Bab 19

Mobil pengangkut peti berisi buah-buahan berlalu lalang keluar masuk perkebunan. Diawasi oleh seorang gadis yang memakai topi dan kacamata. Gadis itu berteriak-teriak, memberikan banyak perintah pada para pekerja. Sesekali terdengar makian dari mulutnya dan membuat semua orang yang mendengar berjengit. Melirik ke arah si gadis dengan tatapan benci.

"KALIAN INI PEMALAS! MAKAN GAJI BUTA!"

Orang-orang bergerak sebisa mungkin, tidak terlalu berusaha karena sudah kelelahan. Peluh bercucuran dan wajah memerah karena panas. Otot menonjol dari balik kaos para laki-laki, rambut berantakan dan kulit tergores di banyak tempat. Mereka ingin komplein, ingin marah, tapi membutuhkan uang untuk makan. Sedangkan pekerjaan ini tidak lagi membuat mereka bahagia.

"WOI! GERAK YANG CEPAT! APEL BISA BUSUK KARENA KALIAN GERAK LAMBAT!"

Gadis berkacamata itu membawa pemukul di tangan, mengetuk permukaan peti, truk, dan melotot serta mengomel pada para perempuan yang terdiam. Saat jeda istirahata dua puluh menit, para pekerja berkumpul di bawah pohon. Menatap si gadis yang kini asyik dengan ponselnya.

"Dia hanya penumpang di rumah itu tapi lagaknya seperti boss besar."

"Adik, kakak, dan ibunya juga sama saja. Brengsek dan kurang ajar!"

"Aku jadi kangen Miss Victoria."

"Sama."

"Kemarin aku lihat Tuan Besar, ingin menyapa tapi ternyata ada penjaga yang nggak ngasih kita mendekat."

"Kasihan Tuan Besar, terkurung di dalam rumah tua bobrok. Padahal perkebunan dan rumah besar ini adalah miliknya."

Percakapan bergulir dari Victoria ke arah gaji yang makin lama makin sedikit mereka terima. Pengurangan pegawai, hasil yang kurang maksimal, ditambah dengan kekejaman Teddy serta keluarganya membuat para pegawai enggan untuk bekerja lebih dari kemampuan mereka. Memilih untuk pulang lebih cepat dari pada lembur dengan gaji sedikit. Makin hari perkebunan bukan tempat yang layak untuk mendapatkan uang.

Tidak ada satu pun pekerja yang percaya saat Teddy mengatakan perkebunan merugi. Setiap orang bisa menghitung hasil panen yang didapatkan. Meskipun pupuk mahal, panen dianggap gagal, tapi tidak separah yang dikatakan oleh Teddy. Harusnya untuk gaji buruh dan membayar lembur lebih dari cukup tapi memang kenyataannya Teddy sangat pelit.

"Kesalahan terbesar dari Miss Victoria adalah menikahi bajingan itu!"

"Kuburan masih basah sudah menikah lagi."

"Semoga bajingan itu mendapatkan balasannya."

"Gadis galak itu juga sama, pantas saja nggak punya pasangan. Memang sebrengsek itu!"

Treta yang duduk di bawah teras dengan ponsel di tangan tidak mendengar bisik-bisik mereka. Ia sedang sibuk membalas pesan yang masuk. Beberapa laki-laki muda sedang menggodanya tapi tidak ada satu pun yang punya niat serius dengannya. Beberapa minggu ini ia berkencan dengan banyak laki-laki tapi berakhir dengan buruk. Mereka semua menginginkan uangnya dan bukan cintanya.

Satu laki-laki menghilang setelah dibelikan tas mahal. Satu lagi berhenti menghubungi setelah mendapatkan motor, dan terakhir malah memblokir nomornya setelah mendapatkan sejumlah uang darinya. Treta sudah berusaha sebaik mungkin dengan mereka, nyatanya tidak satu pun punya niat tulus.

"Treta! Kemari!"

Treta mendongak saat sang mama memanggil. Ia bangkit dengan malas, menuju sang mama yang datang dengan mobil golf.

"Maa, ngapain kemari?"

Berdecak pada anak gadisnya, Gita mengernyit tajam. Mengedarkan pandangan pada para pekerja yang masih mengobrol padahal jam istirahat sudah selesai.

"Kenapa kamu masih di sini?"

"Memangnya kenapa?"

"Jam istirahat sudah selesai. Waktunya mereka kembali kerja!"

Treta menatap jam di ponsel lalu mengangguk. "Oke, aku minta kerja lagi. Mama tunggu di sini, aku mau ikut pulang. Capek dan pusing!"

Gita menunggu sampai Treta selesai mengatur pekerja. Ia sendiri juga merasa capek membantu Teddy mengurus perkebunan tapi ini adalah penghasilan terbesar untuk keluarga. Mau tidak mau semua orang harus bekerja kalau ingin punya uang. Saat para pekerja kembali melakukan bagian mereka, Treta melompat masuk ke mobil golf.

"Mau sampai kapan aku yang mengawasi perkebunan, Ma? Kulitku jadi hitam semua dan gosong!"

"Sabar dulu, kakakmu masih mengumpulkan surat-surat dan menghitung aset. Ada kemungkinan kita akan jual kalau memang terus merugi."

"Kalau dijual kita dapat penghasilan dari mana?"

"Bisnis Marisa, bukannya dia punya pabrik? Kakakmu sepertinya ingin mengembangkan pabrik itu."

Treta mencebik, mengusap rambut basah karena keringat dengan tisu. "Dulu saat Victoria masih hidup, aku punya uang meskipun tidak banyak tanpa harus bersusah payah. Sekarang aku harus kerja keras tapi hasilnya nggak jauh beda. Lama-lama aku jadi kangen perempuan kampungan itu!"

"Hush! Jangan bicara sembarangan. Victoria sudah mati. Emangnya kamu mau dikubur juga? Dulu kamu punya uang, tapi perkebunan milik orang lain. Selamanya kamu jadi pegawai rendahan. Sekarang perkebunan menjadi milik keluarga kita. Kalau maju, kita akan mendapatkan uang sendiri. Kalau rugi dan harus dijual, kita juga akan mendapatkan bagian. Ngapain mengharap perempuan itu hidup lagi? Sudah bagus dia mati terbakar!"

Sama sekali tidak ada simpati ataupun empati dari Gita untuk Victoria. Sedari awal ia tidak pernah suka dengan Victoria yang menurutnya sangat keras kepala. Kalau bukan karena kekayaan yang dimiliki, Gita tidak sudi punya menantu seperti Victoria. Terlebih ada laki-laki tua yang mata elangnya mengawasi seluruh rumah. Seakan ia dan dua anaknya adalah pencuri.

"Maa, boleh jujur nggak?"

Gita menatap pada anaknya. "Soal apa?"

"Entah kenapa aku lega Victoria mati!"

Keduanya saling pandang lalu tertawa bersamaan. Terbahak-bahak seolah membicarakan kematian orang lain adalah hal membahagiakan. Tidak perlu berpura-pura bersedih, karena memang tidak ada hal menyedihkan yang terjadi. Victoria berhasil tersingkir dan membuat mereka bahagia. Akhirnya orang yang selama ini mengatur

Tiba di rumah mereka mendapati Teddy sedang minum kopi di teras. Gita memarkir mobil setelah Treta turun. Menaiki tangga dengan cepat keduanya menghampiri Teddy.

"Kak, kenapa bengong di sini? Harusnya tadi bantu aku atur mereka. Kamu nggak tahu, tingkah para pekerja itu makin lama makin mengesalkan!"

Treta mengoceh, membuka topi dan kacamata. Menghela napas lega karena udara sejuk menyergapnya.

"Mana panas banget lagi di perkebunan. Bisa-bisa aku gila kalau terus-terusan mengurusi mereka. Kenapa kita nggak cari mandor aja?"

Teddy menatap adik dan mamanya lalu menggeleng perlahan. "Kalian ingat uang yang aku gunakan dul? Saat Victoria masih hidup, uang yang semestinya untuk membayar jasa pengiriman aku berikan pada kalian untuk membeli mobil dan juga berjudi. Uang habis, jasa pengiriman tidak mau membantu kita lagi. Sekarang, aku harus membayar utang dan terpaksa menggunakan dana operasional. Treta, Mama, kalian sabar dulu. Bantu aku kerja sampai keadaan stabil."

"Bukannya kamu mau pakai jasa pengiriman yang lain?" tanya Gita.

"Memang, tapi mereka maunya uang kontan. Tidak boleh ada utang. Semuanya memang begitu sampai kita dapatkan kepercayaan mereka. Selama satu tahun ini kita akan mengencangkan ikat pinggang."

Treta menatap kakaknya lekat-lekat. "Kenapa kamu nggak naikkan harga buah, Kak?Bilang saja harga pupuk dan operasional naik?"

Teddy menggeleng. "Aku sudah pikirkan cara itu tapi sulit. Tengkulak tidak akan mau menerima hasil kebun kita kalau terlalu mahal. Kita kalah saing dari yang lain."

"Jadi aku harus tetap menderita? Jadi mandor untuk orang-orang tolol dan pemalas itu? Rasanya pingin aku siram air keras biar mereka punya rasa takut dan bisa lari lebih cepat. Kesal sekali aku!"

Teddy menepuk-nepuk pundak adiknya, memahami kemarahan Treta. Ia pun tidak punya pilihan lain karena uang yang mereka dapatkan tidak berlimpah.

"Jasa pengiriman yang baru, dari mana kamu mengenalnya?" tanya Gita.

"Mama kenal Sebastian bukan?"

"Si tampan itu? Tentu saja aku kenal!" celetuk Treta dengan semangat. "Di kota ini siapa yang nggak kena laki-laki kaya dan tampan Sebastian Gonzales."

"Ya, Sebastian itu. Si pemilik jasa adalah tunangan Sebastian, namanya Isabela."

Gita mengernyit. "Kaya pernah dengar namanya."

Teddy mengangguk. "Isabela adalah korban yang selamat dari kebakaran di butik."

"Ah, ternyata begitu. Pantas saja terdengar akrab. Hebat juga si Isbela itu bisa hidup dari kobaran api. Victoria saja nggak mampu."

"Kalian tahu apa yang aneh dari Isabela ini?"

Gita dan Treta saling pandang lalu menggeleng. Tertarik dengan apa pun yang ingin dikatakan Teddy.

"Aku merasa kalau sikapnya sangat mirip dengan Victoria. Bukan sikap saja tapi cara bicara, cara mencela omongan orang serta suaranya pun sama persis. Hanya saja wajahnya berbeda. Bukankah itu aneh?"

Gita menghela napas panjang menatap anak laki-lakinya dengan kritis. "Kamu terlalu memikirkan Victoria sampai-sampai melihat orang lain mirip dia. Kasihan sekali kamu!"

"Tapii—"

"Kak, Mama benar. Kamu terlalu berhalusinasi."

Teddy kesal karena tidak ada satu pun percaya dengan perkataannya. Ia sama sekali tidak berhalusinasi atau membuat. Isabela memang mirip dengan Victoria.
.
.
.
Versi lengkap di Karyakarsa dan Playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top