Bab 12
Tidak peduli pada penolakan seisi rumah,Victoria yang didukung penuh oleh Sebastian, memutuskan untuk bekerja. Di hari pertama ke kantor, ia tampil modis dengan setelan abu-abu. Rambutnya yang sudah tumbuh hingga nyaris mencapai tengkuk dan dipotong model shaggy pendek, membuat Victoria terlihat anggun dan elegan. Tidak ada lagi kursi roda atau tongkat, ia sudah meninggalkan dia benda itu di rumah dan membuat orang-orang tercengang melihatnya.
"Kamu sudah bisa jalan?" tanya Uria dengan takjub.
Victoria mengangguk. "Sudah."
"Bukannya kemarin masih pakai tongkat?" jerit Julia bingung.
"Oh, aku sudah membuang tongkat itu. Kamu bisa ambil di gudang kalau butuh."
"Ba-gaimana bisa kamu sembuh dalam semalam?"
Victoria menyentuh dagu Julia dan mengedipkan sebelah mata. "Mau gimana lagi? Aku ini titisan super hero. Nggak aneh kalau recovery secara cepat. Ngomong-ngomong, Captain America sendiri yang melatihku."
Julia melotot, napasnya memburu karena kesal. "Kamu pikir aku anak kecil yang mudah kamu bohongi? Pasti selama ini kamu sudah sembuh bukan?"
"Ups, ketahuan. Gimana, dong?"
"Sialan! Gadis miskin nggak tahu diri."
Victoria dengan langkah perlahan mendekati Julia dan menyusap bahunya serasa berbisik. "Kamu lupa terus, Julia. Ingat, aku ini pewaris perusahaan. Justru kamulah yang miskin. Hidup menumpang pada keluarga dan nggak punya kerjaan!"
Julia menjerit-jerit seperti anak kecil sedang tantrum. Victoria meninggalkannya di ruang makan. Mengambil kotak bekal dari Nita dan bergegas ke mobil yang akan membawanya ke kantor.
Saat mobil yang membawa Victoria menjauh, Julia menatap Uria dengan pandangan berkaca-kaca.
"Gadis gembel itu sudah membohongi kita, Kak. Dia membodohi kita!"
"Tenangkan dirimu, Julia. Jangan mudah tersulut emosi."
"Aku kesal, Kaaak!"
"Aku pun sama, tapi harus tetap kontrol emosi. Gadis gembel itu suka mengerjaimu karena sikapmu yang pemarah. Rupanya selama ini kita dibodohi. Dia berpura-pura cacat padahal tidak sama sekali. Suamiku harus tahu soal ini!"
Uria meninggalkan ruang makan untuk menelepon suaminya yang sedang dalam perjalanan ke kantor. Hati Uria marah karena kebohongan Victoria. Tidak ingin suaminya mengalamo hal sama dengannya. Berbuat dan bersikap bodoh di hadapan Victoria.
"Isabela, mulai kapan kamu berubah menjadi cerdik dan pintar?" gumam Uria dengan ponsel di tangan. Menggumamkan semua keheranannya akan sikap Victoria yang disangkanya Isabela.
**
Sebastian menyambut kedatangan Victoria dengan senyum terkembang. Sangat terkesan melihat penampilan kekasihnya yang elegan dan modis. Ia membawa Victoria ke ruangan yang sudah disediakan dan memberikan sedikit gambaran tentang pekerjaan. Di luar dugaan, Victoria ternyata sudah banyak belajar dan cepat mengerti apa yang diuraikannya.
"Selama masa penyembuhan, untuk menghilangkan bosan aku membaca dokumen perusahaan di meja Papa. Mempelajari satu per satu sampai akhirnya sedikit mengerti tentang beberapa hal."
"Hebat sekali," puji Sebastian. "Aku nggak perlu repot-repot mengajarimu dari dasar."
Sisa hari itu, dihabiskan Victoria dengan mempelajari cara kerja perusahaan secara langsung. Ia juga bertemu dengan sekretaris Sebastian. Seorang perepuan berumur awal tiga puluh dengan wajah serius, nada bicara tegas, dan gerakan yang cepat. Tidak pernah ada senyum dari bibir perempuan itu. Terlihat sangat terganggu dengan adanya Victoria. Saat Sebastian meminta sekretarisnya yang bernama Tunia untuk membantu Victoria, wajah perempuan itu berubah menjadi ungu dan jelek sekali.
"Aku heran, kenapa Tuan sangat sabar padamu. Padahal, kamu perempuan bodoh!"
Victoria tercengang mendengar penghinaan secara terang-terangan dari anak buah Sebastian. Padahal seharusnya Tunai menaruh hormat padanya sebagai pimpinan.
"Kamu lebih cocok jadi pembantu Tuan Sebastian dari pada tunangannya. Sungguh, kalian nggak cocok satu sama lain!"
Victoria mengerti, kenapa Isabela menangis saat pulang dari kantor. Dengan sikap dan pembawaan Isabela yang lembut, berhadapan dengan Tunia yang kasar dan bermulut tajam tentu saja akan kalah. Namun dirinya bukan Isabela dan Tunia harus tahu sedang berhadapan dengan siapa.
"Tunia, mendekatlah. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu."
Tunia yang sedang merapikan dokumen di rak enggan untuk mendekat. "Aku sibuk!"
Victoria tetap tersenyum. "Datang saja sebentar. Ada sesuatu yang aku nggak ngerti. Sebastian bilang, kamu paling pandai di kantor ini dan kalau ada apa-apa harus tanya kamu."
Tunia menoleh dengan wajah berseri-seri. "Apa benar, Tuan Sebastian berkata begitu?"
"Tentu saja. Mana berani aku bohong kalau soal Sebastian."
Mengangkat kepala dan berjalan dengan dada terkembang karena rasa bangga, Tunia menghampiri meja Victoria.
"Ada apa? Mana yang kamu nggak paham?"
Tanpa diduga Victoria bangkit, mencengkeram leher blus Tunia dengan ketat dan menarik kepalanya hingga menyentuh meja.
"Aduuh, sa-kiit. Lepaskaan!"
Victoria mengubah posisi tangan dan kini menekan kepala Tunia di permukaan meja. Ia berbisik dengan tegas dan tanpa basa-basi.
"Kamu hanya sekretaris, digaji oleh tunangannku tapi sikapmu mengalahkan boss. Tunia, harusnya kamu sadar diri! Berani-beraninya kamu menghinaku!"
"Le-paskan aku!" Tunai ingin berkelit tapi sulit. Victoria yang dulu biasa mengepak buah dalam jumlah banyak. Sering mengangkat buah-buahan dalam peti, dan juga akhir-akhir ini berlatih otot, membuat tenaganya menjadi sangat kuat.
"Aku akan melepaskanmu, karena malas untukku berurusan dengan perempuan bermulut kejam sepertimu. Tapi, aku ingatkan sekali lagi, di sini akulah bossnya. Isabela adalah pewaris sah dan sekretaris macam kamu berani menghinaku?"
Victoria mengangkat tangannya dari kepala Tunia. Perempuan itu buru-buru menegakkan tubuh dengan sedikit goyah. Melotot pada Victoria dengan tatapan tidak percaya.
"Aku bisa lihat kalau kamu bingung. Memang sebelumnya aku akui, takut padamu tapi sekarang nggak lagi. Kalau kamu berani berbuat kurang ajar seperti itu tadi, jangan salahkan aku kalau sampai memohon pada Sebastian untuk memecatmu!"
Tunia menggeleng dengan mata basah. "Kamu nggak akan berani."
"Oh, ya, jelas aku berani. Mau coba?"
Pintu ruangan membuka, secara kebetulan Sebastian muncul. Wajahnya menyiratkan tanya saat melihat Tunia berdiri gugup di meja Victoria dengan rambut acak-acakan.
"Isabela, apakah Tunia melakukan semuanya dengan baik?"
Victoria bangkit dari meja, menghampiri Sebastian dan masuk dalam pelukannya. Kemesraan yang ditujukan untuk Tunia dan membuat Sebastian keheranan.
"Sayang, kata Tunia dia terlalu sibuk kalau harus mengajariku. Bagaimana kalau kita cari orang lain untuk mengajariku?" pinta Victoria dengan suara dibuat selembut mungkin. Jemarinya mengusap pinggang Sebastian, dengan kepala nyaris bersandar di bahu.
Tunia menggeleng cepat. "Tidaak, itu tidak benar. Maksud saya, Tuan. Memang saya sangat sibuk tapi tetap ada waktu mengajar Miss Isabela."
Sebastian menggeleng. "Kamu salah sangka Tunia. Aku tidak memintamu mengajar tunanganku tapi membantunya."
Tunia meneguk ludah dengan gugup dan takut. "Maafkan saya, Tuan."
"Kalau kamu memang bisa membantu Isabela, aku akan senang. Seandainya nggak bisa, bilang saja dan aku akan mencari orang lain."
Dengan terbata-bata, Tunia mengucapkan janji akan membantu Victoria. Setelah sekretaris itu pergi, Sebastian menatap Victoria lekat-lekat. Jemari lembut yang tadinua meraba pingganya kini terhenti. Sebastina enggan melepaskan pelukan, meraup tubuh Victoria dan mendekapnya dengan erat.
"Apa yang sedang kamu lakukan, Isabela?"
Victoria bergerak gugup dalam dekapan Sebastian. "Aku kenapa?"
"Sengaja memamerkan kemesraan. Apa yang sudah dilakukan Tunia padamu?"
"Nggak ada apa-apa. Kamu salah paham."
"Benarkah? Apakah aku salah paham juga saat mendengar debur dadamu sekarang?"
Sebastian tidak salah, saat ini jantung Victoria berdetak lebih kencang dari seharusnya. Aroma tubuh yang maskulin dan menyenangkan, bahu yang kokoh, serta pelukan yang hangat dan erat, membuat dada Victoria berdebar hebat.
"Sebastian, tolong lepaskan aku."
Sebastian melonggarkan pelukan tapi tidak melepasakn Victoria. Ia tersenyum melihat wajah cantik yang memerah dan juga sedang salah tingkah. Jemarinya mengusap pipi, dagu, dan bibir.
"Isabela, aku nggak tahan lagi."
Victoria mengedip bingung. "Maksudmu apa?"
"Aku ingin menunggu sampai kamu benar-benar menerimaku tapi aku nggak tahan lagi ingin menciummu."
Tanpa aba-aba, Sebastian mengusap bibir Victoria lalu menciumnya. Awalnya hanya kecupan lalu berubah menjadi ciuman yang dalam. Sebastian mengulum, memagut, dan merasakan kelembutan dari bibir Victoria. Tidak ingin terburu-buru melepaskan diri karena bibir basah milik perempuan dalam pelukannya membuatnya candu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top