Bab 18
Marisa masuk ke toilet untuk retouch make-upnya. Memastikan kalau bedak masih rata dan memoles ulang lipstik. Tidak lupa menyemprot parfum di pergelangan tangan, leher, dan lekukan bahu. Berdiri di depan cermin untuk menghitung waktu. Tidak boleh salah langkah atau apa yang sudah diperhitungkannya akan gagal.
"Isabela, perempuan kampung yang merasa dirinya sosialita ternama. Di kota ini nggak ada yang kenal dia. Tanpa Sebastian dia bukan siapa-siapa tapi lagaknya seperti orang kaya lama."
Marisa menggumam di depan cermin, meluapkan kekesalannya pada Victoria karena terus menerus bertanya tentang mantan istri Teddy. Membuatnya sangat kesal dan marah.
"Kalau bukan karena Sebastian, aku nggak akan mau bicara padanya. Heran juga kenapa laki-laki setampan dan sekaya Sebastian mau bertunangan dengan perempuan kampungan itu. Aku rasa karena uang."
Senyum mengembang di bibir saat teringat akan Sebastian. Hatinya berdenyut gembira karena bertemu laki-laki tampan dan menawan. Suaminya memang tampan, tapi Teddy tidak memiliki pesona Sebastian.
"Sudah cantik, saatnya keluar dan menjulurkan jaring untuk memangsa."
Marisa melenggokan tubuh dan keluar dari toilet, tepat saat Sebastian baru saja mencuci tangan. Wajahnya semringah dan senyum lebar mencuat dari bibirnya.
"Sebastian, bisa kita bicara berdua?"
"Kita ada tempat untuk bicara. Kenapa harus di sini?" Tanpa menghentikan langkah Sebastian mengabaikan ajakan Marisa.
"Ini penting Sebastian." Marisa ingin meraih lengan Sebastian tapi urung. Tangannya terkulai di sisi tubuh saat tatapan tajam Sebastian terarah padanya. "Hanya ingin bicara berdua saja. Bisakah? Please?"
Sebastian menggeleng, merasa sangat jengkel dengan perempuna seperti Marisa yang merasa bisa mendapatkan apa pun dengan pesona mereka.
"Tidak bisa. Kita kembali ke meja dan bicara di sana."
"Tapi—"
"Ada suamimu, kenapa harus berahasia. Aku sendiri tidak akan menyimpan rahasia apa pun dari tunanganku!"
Sebastian melangkah lebar meninggalkan Marisa yang gigit jari. Dari dulu ia selalu memberlakukan batasan untuk orang-orang di sekitarnya. Ada saatnya harus tegas dan bilang tidak, agar mereka mengerti ia bukan tipe orang yang suka dipaksa.
Tiba di meja, Sebastian menghampiri Victoria. Mengernyit saat perempuan itu terdiam dengan wajah menatap pintu. Seolah enggan menatap Teddy. Marisa menyusul dan kembali duduk di tempatnya.
"Sayang, bisa kita pulang sekarang?" tanya Victoria.
Sebastian mengangguk. "Tentu saja. Ayo, pulang!"
Mereka saling berpamitan, Teddy menjabat tangan Sebastian dan menepuk dengan gaya bersahabat. "Kami menunggu kabar untuk investasi perusahaan istriku, Sebastian."
"Apakah tadi kita bicara soal itu?" tanya Sebastian.
Teddy tertawa lirih, bertukar pandang dengan istrinya. Marisa yang bergegas menjawab.
"Kami akan memberikan proposal secara resmi lewat email."
"Baiklah."
"Semoga ada kabar baik untuk kami." Marisa menatap Sebastian penuh harap. Ingin sekali menjadi patner Sebastian, dengan begitu mereka bisa sering bertemu.
"Aku akan menberikan jawabannya segera," ucap Sebastian sambil lalu.
Victoria hanya mengangguk kecil saat berpamitan, menggandeng tangan Sebastian dan meninggalkan restoran. Ia sudah sangat muak dengan Teddy dan tidak ingin lama-lam dekat dengan laki-laki itu. Tadi Teddy bertanya kenapa tindak tanduk dan suaranya mirip sang mantan istri. Victoria menjawab sambil lalu.
"Mungkin karena kamu masih terbayang istrimu. Menganggap perempuan lain seperti Victoria."
"Benarkah? Otakku error berarti, padahal soal perempuan cantik aku nggak pernah salah."
"Teddy, apakah kamu selalu seperti ini?"
"Seperti ini bagaimana?"
"Mudah merayu perempuan."
Teddy tergelak dan mengedipkan sebelah mata dengan kurang ajar pada Victoria. "Hanya pada perempuan cantik saja, karena kalau nggak cantik aku nggak mau!"
Jemari Victoria mengepal, ingin sekali menampar mulut Teddy hingga bungkam. Dirinya terlalu naif waktu itu, merasa begitu dicintai padahal sedang dimanfaatkan. Kebodohannya dalam jatuh cinta membuat keluarga Yard jatuh dalam kehancuran. Memikirkan tentang sang kakek membuat Victoria tidak berhenti menyalahkan diri sendiri.
Saat ini ia sangat membenci Teddy, melebihi apa pun di dunia. Tidak ada yang bisa menghentikan rasa bencinya pada laki-laki itu. Sebelum kematiannya dan Isabela terungkap, ia tidak akan berhenti untuk mencari tahu. Malam ini ia membiarkan Teddy dan Marisa bebas untuk mencari tahu bagaimana sikapp keduanya sebagai pasangan. Ternyata keduanya sama-sama munafik. Jika melihat dari sikap Marisa malam ini, ia tidak yakin kalau ada cinta dalam pernikahan mereka.
"Kita jalan-jalan dulu gimana?" Sebastian bertanya saat melihat Victoria terdiam sepanjang perjalanan.
"Boleh, ayo, kita jalan-jalan."
Sebastian membuka atap mobil, membiarkan angin menerpa tubuh mereka. Victoria memejam, menyandarkan kepala pada kursi. Membayangkan beragam peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Ditinggal mati kedua orang tuanya, disusul dengan nenek, dan ia gagal menjaga kakek agar tetap sehat.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Sebastian saat mobil melewati pancuran di tengah kota. Sengaja menjalankan kendaraan dengan kecepatan sangat lambat.
"Angin malam yang ternyata sangat segar," jawab Victoria tanpa membuka mata. "Setelah bangkit dari kematian aku mulai bisa menghargai kalau angin yang bertiup adalah berkah. Setiap napas yang kuhela adalah anugerah."
Sebastian menghentikan kendaraan di pinggir jalan, menatap Victoria lekat-lekat. Tidak ada jejak air mata di pipi tapi ia merasa kalau Victoria sedang bersedih. Entah apa yang terjadi tapi mengenang kecelakaan dan merasa senang karena lolos dari kematian seharusnya memang biasa terjadi. Cara Victoria mengungkapkan yang membuatnya bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
"Isabela, apakah terjadi sesuatu saat aku ke toilet? Teddy mengatakan sesuatu yang membuatmu kesal?"
Victoria membuka mata dan menggeleng. "Nggak, Sayang."
"Kenapa kamu sedih kalau gitu?"
"Nggak tahu, memang agak melow saja."
"Makanan kurang enak? Aku lihat kamu makan sedikit saja."
"Nggak kok, enak banget. Cuma lagi nggak nafsu makan saja."
Victoria menegakkan tubuh, mengernyit ke arah kerumunan di depan mereka. Ada banyak orang di bawah lampion dengan beragam gerobak warna warni.
"Sayang, bagaimana kalau kita jalan-jalan?"
Sebastian mengangguk. "Ayo, mau kemana?"
"Jajan di depan."
Sebastian tercengang saat Victoria turun dari kendaraan dan mengajaknya ke pasar malam. Ada banyak pedagang menjajakan beragam makanan. Victoria menunjuk tiap makanan dengan suka ria, dari beragam gorengan hingga sushi home made dan segala macam manisan.
"Enak sekali. Aku nggak pernah makan yang begini."
Victoria mengunyah dengan gembira. Menawari Sebastian tapi ditolak.
"Bukannya waktu tinggal di pedesaan ada banyak makanan begini?" tanya Sebastian. "Aku nggak ada maksud merendahkan tapi biasanya makanan gerobakan ada di mana-mana."
Hampir saja Victoria tersedak mendengar perkataan Sebastian. Sebagai Victoria ia memang belum pernah makanan jajanan seperti ini. Hidupnya berada dalam keteraturan dan rutinitas perkebunan yang serba sibuk. Tidak pernah berjalan-jalan keluar apa lagi menikmati pasar malam. Sebagai Isabela, makanan seperti ini bukan hal aneh dan bisa dinikmati setiap hari. Victoria lupa dengan situasi karena terlampau asyik makan.
"Nggak juga, karena sehidupan kami dulu sangat miskin."
"Tuan Antoni tidak pernah memberikan kalian uang?"
"Soal itu hanya mama yang tahu."
"Kasihan, hidup kalian pasti sulit sekali."
Victoria juga merasakan iba untuk Isabela. Menjalani masa kecil yang sulit dan saat sudah dewasa dibunuh dengan begitu kejam.
"Mau makan yang lain?" Sebastian memperhatikan Victoria yang menandaskan makanannya dengan wajah gembira."
"Nggak, udah cukup. Lebih baik kita pulang sekarang sebelum hujan. Kayaknya gerimis."
Victoria menadahkan tangan, mengernyit pada beberapa tetes air yang membasahi telapak tangannya. Menjerit saat Sebastian menarik tangannya.
"Ayo, lari. Hujaaan!"
Keduanya berlari ke arah mobil, masuk dan duduk di jok dengan napas tersengal. Victoria tertawa karena ujung gaunnya basah.
"Semoga gaunku nggak rusak. Aduh, kakiku sakit."
Ia mencopot sepatu hak tinggi, Sebastian melepas jas. Hujan turun dengan deras. Membuat pandangan mereka tertutup.
"Rambutmu basah. Keringinkan dulu."
Sebastian membantu Victoria mengelap rambut dan wajah dengan tisu.
"Aku bisa sendiri."
"Udah, diam saja. Nanti masuk angin."
Keduanya saling pandang, Victoria meraih tisu dan mengelap pipi Sebastian. Dalam hatinya menyadari kalau Sebastian punya sikap jauh lebih baik dari Teddy. Entah itu asli atau bukan, ia tidak tahu. Dulu suaminya juga terlihat baik saat mendekatinya, belakangan berubah sikap. Ia takut kalau Sebastian akan bersikap serupa.
"Isabela ...."
"Ya?"
"Aku ingin menciummu."
Victoria mendekat, mengecup bibir Sebastian dan membiarkan bibirnya dilumat dengan panas. Ingin menikmati cumbuan yang mesra dan menggairahkan setelah melalui malam yang menyebalkan.
.
.
.
Tersedia di google playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top