Bab 15

Victoria terpikir oleh perkataan Julia meskipun di permukaan terlihat tenang. Diam-diam ia mengawasi tindak tanduk Sebastian hanya untuk mencari tahu apakah laki-laki itu terlihat berbeda? Apakah ada kemungkinan akan kembali pada Afika? Ia tidak tahu apa penyebab putusnya hubungan mereka, dari yang kabar angin yang didengarkan tentang perbedaan visi dan misi. Kalau begitu masalahnya, berarti putus atas kesepakatan bersama. Apakah berarti suatu saat bisa kembali bersama?

"Bisa jadi bisa balikan kalau Afika nggak ada tunangan."

"Aku udah lihat tunangannya, agak tua dan gemuk, jauh kalau sama Tuan Sebastian."

"Sst, jangan begitu. Tunangannya jauh lebih kaya."

"Uang memang bisa mengubah banyak hal."

Victoria tanpa sengaja mendengar percakapan para pegawai saat jam istirahat. Menambah pertanyaan dalam hatinya tentang apa yang sebenarnya terjadi di antara Afika dan Sebastian. Ia tidak akan berpikir seperti ini kalau bukan karena iba dengan Isabela. Bayangkan, gadis lugu yang cinta setengah mati pada Sebastian dan akhirnya terkhinati. Pasti hatinya akan hancur, meskipun sekarang sudah tidak ada di dunia.

"Kamu sakit? Wajahmu pucat?"

Sebastian muncul di ruangannya saat Victoria baru datang dari toilet untuk mencuci muka. Ia belum sempat touch up bedak dan lpstik saat laki-laki itu mendadak muncul.

"Jangan lihat aku?" Victoria menutupi wajahnya.

Sebastian mengernyit heran. "Kenapa?"

"Bukan muka asli, ini semua karena operasi plastik."

"Masalahnya di mana? Mukamu plastik gitu?"

"Ya, semacam itu." Victoria menutupi wajah dengan tangan, berharap agar Sebastian cepat pergi. Ia merasa tidak percaya diri terlihat tanpa riasan. Seolah Sebastian memergokinya telanjang. Padahal kenyataannya hanya wajahnya saja yang polos, bukan tubuhnya.

Sebastian menghela napas panjang, meraih tangan Victoria dan menurunkannya. Ia mengamati wajah yang pucat karena air, dan sama sekali tidak peduli apakah ada atau tidak, pemerah pipi dan lipstik di sana.

"Isabela, bagiku kamu sesudah atau sebelum operasi nggak ada bedanya. Memang, kulitmu jadi lebih putih, wajah jadi mulus, tapi bukankah memang begitu bentuk aslinya? Kamu hanya memperbaiki dan bukan mengubah."

Victoria menghela napas panjang, melepaskan tangan dari genggaman Sebastian dan mengambil bedak dari laci. Tidak peduli apa pun yang dikatakan Sebastian, wajah telanjang tanpa make-up mengingatkannya akan Isabela. Ia mencuri wajah ini dari orang lain dan ingin menutupinya.

"Terima kasih untuk pengertiannya, Sayang. Apakah kamu ada hal penting sampai datang kemari? Padahal bisa manggil aku datang ke ruanganmu."

Sebastian tersenyum, menyandarkan tubuhnya ke meja dan mengendus udara. Victoria menyemprot parfum ke leher dan pergelangan tangan, dalam sekejap aroma mawah dan white floral dengan sedikit hint vanila, menguar di udara. Tidak terlalu strong tapi cukup membuat hidung tergelitik.

"Kamu pakai parfum baru?" tanyanya.

Victoria sempat tertegun, menatap laci yang terbuka. Ada beberapa botol parfum di dalamnya. Ia meraih botol warna merah muda dan menunjukkan pada Sebastian.

"Menurutmu enakkan parfum baru atau yang lama ini?"

Sebastian mengangkat bahu, menatap parfum di tangan Victoria. "Apapun yang kamu pakai, nggak ngaruh untukku. Sama-sama wangi bunga. Pakai apa yang menurutmu enak dan nyaman."

"Terima kasih, Sayang. Kamu pengertian sekali."

Memperhatikan dalam diam, Victoria yang menyimpan parfum dan kini memoles lipstik, membuat Sebastian bertanya-tanya, apa yang salah dengan tunangannya. Akhir-akhir ini sering mendengar Victoria memanggil dengan mesra, menyebut kata 'sayang' tanpa canggung. Ia bukannya tidak suka, hanya belum terbiasa.

Afika pernah bertanya padanya apakah ia bahagia bertunangan dengan Isabela? Dulu ia kesulitan menjawab karena memang tidak terlalu mengenal kepribadian tunangannya. Isabela jarang membuka diri, tidak pernah mengajaknya mengobrol apalagi bertukar pikiran. Sekarang justru berbeda, semakin hari ia semakin ingin dekat dengan tunangannya yang menjelma menjadi perempuan cerdas dan tegas. Kalau sekarang ditanya apakah ia bahagia, dengan tegas akan menjawab 'iya' tanpa keraguan sedikitpun.

"Malam Minggu nanti akan ada pertemuan. Kamu harus mendampingiku."

"Pertemuan apa?" tanya Victoria.

"Bukan resmi, tapi bisa dikatakan makan malam secara privat dengan klien baru kita."

"Siapa?"

"Teddy dan istrinya."

Tangan Victoria yang sedang merapikan laci terhenti di udara. Menatap meja sambil melamun, Victoria tidak berani mengangkat wajah karena takut Sebastian akan curiga. Saat ini dadanya berdebar keras dengan jari gemetar karena nama suaminya disebut.

"Kamu masih ingat Teddy'kan? Istrinya meninggal di tempat karena kecelakaan yang sama denganmu. Salah satu alasan Teddy mengajak bertemu adalah ingin melihatmu. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di butik. Kenapa kamu selamat sedangkan istrinnya tidak."

"Kenapa dia nggak tanya langsung sama polisi?!" ujar Victoria dengan ketus. Hatinya panas karena kebohongan Teddy. Padahal jelas-jelas laki-laki itu yang ingin menghabisi nyawanya.

"Jangan marah, dia hanya ingin tahu. Kalau kamu nggak nyaman, aku akan bilang kalau kamu nggak suka ditanya-tanya soal itu."

Victoria menghela napas panjang dan memandang Sebastian lekat-lekat. "Kamu ingin aku mendampinginmu?"

Sebastian mengangguk. "Tentu saja, karena ini menyangkut perusahaanmu juga."

"Kalau begitu aku akan datang ke pertemuan itu denganmu."

"Kamu yakin?"

"Ya, tentu saja. Aku nggak peduli Teddy mau tanya masalah apa pun, aku akan jawab kalau bisa."

"Terima kasih, aku akan menjemputmu nanti."

Sepeninggal Sebastian, Victoria melamun dengan kepala bersandar pada kursi. Setelah hampir satu tahun berlalu, akhirnya ia bertemu dengan Teddy lagi. Saat ia menderita karena kecelakaan, laki-laki yang pernah mengucapkan cinta mati padanya memilih untuk bersenang-senang dengan perempuan lain. Sampai sekarang Victoria masih belum terima kenyataan kalau Teddy mengkhianatinya. Akhirnya, masa ini tiba juga dan tidak bisa dihindari lagi.

Sabtu sore, Victoria membuka lemari dan mencari gaun yang cocok untuk digunakan. Tidak terlalu formal tapi harus tetap anggun. Ia mengeluarkan seluruh gaun dan meminta pendapat Nita. Akhirnya pilihan jatuh pada gaun coctail merah darah dengan bentuk A-line. Memperlihatkan kulit bahu dan juga bagian atas dadanya. Panjang gaun di pertengahn betis dengan bentuk lebar. Lengan membuka hingga nyaris mencapai siku. Saat memakainya, Victoria merasa wajahnya terlihat segar dan cantik.

"Gaun ini cocok untuk Miss pakai," puji Nita dengan berseri-seri.

"Benarkah? Warnanya nggak terlalu mencolok untuk makan malam pribadi?"

Nita menggeleng. "Tentu saja ini gaun yang pas. Miss Isabela terlihat segar, nggak pucat, dan anggun. Lagi pula, warna merah melambangkan keberuntungan. Barangkali malam ini sesuatu yang baik akan terjadi."

Victoria tidak tahu, hal baik apa yang akan menimpanya saat berhadapan dengan Teddy. Sampai sekarang ia terus menerus merasa sial semenjak mengenal Teddy.

Sebastian juga melontarkan pujian atas penampilan Victoria.

"Cantik sekali, tunangananku ini."

Victoria tidak tahu apakah pujian itu tulus atau tidak, dan juga tidak peduli. Ia menggandeng tangan Sebastian diiringi tatapan para penghuni rumah. Putri terlihat tidak setuju dengan pilihan gaunnya, dianggap terlalu vulgar. Julia mengatakan hal yang sama padahal Victoria yakin kalau dalam hati, gadis itu merasa sangat iri.

Sepanjang perjalanan menuju tempat pertemuan, Victoria duduk dengan gelisah. Sebastian mengajaknya bicara dan hanya didengar sambil lalu. Pikirannya tidak fokus, sibuk menerka apa yang akan terjadi saat berteman mantan suaminya lagi.

"Kenapa tanganmu dingin sekali?" tanya Sebastian heran saat meraih jemari Victoria dan membimbingnya ke lift. "Jangan bilang kamu lagi masuk angin? Apakah gaun itu membuatmu kedinginan?"

Victoria menggeleng, memaksakan diri untuk tersenyum. "Gaun ini baik-baik saja dan aku nggak kedinginan."

"Benarkah? Soalnya terlalu terbuka di bagian atas. Membuatmu terlihat sangat anggun dan juga sexy." Pandangan Sebastian tertuju pada belahan dada Victoria. "Aku nggak suka kalau ada laki-laki memandangi dadamu."

"Bukankah Teddy datang bersama istri barunya?"

"Memang."

"Kalau begitu harusnya aman. Dia tidak akan macam-macam di depan istrinya bukan?"

"Semoga saja begitu. Jujur saja, kamu sangat cantik dan anggun."

Victoria tertawa, merasa tersanjung atas pujian Sebastian. Ia mencerngkeram lengan Sebastian saat memasuki lounge. Dadanya berdebar, jantung berdetak dan pandangannya terhenti pada satu laki-laki yang duduk di sofa dan kini berdiri menyambutnya. Victoria menatap lekat-lekat pada mantan suaminya.

"Selamat malam, Tuan Sebastian dan Miss Isabela."

Victoria mengulum senyum karena Teddy tidak mengenalinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top