Teman Lama

Caca Margaretha hanya gadis biasa, di umur 19 tahun dia harus menjadi anak yatim piatu
karena kecelakaan yang merenggut nyawa orang tuanya. Dia punya janji pada mereka kalau
Caca sudah bekerja maka Caca akan membelikan sebuah rumah di pegunungan agar mereka
bisa menghabiskan masa tua berdua.

Tapi sayangnya waktu tak mengizinkan niat baiknya.
Bertahun-tahun Caca hidup sendiri berbekal uang warisan yang tak seberapa. Kadang sekali
dua bulan keluarga ibunya akan datang dan memberi Caca sedikit uang. Lalu beberapa
minggu yang lalu ia melamar kerja di sebuah perusahaan besar setelah ditolak begitu saja di
tempat lain. Akhirnya Caca dapat membuktikan dirinya bahwa ia mampu mendapatkan
posisi tinggi di perusahaan milik orang terkaya di Indonesia itu.

Hidup Caca berangsur-angsur membaik karena gajinya yang tinggi. Tetapi itu hanya
bertahan satu minggu. Suatu hari Arnold mengklaim dengan sepihak bahwa Caca adalah
kekasihnya. Mulai saat itu dunianya seakan dijungkir-balikkan.

Arnold ternyata pria bermuka dua. Di awal ia memperlakukan Caca bak tuan putri, diberi
kesenangan yang hampir saja membuatnya jatuh dalam perangkap tak kasar mata yang
dibuat Arnold. Sifat posesifnya membuat Caca tidak nyaman sekaligus merasa diperhatikan.
Dan puncaknya adalah satu bulan yang lalu, ketika satu insiden yang tidak akan terlupakan
oleh Caca seumur hidupnya. Malam itu, malam dimana Arnold menghancurkan dunianya.
Membuat Caca malu pada orang tuanya yang mungkin sedih melihat anaknya tak berdaya di
bawah kuasa seorang pria arogan.

"Huft.."

Caca mengadu pada dirinya sendiri. Sekarang setelah satu bulan ia menghilang, Caca seperti
tidak memiliki semangat apapun. Ia hanya menggantungkan hidupnya pada Meme, adik
bungsu almarhum ibunya. Sudah satu bulan ini pula ia sering mendapat panggilan dari
Arnold. Namun Caca mengabaikannya. Tidak berhenti di situ, Arnold mengirimkannya
pesan-pesan mengancam. Menyebut akan membunuh gadis itu jika ia tidak kembali dalam
waktu 1 minggu. Tetapi sekarang Caca masih baik-baik saja, ia masih bisa menghirup udara
segar di pedesaan.

"Ca, tante udah masak makan siang. Kamu gak makan?"

Ia menghapus sisa air matanya, lalu berdiri. Caca berusaha menguatkan diri. Berbagai pesan
ancaman itu sengaja tidak diberitahunya pada Meme karena ia tidak ingin melibatkan
wanita paruh baya itu dalam masalahnya. Diterima di rumah ini saja ia sudah syukur, jangan
sampai ia jadi anak tidak tahu diuntung.

"Iya, tante. Caca cuci muka dulu," jawab Caca sambil berusaha menyembunyikan suara
seraknya. Ia berjalan ke kamar mandi dan membasuh wajah dengan air dingin. Ditatapnya
pantulan dirinya di cermin, miris sekali. Kenapa Arnold begitu inginnya menjadikan Caca
sebagai kekasihnya, ia bahkan mengabaikan fakta bahwa Emily adalah calon istrinya.

"Brengsek. Aku akan balas dendam." Tekad Caca begitu besar untuk membalaskan rasa sakit
hatinya pada pria itu.

"Tan, Caca mau ke kota."

Meme berhenti menyuapkan nasi ke mulutnya. Rahma, anak sematawayangnya juga ikut
menatap Caca. "Lho, bukannya kamu mau kerja di sini saja?"

Caca memberikan senyum kecilnya dan menggeleng pelan. "Ada temen yang nawarin Caca
kerja, tante. Caca juga gak mau ninggalin rumah lama-lama. Nanti malah dikira rumah
hantu."

Caca mencoba bergurau di akhir kalimatnya, tetapi tidak ada yang tertawa. Yah, garing.
Meme memandangnya iba, begitu juga Rahma. "Berarti Rahma udah gak ada temen lagi
ya?" ucap gadis yang masih duduk di bangku kelas 3 SMA itu dengan lesu. Ia memberi
tatapan memohon pada Caca agar mau tinggal di sini selamanya. Tetapi Caca harus
menyelesaikan urusannya. Ia berjanji akan kembali lagi setelah semuanya clear.

"Nanti kalau aku ada waktu senggang, pasti ke sini kok."

"Ya sudah, tante juga gak bisa mengganggu keputusan kamu. Tante hanya berharap kamu
bisa jaga diri baik-baik, jaga kesehatan kamu." Meme menggenggam tangan Caca. Rasa
hangat menyelimuti Caca begitu Meme memperhatikannya layaknya anak sendiri. Kebaikan
Meme mengingatkannya pada sosok ibu yang telah lama berpulang.

"Iyah, Caca bakal jaga diri baik-baik. Tante sama Rahma juga ya, kalau ada apa-apa telpon
aja Caca."

"Kamu ini. Harusnya tante yang ngomong kaya gitu. Yaudah, yuk dilanjutin makannya. Kamu
kan harus berkemas."

Caca mengangguk, ia menghabiskan makanannya dan mengemas barang-barang yang tidak
seberapa. Caca hanya membawa beberapa helai pakaian dan perlengkapan sehari-hari. Satu
jam berikutnya Caca sudah berada di mobil menuju kota kelahirannya.

***

"Ca, lo dimana sih? Gue udah berlumut nih nunggu."Celotehan dari orang di seberang membuat Caca terkikik pelan.

"Iya nih aku baru sampai. Kamu dimana?"

"Sini. Gue di sini."

Caca menoleh kiri kanan, dan menangkap seorang wanita seumuran dengannya yang tengah
melambaikan tangan, menyuruh Caca ke sana. "Oke oke. Otw," balasnya singkat.
Sambungan telepon dimatikan dan Caca berlari menuju meja di sudut kafe.

"Tas lo mana? Kok balik dari desa gak bawa apa-apa?" tanya Brenda menatap Caca bingung.
Brenda adalah teman masa SMA Caca yang hingga kini masih menjalin hubungan baik
dengannya. Bahkan perempuan keturunan Belanda itu bersedia mencarikan pekerjaan
untuk Caca.

"Di rumah, aku tadi mampir dulu. Berat soalnya."

"Oooh. Kita mulai aja nih?"

"Hmm." Caca mengangguk dan bersiap mendengar penuturan Brenda.

"Lo kan tau bokap gue punya bisnis multimedia di sini. Jadi sekarang dia lagi butuh asisten
pribadi buat nemenin dia kerja. Jadi nanti lo cuma ngikutin ke mana di pergi, trus bawain
barang-barangnya. Kalau lagi beruntung, lo bisa ikut makan mewah di restoran bintang
lima," ujar Brenda dengan semangat. Ia memang terlahir dari keluarga berada, tetapi Brenda adalah wanita rendah hati dan penolong. Itu lah sebabnya ia mau membantu Caca
mencari pekerjaan.

"Um, memangnya sebelum ini papa kamu gak punya asisten?"

"Ya, punya sih. Tapi dia mau nikah, dan suaminya gak ijinin dia kerja. Lo keberatan ya?"

"Hah? Enggak kok, enggak. Aku pikir aku kerja di bagian apa kek gitu. Ternyata jadi asisten
pribadi, hehe."

"Jadi, gimana? Lo nerima nih? Kalau iya, gue langsung telpon bokap, supaya gak cari orang
lain lagi."Tanpa ragu Caca mengangguk. Ia tidak akan melewatkan kesempatan ini begitu saja.

"Iyah, aku mau."

"Good. Bentar ya, gue telpon dia dulu. Lo pesen minum aja dulu, gue yang traktir kok." Caca nyengir, Brenda memang pengertian. Akhirnya ia memesan segelas orange juice pada pelayan.
Caca memperhatikan Brenda yang berbicara dengan serius. Sesekali terdengar bahasa
Belanda yang Caca tidak tahu maknanya. Setelah itu Brenda kembali ke tempatnya dan
tersenyum.

"Papa suruh gue ke kantor nanti, sama lo."

"Hah?"

"Kenapa? Kok lo kaget gitu?"

"Gak, gak papa. Tapi ini kan udah sore."

Brenda mengibaskan tangannya. "Papa sering pulang malam, katanya banyak dokumen
yang harus dia urus. Jadi jam segini papa masih di kantor."

"Ooh."

Caca menikmati minumnya, ia harus mempersiapkan diri bertemu calon bos barunya. Tetapi
tatapan Brenda dari tadi mengganggu aktifitasnya. "Kamu ngapain?"

"Lo utang penjelasan sama gue."

Caca mengangkat sebelah alisnya, ia berhenti minum dan menggeser gelas ke depan.  "Utang penjelasan?"

"Lo belum cerita ya sama gue, kenapa lo keluar dari perusahaan besar itu? Gue denger-
denger lo ada masalah sama bosnya. Bener?"

Gawat. Ia lupa menceritakan kejadian sebulan yang lalu pada Brenda. Ia malu dan takut
Brenda akan menjauhinya. Jadi Caca memilih untuk menyimpannya sendiri, termasuk dari
Meme dan Rahma.

"Kok lo pucet gitu?" Brenda memandangnya dengan khawatir, ia menempelkan punggung
tangannya di dahi Caca. Lalu mengernyit.

"Gak panas. Lo ada masalah ya?"

"Bren, aku mau cerita. Tapi gak di sini."

"Di rumah gue aja gimana? Kebetulan mami lagi di Belanda, gue kesepian di rumah."

"Oke."Sepertinya malam ini Caca akan menangis, lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top