Bab 13
Beberapa hari bekerja di kantor, alasan kenapa sikap Tunia begitu judes dan tidak ramah pada Victoria terkuak. Semua karena seorang perempuan cantik bernama Afika, yang merupakan mantan pacar Sebastian. Meskipun tidak lagi menjalin percintaan tapi hubungan keduanya masih baik. Itu karena Afika adalah patner Sebastian. Perempuan cantik berusia tiga puluh tiga tahun itu, sudah punya calon suami tapi terlihat masih sangat perhatian dengan Sebastian. Tunia dulunya asisten Afika yang dipindah untuk membantu Sebastian.
Victoria tidak ingin mencari masalah dengan perempuan itu. Baginya apa pun bentuk hubungan antara Afika dan Sebastian tidak ada kaitan dengannya. Nyatanya tidak begitu bagi Afika, meskipun saat berkenalan terlihat baik tapi ada sesuatu yang tersembunyi dari perempuan itu. Dari sikapnya yang terlalu baik dan kata-katanya yang kelewat manis.
"Isabela, akhirnya aku bisa berkenalan denganmu. Selama ini banyak mendengar cerita tentangmu dari Sebastian dan Tunia, ternyata setelah bertemu sendiri sungguh berbeda."
"Apa kabar, Kak?" Victoria sengaja memanggil dengan sebutan yang dituakan untuk menyadarkan Afika tentang perbedaan umur mereka. Dulu ia biasa melakukannya kepada para pekerja perkebunan. Untuk menghormati yang lebih tua dan demi menjaga soapn santun.
Afika tersenyum. "Umur kita nggak jauh beda, kenapa nggak manggil nama saja secara langsung?"
"Oh, bolehkah? Aku manggil nama secara langsung?"
"Tentu saja, aku malah senang bisa akrab denganmu."
Keduanya saling pandang untuk sesaat. Victoria mengangguk kecil untuk menunjukkan sopan santu belaka. Ia tidak tahu apa peran Afika dalam hidup Isabela. Apakah perempuan itu tidak menyukai Isabela karena cemburu belaka atau memang ada niatan lain. Untuk sementara Victoria hanya mengamati saja.
"Apa kamu sudah terbiasa kerja di sini?" Afika tanpa ijin duduk di sofa kecil yang ada di ruangan Victoria.
"Lumayan."
Afika menyilangkan kaki, mengetukkan jari jemari yang lentik ke lengannya. "Aku ingat dulu, sebelum kamu kecelakaan kalau kamu nggak biasa kerja di sini. Setelah sembuh justru giat bekerja."
"Bukankah itu hal bagus?"
"Memang, tapi aku heran saja apa yang membuatmu jadi rajin?"
Untuk menguji Afika, Victoria menjawab dengan sedikit kebohongan. "Satu, karena saat koma aku bertemu malaikat yang memberiku kesempatan hidup sekali lagi asalkan aku bekerja keras."
Afika tercengang, tidak percaya dengan ucapan Victoria.
"Kedua, karena aku nggak mau kehilangan tunanganku. Saat koma aku menyadari kalau Sebastian yang paling perhatian dan sayang padaku."
"Sebastian paling sayang padamu?"
"Iya, apa kamu tahu kalau hampir setiap hari Sebastian datang ke rumah sakit. Menghibur dan menguatkanku. Tanpa segan menggendongku turun naik ranjang. Kalau aku nggak sehat lagi, nggak ada semangat untuk hidup, berarti sudah membuat Sebastian kecewa."
"Manis sekali sikap Sebastian."
"Memang, aku pun merasa sangat tersentuh."
"Apa kamu mencintainya, Isabela?"
"Tentu saja, siapa yang nggak akan jatuh cinta dengan laki-laki setampan dan sehebat Sebastian?"
Meski pujian dan kata-kata keluar dari bibir Victoria, tapi diniatkan atas nama Isabela. Kalau ada yang bertanya tentang Sebastian, sebagai Isabela akan menjawab begitu. Sedangkan bagi diri, Sebastian tidak lebih dari laki-laki biasa. Memang sangat tampan, baik, dan pandai berciuman. Victoria dibuat terlena oleh permainan bibirnya. Namun, hanya itu saja. Baginya ciuman memang biasa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, tanpa harus melibatkan perasaan. Tidak mengherankan kalau ia menyukai ciuman dan kemesraan Sebastian. Namun, kalau ditanya soal cinta tentu saja beda artinya.
"Sebastian memang hebat, banyak perempuan suka padanya. Di kalangan pergaulanku, dia sangat populer. Tadinya aku mengira Sebastian akan menjadi pasangan Julia atau pun perempuan yang berada di lingkup sosialku. Siapa sangka justru sama kamu."
"Memangnyanya kenapa kalau sama aku? Apakah aku nggak pantas buat dampingi Sebastian?"
Afika tidak menjawab, menatap Victoria yang berada di belakang. Tidak seperti perempuan pada umumnya yang setiap kali bertemu dengannya akan bersikpa ramah, sopan, dan cenderung menjilat. Victoria yang dikenalnya sebagai Isabela justru berbeda. Tidak seperti penggambaran Tunia tentang Isabela yang lemah lembut dan cenderung penakut serta penggugup, perempuan yang menjadi tunangan Sebastian menunjukkan sifat yang sebaliknya. Tegas, tidak suka basa-basi, dan seakan tanpa kompromi.
"Nggak ada yang bilang kalau kamu nggak pantas. Hanya pradugamu saja."
"Kenapa aku nangkapnya lain, ya? Soalnya tadi kamu ungkit-ungkit tentang status sosial."
"Memangnya kenapa dengan status sosialku?"
"Pertanyaan yang salah, Afika. Harusnya aku yang tanya, apa yang salah dengan status sosialku? Meskipun ibuku hanya istri kedua yang datang dari kampung, tapi aku tetaplah anak dari Tuan Antoni yang terhormat. Pewaris sah dari perusahaan ini. Semua orang tahu, jadi harusnya nggak ada masalah dengan status sosial bukan?"
Afika terkejut sesaat, dengan serangan balik dari Victoria. Semestinya tidak begini, setiap perempuan yang diingatkan tentang status sosial olehnya akan sadar diri dan berkaca, siapa yang akan melawan Afika, anak dari walikota dan juga salah satu perempuan muda yang berpengaruh. Bukankah menantangnya ibarat ikan kecil di lautan yang menyerahkan diri pada ikan yang besar untuk dijadikan mangsa? Sepertinya Victoria tidak sadar dengan kedudukannya.
"Isabela, nggak ada yang salah dengan status sosialmu."
"Ah, benarkah? Berarti kamu juga menyadarinya," teriak Victoria berpura-pura gembira.
Afika mendengkus keras, melupakan sikap sopan santun. "Status sosial ditentukan bukan hanya dari lahir tapi juga pergaulan."
"Wah, ada teori baru ternyata. Baru tahu aku."
"Mungkin, kamu harus banyak bergaul."
"Jelas akan aku lakukan. Nggak usaha kuatir, Sebastian sudah berjanji akan membawaku lebih banyak bergaul."
Victoria menyadari kalau percakapan ini tidak ada artinya sama sekali. Sama seperti dirinya, Afika juga merasa kalau mereka sedang membahas omong kosong. Nyatanya kesombongan sebagai sesama perempuan yang membuat mereka enggan mengalah. Sebagai Isabela, Victoria tidak ingin direndahkan siapa pun.
Kehidupannya yang dulu memang jauh dari hingar bingar kehidupan kota, tidak pernah punya teman, apalagi bergaul dengan orang-orang kaya atau tingkat sosial tertentu. Bukan karena ia tidak punya uang, nama keluarganya pun cukup terkenal. Tapi, ia sibuk bekerja demi membantu sang kakek. Ada banyak kehidupan dari orang-orang yang bekerja di perkebunan menjadi tanggung jawabnya. Mendadak datang Afika yang berkoar-koar tentang status sosial, membuat Victoria sangat kesal.
Sebastian datang tepat waktu sebelum Victoria terlibat perdebatan lebih lanjut dengan Afika. Ia bisa saja kehilangan kendali untuk memukul perempuan itu, bila tidak dipaksa untuk tetap diam. Semenjak ia menjadi Isabela, orang-orang selalu menguji kesabarannya dan membuatnya nyaris gila.
"Kalian akrab sekali. Mengobrol apa saja?" tanya Sebastian. Menuju meja Victoria untuk mengusap rambut dan pipi. "Kamu belum makan siang."
Victoria meraih jemari Sebastian dan mengecupnya. "Aku menunggumu untuk makan bersama."
"Baiklah, setengah jam lagi."
"Oke."
"Kalau kamu lapar sekali, kita bisa makan sekarang."
"Santai saja, Sayang. Aku masih bisa menahan lapar."
Afika menatap kemesraan pasangan di depannya. Sebastian tanpa malu-malu menunjukkan kemesraan pada Victoria, begitu pula sebaliknya. Keduanya seolah tidak peduli dengan kehadirannya. Afika merasa kesal seketika. Hubungannya dengan Sebastian memang sudah berakhir tapi bukan berarti ia pantas diabaikan.
"Sebastian, dari aku datang kamu belum memelukku."
Perkataan Afika membuat Sebastian menoleh. "Halo, Afika. Mau makan siang bareng? Mumpung Isabela lagi enak makan. Biasanya sulit mencerna beragam makanan karena kecelakaan itu bikin nafsu makan turun."
Afika bangkit dari sofa, mendatangi Sebastian dan dengan sengaja mengusap lengannya yang kokoh.
"Kamu masih ingat apa makan siang kesukaanku?"
Sebastian mengernyit. "Salad."
"Benar sekali. Aku senang kamu mengingatnya, karena aku pun masih ingat apa makanan kesukaanmu. Sesuatu yang gurih, tidak suka manis, dan paling penting cukup kandungan proteinnya. Benar bukan?" Afika bertanya pada Sebastian dengan mata melirik ke arah Victoria. Bagaimana pun juga, hubungannya dengan Sebastian sudah terjalin sejak lama. Kehadiran Victoria hanya sebagai hiburan belaka.
"Wajar kalau Afika masih ingat makanan kesukaan Sebastian. Kalian dulu teman baik." Victoria menyela lembut, menutup laptop dan menghampiri Sebastian. "Sayang, bagaimana kalau kita makan siang sekarang?"
"Tentu saja, ayo. Afika, kamu bisa ikut kami kalau nggak sibuk."
Afika mengepalkan tangan, menatap Sebastian yang bergandengan tangan dengan Victoria. Untuk alasan yang sulit dijelaskan, ia merasa cemburu.
.
.
.
Di Karya karsa update bab 45
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top