Bab 10

Semenjak peristiwa di taman, Julia tidak lagi coba-coba untuk mencelakakan Victoria. Namun, tetap bersikap sinis dan kurang ajar. Sering memaki secara terang-terangan dan memancing emosi Victoria. Demi keberhasilaa rencananya, Victoria menahan diri untuk tidak memukul mulut gadis itu. Ia bisa saja melakukannya dan akan sangat memuaskan melihat Julia terdiam. Untuk sekarang ini, keributan bukan hal yang diinginkannya. Ia lebih suka mengamati dalam diam.

Dengan alasan ingin berlatih berjalan, Victoria meminta Nita memindahkan treadmill ke kamar, berikut alat-alat terapi dan olah raga yang lain. Ia ingin melatih kebugaran tubuh secara diam-diam tanpa diketahui keluarga ini. Mereka hanya perlu tahu kalau kakinya masih sakit dan belum bisa berjalan sempurna. Tidak perlu tahu hal lain. Dibantu Nita, Victoria berolah raga, memastikan kalau kakinya sudah sembuh dari cidera.

"Miss, besok waktunya ke dokter untuk memeriksa rambut."

Victoria mengangguk. "Bagus, aku ingin keluar. Rasanya sesak sekali terus menerus di rumah ini. Nita, apakah aku bisa menyetir?"

Nita mengangguk. "Iya, Miss. Anda belajar menyetir dan mendapatkan sim."

Selama masa penyembuhan, Victoria secara khusus meminta Nita memasak makanan bergizi untuknya dan memasukkan ke dalam kamar. Ia tidak bisa makan dengan tenang saat bersama Putri dan anak-anaknya. Mereka selalu mencela, membuat makanan yang masuk ke mulutnya terasa hambar.

"Apakah aku dulu punya hobi khusus?"

Nita berpikir sesaat. "Nggak ada, Miss. Anda hanya suka membaca novel dan bercita-cita menjadi guru."

"Kamu yakin?" Victoria tidak ingin kehilangan informasi sekecil apa pun tentang Isabela.

"Yakin, Miss. Saya juga sudah tanya pada pelayan lain, apakah Miss punya permintaan khusus untuk makanan dan minuman. Semua pelayan mengatakan Miss Isabela tidak pernah pilih-pilih soal makanan."

Victoria mendesah, berpura-pura memijat keningnya. "Aku hanya takut kalau lupa tentang masa lalu secara permanen. Aku ingin sekali ingat soal almarhum Papa dan Mama."

"Miss, jangan sedih. Anda pasti ingat lagi semuanya. Pelan-pelan saja ingatnya."

Itu adalah hal yang tidak mungkin dan tidak akan pernah terjadi. Bagaimana Victoria bisa membawa ingatan orang lain? Sebelum pembunuh Isabela diketahui, ia harus tetap dalam penyamaran.

"Semoga saja begitu. Tolong ambilkan kertas lagi. Aku harus belajar tanda tangan."

Untungnya Nita tidak curiga saat Victoria mengatakan kalau lupa cara tanda tangan. Nita mengeluarkan beberapa contoh tanda tangan Isabela, dan Victoria dengan tekun mempelajarinya sampai mirip. Isabela adalah gadis yang sederhana, tanda tangannya pun tidak rumit. Gadis yang baik dan lembut, jiwanya musnah karena keserakahan orang-orang.

Saat sembuh nanti, Victoria berniat masuk kantor dan belajar tentang jasa pengiriman dari Sebastian. Ia tidak akan membiarkan otaknya lumpuh karena tidak digunakan untuk berpikir. Selagi bisa membantu, ingin membuat perusahaan jasa milik Isabela menjadi lebih maju dari sekarang.

"Ngapain kamu ke kantor? Mau merepotkan Sebastian?" cela Putri saat mendengar niat Victoria yang ingin bekerja. "Kamu ini cuma gadis kampung. Memang kamu punya pendidikan tinggi, sarjana pula tapi dari kampus murah dan jelek. Mana mungkin kamu bisa bekerja dan membantu Sebastian? Yang ada kamu malah membebaninya."

"Benar, Ma. Bikin repot orang aja. Kak Sebastian itu sibuk banget, tahu!" Julia ikut mencela.

Victoria tidak menanggapi mereka, sibuk mengunyah makanan dan memikirkan cara untuk menambah berat badannya yang menyusut. Bisa jadi ia kurus bukan karena kurang makan tapi karena tekanan batin. Tinggal bersama orang-orang berlidah tajam. Victoria mengeluh dalam hati, karena di mana pun tinggalnya tetap saja bertemu dengan perempuan yang suka mencela.

"Isabela, memangnya kamu mau belajar apa di kantor?"

Kali ini Haland yang bertanya. Victoria menatap laki-laki tua yang selama ini selalu diam terhadap apa pun siatuasinya. Haland yang memilih untuk tidak peduli dengan sikap istri dan anak-anaknya, mendadak menunjukkan rasa tertarik.

"Belajar banyak hal seperti yang diinginkan papaku."

"Kamu lupa, pernah belajar di kantor dan kamu pulang dalam keadaan menangis?"

Victoria menatap Haland lekat-lekat. "Benarkah?"

"Hah, tentu saja kamu lupa. Saat itu, kamu menyalahkan sekretaris Sebastian yang katamu sangat keras dalam mengajar." Josep ikut bicara. "Jangan macam-macam Isabela. Kamu cukup di rumah, fokus kesehatan saja. Syukur-syukur kalau bisa jalan lagi."

"Isabela, yang dikatakan Papa dan suamiku benar. Nggak seharusnya kamu ke kantor. Bukan kami nggak percaya sama kamu tapi urusan perusahaan kamu tahu apa? Memang tercatat di warisan kalau kamu pemilik perusahaan, tapi cukup Orion saja yang mewakilimu. Kenapa kamu harus ikutan juga?" Uria mengoceh panjang lebar.

Victoria mengambil satu potong ikan goreng, memastikan tidak ada duri sebelum melahapnya. Ia menyimpan kata dalam hati, semakin banyak yang menentang, semakin besar keinginan untuk bekerja.

"Nah itu dia. Ada Orion, kenapa nggak serahkan sama dia saja?"

Pertanyaan Putri membuat Victoria berpikir keras tentang Orion. Seorang saudara angkat, meskipun tidak akrab biasanya masih berkirim kabar. Entah lewat pesan atau panggilan tapi selama Victoria di rumah ini, tidak ada kabar dari Orion sama sekali. Apa yang terjadi sebenarnya? Teringat sesuatu membuat Victoria memaki diri sendiri. Ia tidak punya ponsel, bagaimana Orion bisa menghubunginya? Victoria mencatat dalam hati ingin membeli ponsel baru saat Sebastian datang.

"Isabela, kenapa kamu diam saja? Ngerti nggak yang dikatakan mamaku?" bentak Julia.

"Ngerti, aku nggak bodoh!" jawab Victoria ketus.

"Oh ya, kamu nggak bodoh? Tapi keras kepala."

"Bukannya kamu juga sama? Terus-terusan ingin membuatku celaka. Awas saja kalau diulang."

Julia membanting sendok ke piring hingga menimbulkan bunyi gelontang cukup keras. Melotot ke arah Victoria yang menandaskan ikan.

"Kamu mengancamku? Kamu berani padaku?"

Victoria bangkit dari kursi. "Aku sudah kenyang. Mau masuk ke kamar dulu."

"Eh, Gadis Miskin! Aku belum selesai bicara denganmu!"

"Aku sudah selesai. Ngomong-ngomong soal gadis miskin. Ingat, ya, Julia. Di warisan tertulis perusahaan atas namaku. Bagaimana bisa aku miskin? Aneh sekali julukan itu."

"Kamu—"

"Aku peringatkan sekali lagi. Berani menyentuhku awas aja kalau aku mukul balik!"

"Mamaa! Lihat dia, Maa! Kurang ajaaar!"

Julia meraung, Victoria tidak peduli padanya. Ia melangkah tertatih menopang kaki dengan tongkat. Nita mengikuti dari belakang.

"Si pincang kurang ajar!" maki Josep kejam. "Bisa-bisanya dia bertingkah."

"Tenang saja kalian. Dia sedang merasa jadi Nona Muda." Putri menenangkan anak-anaknya.

Uria terdiam, mengamati sosok Victoria yang menghilang di ruang tengah dan masuk ke kamar. Ia melihat suaminya mengomel, Julia merajuk, dan Putri sangat geram. Siapa pun yang ada di rumah ini sedang kesal dengan Victoria. Namun, tidak ada satupun yang berani mengusir atau akan berhadapan dengan Sebastian. Dengan terpaksa mereka menelan kekesalan.

Sampai di kamar, Victoria melemparkan tongkat ke atas ranjang dan menghenyakkan diri di kursi. Mulai membuka dokumen dan mempelajarinya. Nita menyeduh teh hangat dan meletakan di samping meja. Untuk sesaat tidak ada percakapan, Nita merapikan lemari dan menyusun isinya sedangkan Victoria mempelajari dokumen. Semakin besar tekanan untuknya agar tidak bekerja, semakin kuat tekadnya. Keluarga Haland tidak akan menghalanginya membantu Isabela.

Keesokan harinya Victoria ke rumah sakit diantar sopir untuk melakukan pemeriksaan tubuh dan rambut. Secara perlahan rambutnya mulai tumbuh dengan lebat. Dokter juga mengatakan kalau dirinya sudah pulih. Hanya perlu membuka ingatan lama.

"Sering-seringlah mengobrol dengan keluarga atau teman, agar ingatanmu cepat pulih."

Victoria mengeluh dalam hati, bagaimana bisa mengobrol dengan keluarga di rumah kalau setiap saat yang diinginkan mereka adalah menyingkirkannya. Selepas pemeriksaan,. Victoria berjalan-jalan di lobi rumah sakit. Dengan tongkat di tangan hanya sebagai aksesoris belaka. Ia sedang mempertimbangkan untuk mengambil uang di bank saat teringat kalau tidak punya tabungan.

"Isabela, kamu ingin beli apa?"

Suara teguran membuat Isabela menoleh, menatap Sebastian dengan senyum terkulum. "Hai, kamu kenapa di sini?"

Sebastian mengangkat sebelah alis. "Menjemputmu tentu saja. Apa lagi?"

"Oh, benarkah? Aku lupa kalau kamu mau menjemputku."

Untuk sesaat mereka saling bertatapan di antara orang-orang yang berlalu lalang. Senyum Victoria perlahan memudar saat menyadari betapa tajam tatapan Sebastian tertuju padanya dan membuat dadanya berdebar tidak nyaman.
.
.
Bab baru di Karyakarsa hari ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top