubuh mungil dengan kulit putih dan rambut ikal, mengusap lengan Josep. Victoria sedang mengira-ngira siapa perempuan ini karena tidak pernah datang ke rumah sakit menjenguknya.

"Aku senang kamu sudah sehat kembali Isabela." Perempuan itu meraih tangan Victoria dan menggenggamnya. "Semoga perjalananmu tadi menyenangkan."

Perkataan lembut dengan bibir tersenyum dari perempuan itu membuat Victoria sedikit tenang. Setidaknya ada orang yang baik padanya di rumah ini. Ia bisa merasakan kebencian yang membara dari wajah-wajah keluarga Josep. Tidak semestinya ditambah orang lain.

"Terima kasih."

Sebastian membimbing Victoria masuk ke dalam ruang tamu yang luas. Terpampang banyak foto dalam figura besar. Wajah para penghuni rumah, dan hanya satu saja foto Isabela. Semua dipenuhi oleh keluarga Putri. Victoria mendesah dalam hati, harus tinggal di rumah dengan orang-orang yang menyimpan kebencian. Tidak cukup hidup dengan Teddy dan keluarganya, saat berubah wajah pun nasibnya tidak berbeda dari sebelumnya.

Ia duduk di sofa besar, memandang sekeliling dengan penuh ingin tahu. Samar-samar ia mendengar Josep memanggil istrinya dengan nama Uria. Semua orang berusaha mengajak Sebastian bicara. Ia masih belum tahu apa pengaruh Sebastian pada keluarga ini sampai semua orang begitu tunduk dan hormat. Kalau memang Sebastian begitu dipuja bukankah harusnya perlakuan yang sama didapatkan Isabela? Sepertinya justru tidak begitu.

Vitoria menyandarkan tubuh pada sofa, mencoba menyimak percakapan mereka sayangnya hanya terdengar dengung di telingannya. Tidak satu pun yang dimengertinya. Sebastian berdiri di dekat jendela dengan gelas di tangan berisi brendy. Dengan matahari menyorot melewati kaca, Sebastian seperti model yang sedang berpose. Tinggi, tampan, dan menawan. Victoria yakin kalau Isabela sangat memuja tunangannya itu. Pandangannya bertemu dengan tatapan Sebastian, Victoria menolak untuk memalingkan wajah. Justru menatap makin intens untuk alasan yang tidak dimengertinya.

"Jangan geer, kakak iparku menyapamu hanya karena sopan santun. Bukan karena menyukaimu."

Victoria menoleh pada Julia yang kini duduk di sampingnya. Tidak mengerti apa yang dibicarakan gadis ini.

"Apa maksudmu?"

Julia mendengkus. "Dari dulu kamu selalu bodoh Isabela. Sampai sekarang pun tidak berubah, justru makin bodoh. Aku yakin kamu sudah sembuh, sengaja berpura-pura sakit untuk menarik perhatian Kak Sebastian, bukan?"

Victoria menghela napas panjang, mengusap alisnya yang berkedut. "Kamu ini ngomong apa, sih?"

"Terus aja pura-pura, dan kita lihat mau sampai mana kamu bersandiwara. Ingat, kamu bukan bagian dari rumah ini. Tempatmu di hutan, tinggal bersama orang-orang kampung. Kehadiranmu di rumah ini hanya membuat kami celaka saja. Kenapa, sih, kamu nggak mati aja dalam kebakaran itu?"

Victoria kehilangan kata-kata untuk makian yang diterimanya dari Julia. Sumpah serapah yang terlontar seakan bukan dari bibir seorang gadis cantik. Saat Julia bangkit dan meninggalkannya sendiri, kelegaan dirasannya. Ia baru saja pulih dari koma panjang dan kecelakaan parah, setidaknya kalau ingin menghadapi beragam masalah di rumah ini, harus pulih lebih dulu. Namun, sebelum menjalankan semua rencana ia harus tahu lebih dulu silsilah keluara Isabela dan kenapa semua orang menaruh dendan dan kebencian.

Saat ini tidak ada lagi yang peduli dengan Victoria, semua orang sedang sibuk mengobrol, tidak terkecuali Sebastian yang terlibat diskusi dengan Haland. Victoria yang tersisihkan ingin segera menyingkir. Beruntung seorang perawat berseragam mendatanginya.

"Miss, kita ke kamar dulu untuk ganti pakaian. Setelah makan bisa minum obat."

Victoria mengidu udara, aroma masakan yang menerbitkan air liur. Ia bicara dengan perawatnya yang masih muda dengan wajah polos.

"Siapa namamu?"

"Saya Nita, Miss."

"Nita, bawa aku ke kamar sekarang."

Nita meraih lengan Victoria dan memapahnya perlahan menuju kamar yang letaknya di lantai dua. Sekali lagi Victoria menaiki tangga tapi kali ini lebih sulit karena kelelahan menderanya. Ia mendesah, bersiap untuk duduk dan menyerah hingga sebuah lengan yang kokoh menopangnya dari belakang.

"Kenapa memaksakan diri? Sudah tahu masih lemah." Sebastian menggumam, tanpa permisi mengangkat tubuh Victoria dan membawanya menapaki sisa anak tangga. Menggendong ke kamar yang ditunjuk Mita. Sebuah ranjang besar ada di tengah, Sebastian merebahkan Victoria di sana sebelum bergegas pergi dan menutup pintu.

"Waaah, romantisnyaa. Tunangan Miss Isabela ternyata sangat baik dan romantis."

Pujian Nita pada Sebastian membuat Victoria menghela napas panjang. Semakin baik Sebastian, semakin dalam tanya dalam dirinya. Apakah laki-laki itu benar-benar tulus atau hanya di permukaan saja. Ia bisa merasakan lengan yang kokoh merengkuhnya, mengangkat seakan bobot tubuhnya tidak berarti. Teddy bahkan tidak pernah melakukan hal romantis seperti itu padanya.

"Nita, aku ngantuk sekali. Tolong bantu aku ganti baju dan bilang sama mereka aku nggak bisa ikut makan bersama. Lelah dan ngantuk."

Nita mengangguk. "Baik Miss."

Victoria memejam, ingin menikmati kedamaian di kamar ini seorang diri. Ia yakin orang-orang di luar sana tidak ada yang peduli dengannya. Persetan dengan mereka, ia akan terus bertahan selama bukan nyawa taruhannya.
.
.
Kisah penuh intrik ini sudah update bab 15 di Karyakarsa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top