Meet Him Again
Ini adalah hari pertama Caca bekerja menjadi asisten Sean, bos barunya di perusahaan multimedia. Salah satu aturan yang membuatnya senang bekerja di sini adalah Caca bebas
memakai baju apapun. Karena statusnya sebagai asisten pribadi tuan besar, maka tidak menutup kemungkinan Caca akan ikut ke setiap pertemuan kolega, jadi Caca hanya butuh menyesuaikan dengan kondisi hari itu saja. Ia tidak lagi terikat dengan blezer dan rok span.
Seperti hari ini ia memakai baju hitam lengan panjang yang menyerupai switer, ditambah dengan kalung berbentuk matahari yang memberi kesan natural dan sederhana. Rambutnya yang ikal dibiarkan tergerai begitu saja. “Good morning, Sir,” sapa Caca ramah pada Sean.
Sean tersenyum ikut membalas sapaan Caca. “Morning too, Tha.”
Kemarin Caca memperkenalkan dirinya di depan Sean dan Brenda. Ia menyebut nama panjangnya, Caca Margaretha. Dan Sean lebih suka memanggilnya Thata dari pada Caca.
Menurutnya panggilan Caca terlalu childis untuknya yang sudah dewasa. Caca atau Thata hanya menganggukkan kepalanya dan menurut. Tidak ada salahnya juga, yang penting dia bisa diterima dengan baik di sini.
“Jam 10 saya ada pertemuan khusus dengan bos perusahaan game di Hotel Paula. Tolong kamu siapkan dokumen yang saya simpan di laci nomor 2A.”
“Baik, Sir.” Caca melangkah ke sudut kanan ruangan, tempat di mana berkas penting tersimpan. Lalu
matanya melirik ke sebuah laci kecil berlabel 2A, sesuai perintah Sean. Diambilnya dokumen yang ada dan membawanya ke hadapan Sean.
“Terimakasih. Tapi kamu saja yang pegang. Kamu ikut dengan saya,” ucap Sean.
“Baik, Sir.” Akhirnya Caca memutar badan dan duduk di depan meja kerjanya. Berbeda dengan tempatnya dulu, kini Caca memiliki ruangan yang bersatu dengan Sean, tanpa dinding pembatas. Jadi setiap gerak-geriknya akan langsung dilihat oleh Sean. Hal itu membuat Caca sedikit gugup, karena selain tegas, Sean juga masih tampan di usia yang sudah tidak muda lagi. Matanya bewarna biru laut, juga tajam setajam mata elang. Fakta yang satu itu kadang
hampir saja mengingatkan Caca pada sosok yang tak ingin ia sebut namanya. Belakangan ini pria itu sudah tidak menghubunginya lagi, namun Caca semakin takut. Ia harus tetap waspada, pasti ada rencana yang kini sedang dipersiapkannya.
Caca memilih untuk menyibukkan diri dengan berkas di mejanya. Ia harus mempelajari isi berkas itu, begitu kata Sean kemarin.
“Saatnya berangkat.”
Suara berat Sean menyadarkan Caca dari dunianya. Ia melirik jam di tangannya. Sudah pukul sembilan.
Ia berdiri dan merapikan berkas, lalu menumpuknya jadi satu di dalam map. Sean menunggunya dengan tenang.
“Kamu tidak perlu gugup, ini hanya pertemuan biasa. Tidak akan membahas hal-hal sulit.”
Caca menertawakan dirinya sendiri, Sean dengan mudah menangkap keraguannya. “Sure, Sir.”
“Good. Come on!”
Gadis itu tersenyum dan berjalan di samping Sean. Tangannya mendekap dokumen yang tadi ia baca. Setiba di lobi, mereka langsung masuk ke mobil yang dikendarai langsung oleh
Sean.
“Aku ingin bertanya pada mu,” ucap Sean mencoba membunuh hawa canggung di mobil. Ia mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, sesekali membunyikan klakson saat
memotong mobil lain.
“Silakan, Sir.”
“Aku dengar sebulan yang lalu kamu bekerja di Adijaya Group. Itu benar?”
Caca menahan dirinya untuk tidak berteriak pada Sean karena telah membuka luka lamanya. Ia mencoba bersikap setenang mungkin, Caca pasti bisa melewati ini. “Itu benar,
Sir.” Sean tampak mengangguk kecil.
“Boleh aku tau alasan kamu berhenti? Adijaya Group bukanlah perusahaan kecil, ia hanya mempekerjakan orang-orang berkualitas.”
Dia menampilkan senyum kakunya. “I-iya. S-saya sepertinya..saya tidak cocok di sana, Sir.” Sial! Kenapa aku begini? Tuan Sean pasti curiga.
Caca merutuk bibirnya yang tidak bisa diajak bekerja sama. Ia menggigit bibir bawahnya dan memandang jalanan kota yang terlihat cukup ramai.
Sean melirik ke sampingnya. Ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu, dan Sean menyadarinya. “Ooh. Ternyata seperti itu.”
Mereka diam hingga mobil terparkir di lobi hotel bintang lima, Hotel Paula.
“Ingat pesan ku, Thata. Ini hanya pertemuan yang membahas kerja sama. Kau tidak perlu nervous.”
“Baik, Sir.”
Mereka kembali berjalan bersisisan. Caca menyemangati dirinya, seperti yang dikatakan Sean ia tidak perlu grogi. Semua akan berjalan lancar lalu mereka akan pulang. Yah, Caca
pasti bisa. Tanpa sadar Sean dan Caca sudah berdiri di sebuah pintu besar. Seorang pelayan mendorong pintu itu dan terlihatlah ruangan di baliknya. Ruangan itu sepertinya di desain
khusus untuk para pebisnis yang melakukan pertemuan. Mereka dipersilakan masuk.
Di dalam ruangan besar itu terdapat satu meja panjang dan satu meja bundar dengan 4 kursi. Dan Sean berjalan ke arah meja bundar yang salah satu kursinya sudah terisi oleh
seseorang berpunggung lebar. Caca tidak melihatnya karena pria itu membelakanginya.
“Selamat pagi, Tuan Arnold. Maaf kami sedikit terlambat.”
Deg
Dirinya seperti dibawa ke malam itu. Setelah sebulan lebih lamanya mereka tidak bertemu. Dan kini semesta seakan belum bosan mengerjainya. Pria itu kini sudah ada di hadapannya, dengan senyum menyebalkan yang selalu membuat Caca mual.
“Tidak masalah, Tuan Sean. Aku dan sekretaris ku juga baru sampai.” Sean menjabat tangan Arnold dengan tegas. Lalu Sean beralih menatapnya.
“Ini asisten ku, namanya Thata.” Sean memberi isyarat kepada Caca untuk berkenalan dengan Arnold. Andai saja Sean tahu bahwa mereka sudah kenal, bahkan sekarang mungkin bermusuhan, entah apa yang akan
dilakukan bosnya itu. Namun Caca bersikap profesional, ia tidak akan mencampurkan urusan pribadinya dengan pekerjaan.
“Senang bertemu dengan Anda, Tuan Arnold,” ucap Caca sambil mengulurkan tangan.
Arnold menyambutnya dengan senyum tipis. “Senang juga bertemu dengan mu, Thata.”
“Pria ini..apa lagi rencananya?” Caca bertanya dalam hati. Lalu ia tersenyum meremehkan, ia akan mengikuti permainan pria itu.
“Kamu bilang kamu ke sini dengan sekretaris. Mana dia?” tanya Sean pada rekan bisnisnya.
“Oh dia ke belakang. Sebentar lagi pasti balik. Duduklah, pesanan sudah saya pesan.”
Mereka bertiga duduk. Caca di samping Sean, lalu di samping gadis itu ada Arnold. Satu kursi yang kosong berada di samping kanan Arnold. Dengan kata lain Caca diapit oleh dua pria gagah. Ini semakin membuatnya berkeringat dingin.
“Maaf, Tuan. Saya terlalu lama,” ujar seseorang dari arah belakang. Caca menoleh, melihat seorang wanita cantik dengan pakaian ketatnya. Ia menjabat tangan Sean dan mengangguk sopan. Lalu beralih pada Caca.
“Aku Vivian, senang bertemu dengan mu.”
“Senang juga bertemu dengan mu, aku Thata.”
Sesi berkenalan itu berakhir. Kedua bos besar mulai sibuk membahas kerja sama mereka. Sesekali Caca ikut berbicara jika diminta. Dan selama meeting itu lah Arnold menyentuh
pahanya di bawah meja. Tangan nakal pria itu mengelus kulit kakinya yang tertutupi celana
panjang. Caca berusaha sekuat tenaga memasang senyum terbaiknya. Meski sebenarnya ia sangat terganggu dengan sentuhan itu. Arnold beralih menggenggam tangannya. Gadis itu mulai muak. Arnold semakin melonjak jika dibiarkan. Caca pun menginjak kali pria itu dengan sepatu hak tingginya.
“Ah..”
“Ada apa Tuan Arnold?” tanya Sean khawatir. Semua mata memandangnya heran.
“Tidak apa. Kaki ku digigit semut,” balasnya tenang.
Arnold melirik pada Caca. Ia menyeringai. “Nantikan hukuman ku, gadis kecil.” Saat itu juga Caca merasa dirinya tidak lagi aman.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top