DP 3


"Apa kau tahu tentang film TITANIC?" tanya Karen di saat makan malam di rumah Angel yang berada di belakang toko bunga. Bukan di belakang, mungkin lebih tepat jika dikatakan menjadi satu. Bagian depan berfungsi sebagai toko dan sisanya sebagai tempat tinggal.

Angel tinggal sendiri di rumah tersebut. Ibunya meninggal lima tahun yang lalu sedangkan sang ayah hilang saat berlaut untuk mencari ikan. Dan tidak pernah ada kabar beritanya sampai sekarang. Waktu sang ayah hilang, Angel masih berumur sepuluh tahun. Sedangkan sekarang, dia berumur duapuluh lima tahun.

Angel menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Karen.

"Astaga, Angela dos Santos, kau tidak tahu dengan film yang sangat terkenal di dunia?" Karen menepuk keningnya sendiri.

"Kau tahu, aku buta, 'kan?"

"Lalu?" tanya Karen bingung.

"Untuk apa orang buta melihat film, bukannya itu terlihat sangat konyol."

Karen menarik napas, menyesal. "Ups, sorry."

Kadang-kadang Karen memperlakukan Angel seperti manusia normal pada umumnya. Itu dikarenakan Angel yang sangat mandiri. Bisa mengurus semuanya sendiri, kecuali memasak di atas kompor. Angel pernah hampir membakar seluruh rumah akibat dia ingin membuat pasta. Selain itu kedua tangannya juga terkena luka bakar hampir limapuluh persen. Sejak saat itu tidak ada lagi kompor di dapur rumahnya, jika dia lapar, cukup dengan membeli makanan atau menyetok roti dan buah-buahan di rumah tanpa harus repot memasak.

"Memang kenapa dengan film itu?" tanya Angel. Tanpa melihat, Angel tahu jika Karen merasa bersalah padanya. Angel ingin mencairkan suasana dengan bertanya.

"Bukan apa-apa hanya sebuah film lama yang terkenal."

"Oh, ayolah," pinta Angel. Tangannya meletakkan garpu yang dia pegang dan meraba meja hingga menemukan tangan Karen.

"Lupakan saja. Tidak terlalu menarik."

Angel tersenyum. Melepaskan tangannya pada tangan Karen kemudian mengambil garpunya kembali. 

"Kau tahu, ibuku dulu sering menceritakan sebuah dongeng sebelum tidur ketika aku masih kecil. Dan aku sering membayangkannya. Tapi, beliau jarang bercerita lagi ketika ayah pergi dan tak kunjung kembali."

Karen menatap iba pada Angel. Dia tahu kisah sedih sahabatnya itu. Dengan keadaan yang tidak sempurna sejak lahir, bahkan sekarang juga sudah tidak punya siapa-siapa lagi.

"Jadi, maukah kau menceritakan tentang film apa tadi, Ti ...?"

"Titanic."

"Ya, itu."

Karen menarik napas kemudian membuangnya. "Baiklah, aku akan menceritakan film itu, tapi sebenarnya aku hanya ingin mengatakan satu adegan yang sangat menarik."

"Apa itu?" tanya Angel penasaran.

"Tunggu sebentar. Habiskan dulu makan malam kita dan pindah ke ranjang, oke?"

Angel mengangguk setuju. 


*****

Setelah makan malam selesai dan sedikit beres-beres, mereka akhirnya pindah ke kamar. Keduanya berbaring di ranjang Angel. Sepertinya, malam ini Karen harus menginap di rumah Angel. Karen tidak tinggal bersama Angel, hanya sesekali menginap saja. Rumah Karen sendiri tidak terlalu jauh hanya berjarak dua rumah saja. Orang tua Karen masih hidup semua. Tidak seperti Angel yang hanya anak tunggal, Karen memiliki seorang adik laki-laki berumur sebelas tahun, selisih empat belas tahun dengan Karen.

"Baiklah, bisa kita mulai dongeng sebelum tidurnya, Nona?" tanya Karen sedikit menggoda.

"Ehm ...." Angel mengangguk dengan antusias.

"Film Titanic itu diliris sekitar tahun 1997, kira-kira saat aku berumur tiga tahun, tapi jangan membayangkan aku menonton film itu sambil mengenakan popok, ya?" 

Angel tertawa kecil, tapi tetap lanjut untuk mendengarkan.

"Tapi, sebelumnya banyak film serupa yang sudah diliris. Namun, film yang dibintangi Leonardo Dicaprio dan Kate Winslet ini yang sangat laris dan mendapat banyak sekali nominasi. Bahkan sempat dinobatkan sebagai film terbaik sepanjang masa."

"Wah, pasti sangat menarik filmnya," ujar Angel mulai tertarik.

"Sangat menarik. Aku menonton film itu saat sekolah menengah pertama. Awal liburan musim panas."

"Kau masih mengingat semua?" tanya Angel.

"Tentu saja karena film itu sangat-sangat berkesan."

"Baiklah, lanjutkan ceritamu."

"Ini adalah film yang mampu menghipnotis para penonton karena film ini terinspirasi dari kisah nyata yaitu tenggelamnya kapal Titanic pada tahun 1912. Wah, ternyata aku bisa ingat juga tentang sejarah," seloroh Karen bangga.

Angel seperti dibawa ke masa lalu di mana sang ayah yang hilang saat pergi melaut. Bagaimana ibunya harus pindah dari rumah pinggir pelabuhan karena tidak ingin ingat tentang kejadian tersebut. Dan sejak saat itu ibunya tidak pernah lagi pergi ke laut atau pelabuhan. Hingga usia Angel dua belas tahun, dia baru mengerti kejadian tersebut.

"Angel ...?"

"Ya." Angel sedikit terlonjak karena bahunya disentuh oleh Karen.

"Apa kau mendengarku?"

"Ya, aku dengar."

Karen menarik napas, malanjutkan ceritanya. "Jack dan Rose bertemu di kapal itu."

"Siapa Jack dan Rose?" tanya Angel memotong cerita Karen. Sepertinya, dia melewatkan bagian sebelumnya.

"Kau tidak mendengarku?" tanya Karen terlihat kesal.

"Maaf."

"Baiklah-baiklah, aku akan ceritakan lagi. Dengarkan, ya?" Karen menarik napas sebelum memulai. "Jack adalah seorang penjudi yang beruntung memenangkan tiket untuk naik ke kapal Titanic dan Rose adalah wanita keturunan bangsawan yang sudah dijodohkan dengan seorang laki-laki kaya raya."

"Lalu?"

"Kehidupan Rose yang kaku dan penuh dengan peraturan membuatnya ingin mengakhiri hidup alias bunuh diri dengan melompat ke laut dan Jack tanpa sengaja mengetahui hal itu. Dia berhasil menghalanginya, dari sini awal mereka menjalin sebuah hubungan persahabatan. Tapi, kau tahu, tidak akan pernah ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan."

"Kenapa begitu?" tanya Angel tidak mengerti.

"Ya, karena salah satu dari mereka pasti punya perasaan suka, jadi tidak bisa dikatakan persahabatan yang murni," jelas Karen.

Angel membayangkan setiap kejadian yang diceritakan oleh Karen. Walaupun mungkin bukan dalam bayangan orang normal pada umumnya. Angel punya cara sendiri untuk membayangkan sesuatu.

"Rose itu sangat cantik. Waktu itu pakaian yang mereka kenakan tidak sesimpel sekarang."

"Seperti apa?" tanya Angel karena dia ingin bisa membayangkan dengan imajinasinya sendiri.

"Pakaian abad pertengahan itu seperti gaun dengan rok besar, tapi sebelum mengenakannya, setiap wanita wajib memakai korset tali yang diikat sangat kuat dari punggung sampai pinggang. Aw, membayangkan saja sudah hampir patah rasanya pinggangku dan sesak napas," seloroh Karen sambil mengibaskan tangannya di udara.

Angel tertawa kecil. Karen memang selalu bisa membuatnya tertawa. Gadis itu selalu ada untuknya. Menghiburnya di saat sedih dan tertawa bersama saat berbahagia.

"Apa separah itu?" tanya Angel.

"Bayangkan saja, kau harus diikat tali seharian, apakah kau sanggup?" tanya Karen dengan berapi-api.

"Apa seperti memakai ikat pinggang?" tanya Angel polos.

"Tidak, Angel." 

"Lalu seperti apa? Aku tidak pernah tahu apa itu korset tali."

"Apakah ibumu tidak pernah menggunakannya?" tanya Karen. Kali ini dengan gestur badan menyamping sambil menopang kepalanya menggunakan tangan sebelah kanan. Menghadap pada Angel.

Angel menggeleng. "Mungkin tidak."

"Baiklah, besok kalau aku pergi ke toko, akan kubelikan kau satu dan kuikatkan biar kau tahu bagaimana rasanya," ujar Karen sambil menggelitik perut Angel.

Angel tertawa keras karena geli. "Sudah. Hentikan."

Karen menghentikan gelitikannya dan kembali berbaring. "Dari sekian adegan, ada satu adegan yang paling kusuka."

"Apa itu?" tanya Angel penasaran.

"Adegan saat Rose dilukis oleh Jack."

Kening Angel saling bertaut. "Jack bisa melukis?" tanyanya.

"Ya. Jack itu pelukis jalanan. Sering berpindah-pindah."

"Oh."

"Dan Rose meminta Jack melukisnya, hanya dengan mengenakan kalung berlian dengan bandul hati berwarna biru."

"Maksudnya?" tanya Angel kurang mengerti.

"Astaga, Angel. Maksudnya adalah telanjang. TE-LAN-JANG." Karen menekankan kata terakhir agar Angel cepat mengerti.

"Oh, astaga." Angel menutup wajahnya dengan tangan karena malu.

"Iya, telanjang hanya dengan sebuah kalung berlian berbentuk hati yang besar, mugkin sebesar ini." Karen menggambar sebuah bentuk hati di telapak tangan Angel.

"Besar sekali."

"Iya, memang besar."

"Lalu?"

"Mereka saling jatuh cinta, tapi diketahui oleh tunangan Rose dan secara bersamaan tragedi kapal Titanic terjadi. Kapal besar itu menabrak bongkahan es besar di tengah Samudera Atlantik dan akhirnya tenggelam."

"Lalu bagaimana dengan Rose dan Jack."

"Jack meninggal karena kedinginan, sedangkan Rose selamat."

"Sungguh tragis," gumam Angel sedih.

"Ya, begitulah. Kisah cinta memang tidak selamanya indah."

Angel terdiam. Dia tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta pada lawan jenis. Lagi pula, laki-laki mana yang mau pada wanita buta seperti dirinya.

"Oh ya, ngomong-ngomong tentang pelukis, bukannya pelukis yang baru pindah itu juga melukis wanita telanjang?" 

"Lalu?"Dahi Angel mengernyit.

"Bagiamana jika kau minta dilukis seperti Rose?" goda Karen.

"Apa?! Kau gila!" seru Angel kemudian menutup seluruh wajahnya menggunakan selimut.

"Aku tidak gila. Ayolah," goda Karen sambil menggoyang-goyangkan tubuh Angel.

"Aku tidak mau," jawab Angel dari balik selimut.

"Ah, kau payah. Andai saja Hendrik mengijinkan, aku pasti akan melakukannya."

"Apa kau sudah gila?" Angel berteriak sambil membuka selimutnya.

"Sekali-kali, dalam hidup kita harus melakukan hal gila seperti yang Rose lakukan. Dilukis oleh Jack adalah momen yang tidak pernah dilupakan oleh Rose sampai dia menua."

Setelah mengucapkan kalimat tersebut Karen memeluk Angel dan memejamkan mata. Sedangkan Angel mulai memikirkan perkataan Karen, tapi buru-buru dia menggeleng dan memejamkan mata. Semoga dengan tidur otaknya akan kembali waras. 

***

Hallo readers yang saya sayangi dan cintai.

Apa kabar? Semoga semua baik-baik saja dan sehat selalu. Maaf lama hiatus karena sibuk di dunia nyata.

Saya akan mulai melanjutkan cerita ini. Jadi, minta doa dan semangatnya untuk terus bisa menulis.

PELUK CIUM 

VEA APRILIA

13 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top