Hukuman

Tidak ada yang berbicara ketika keduanya asik menggigit kue coklat buatan Arnold. Hanya suara dari layar plasma yang kini menjadi satu-satunya teman mereka. Caca menikmati makanannya dengan khidmat, kue buatan Arnold memang enak dan sesuai lidahnya.
Sebenarnya kue ini sangat sederhana, terbuat dari biskuit yang dihancurkan lalu dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai bola-bola kecil dan dibaluri susu kental manis rasa
coklat. Tak lupa meses coklat sebagai pelengkap.

“Kapan kita bisa membahas projeknya?”

Arnold menoleh dan mendapati Caca yang bertanya padanya. Gadis itu sudah selesai dengan kuenya. Bukannya menjawab, Arnold justeru mengangkat tangannya dan mengambil sebutir meses yang menyangkut di sudut bibir Caca.

“Aku membawa mu ke sini untuk makan kue berdua.”

“Eh?”

“Sudah hampir malam. Aku akan mengantar mu pulang. Ayo!” Ia berdiri dan mengambil kunci mobil. Pakaiannya masih sama, yaitu kemeja putih tanpa jas dan celana hitam dasar. Ia persis seperti hot daddy di film yang pernah Caca tonton.

“Berarti kamu bohong?”

“Tidak sepenuhnya juga. Kamu marah?”

“Tidak.” Caca mengangkat bahunya acuh. Sikap manis Arnold sangat berbeda dengan gosip yang berhembus di kantor. Para karyawan menyebut bahwa Arnold adalah pria kejam dan dingin. Tetapi setelah mengalami banyak kejadian hari ini, Caca jadi tidak bisa menebak mana yang benar dan salah.

Di perjalanan lampu jalan menunjukkan warna merah, tanda berhenti. Saat itu lah Caca terkejut ketika Arnold menggenggam tangan kanannya. Ia langsung menarik tangan.

“Maaf.”

“Tangannya!”

“Kamu mau apa?”

“Aku mau pegang tangan mu. Cepat.”

“Aku tidak suka.” Tolak Caca telak dan meremas jari-jarinya. Tidak ada yang pernah menyentuhnya selama ini kecuali teman dan keluarganya. Dan Arnold, belum 12 jam menjadi kekasihnya, sudah mulai memasuki zona privasinya.

“Kamu kekasih ku.” Mobil kembali berjalan dan Arnold melanjutkan kalimatnya. “Hal itu wajar, Caca. Atau kamu alergi disentuh pria seperti ku?”

“Memangnya kamu pria seperti apa?”

Pertanyaan Caca berhasil membungkam mulut Arnold sebentar. Tak lama ia kembali buka
suara. “Aku pria yang baik dan penyayang. Berikan tangan mu atau kamu akan tahu akibat membantah ku.”

Caca yakin Arnold hanya mengancamnya. Pria itu benar-benar bossy dan bandel. Caca tetap menautkan jari-jarinya, tidak peduli pada perintah Arnold.

“Baiklah, kamu yang minta sendiri.”

Gadis itu tidak mengerti maksud ucapan Arnold barusan. Hingga ia tersentak ke belakang ketika mobil tiba-tiba saja melaju dengan cepat, seperti sedang di arena balap. Arnold
memacunya dengan kecepatan tinggi dan memotong beberapa kendaraan. Ia tampak senang dan tidak terlihat takut sedikit pun. Padahal ini adalah jam pulang kerja, jalan sedang
ramai-ramainya.

“Arnold! Pelan kan mobil mu. Kita bisa celaka.” Caca berteriak sambil mencengkeram kedua sisi kursi. Jantungnya berdegup kencang, bukan sedang jatuh cinta, ia takut, ia belum siap mati saat ini juga.

Arnold tak memedulikan ketakutan gadis di sebelahnya. Ia tetap berada pada kecepatan tinggi. Caca harus melakukan sesuatu, jika tidak mereka bisa saja kecelakaan, atau ditilang.
Demi menjaga keselamatannya, Caca meraih sebelah tangan Arnold dan menggeggamnya.

“Pelankan mobil mu. Aku takut.”
Arnold tersenyum puas dan menurunkan kecepatan kembali normal. Beberapa pengendara
tampak memakinya ketika mobil mereka berselisih.

“Dasar setan! Kau hampir saja menabrak ku!” Maki salah satu pengendara berkepala botak.

Arnold membalas genggaman Caca, ia mengusap punggung tangan gadis itu dan menenangkannya. “Jangan coba bantah aku lagi. Ini belum seberapa, Ca.”

Mendengar itu membuat Caca menghadiahi Arnold sebuah lirikan tajam. “Kamu ingin membunuhku? “

“Cara ku membunuh tidak seperti ini. Ini rumah mu?”

Caca tidak sempat membalas perkataan Arnold, karena ia sudah sampah di depan rumahnya. Hanya rumah sederhana berlantai satu. Itu adalah rumah warisan orangtuanya
yang meninggal bersamaan beberapa tahun lalu pada sebuah kecelakaan beruntun.

“Terimakasih,” ucap Caca tersenyum. Ia mencoba melupakan kejadian beberapa menit lalu yang hampir saja membuatnya jantungan. Ia baru saja akan melepas seatbelt ketika sebuah
tangan mengambil alihnya.

Tubuh mereka sangat dekat, bahkan bersentuhan. Caca menahan napasnya dan mengatur napas. Saking dekatnya Caca sampai takut Arnold mendengar detak jantungnya dan melihat wajah merahnya.
Arnold tidak menjauhkan diri, ia menatap Caca dan mengusap pelan puncak kepala gadis bermata rusa itu. “Kamu milikku, Caca. Jangan coba melawan lagi, aku tidak pernah main- main dengan ucapan ku. Mengerti?”
Mulutnya tidak sanggup terbuka dengan jarak sedekat itu. Akhirnya Caca hanya menganggukkan kepalanya meski ia ingin sekali membantah, lagi. “Masuklah. Aku akan menunggu mu.”

Caca kembali mengangguk dan cepat-cepat keluar. Ia berlari kecil ke halaman kecil rumahnya dan mengambil kunci dari tas. Sebelum masuk ia berbalik dan melambaikan
tangan. Arnold tersenyum kecil dan balas melambaikan tangannya. Ia memberi isyarat agar Caca segera masuk ke rumah.

Setelah Caca menutup pintu, barulah dilihatnya mobil itu melaju membelah jalanan. Caca mengunci pintu dan bersandar di sana. Ia memegang dadanya yang bergemuruh sejak tadi.

***
Ting!

Caca melirik hp yang tergeletak di nakas ketika sebuah notifikasi masuk. Ia baru saja selesai mandi dan mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.

Tuan Arnold
Aku tidak bisa menjemput mu hari ini. Sarapan dan hati-hati di jalan. ❤
Caca mengangkat sebelah alisnya ketika membaca pesan masuk dari Arnold, pacar pertamanya.

“Siapa juga yang minta dijemput.”

Ia tidak membalas pesan itu dan mengabaikannya. Caca lebih memilih untuk mengganti pakaiannya. Caca mengambil sebuah kemeja putih dan rok span selutut. Tak lupa menyisir
rambut dan memoleskan bedak tipis di wajahnya.

Ia mengunci pintu rumah dan menunggu taksi. Namun sebuah mobil berhenti di depannya.
Caca bergeser ke samping selangkah, memasang sikap waspada. Lalu kaca mobil terbuka dan terlihatlah seorang pria berkaca mata.

“Jeki?” Caca mengintip ke dalam mobil untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Itu
adalah Jeki, temannya di kantor. Mereka berkenalan di hari kedua Caca bekerja. Jeki adalah kepala staf bagian administrasi. Mereka hanya terpaut umur 2 tahun, dan Jeki menyuruhnya untuk memanggil nama saja.

“Ayo, masuk. Kita satu tujuan.” Jeki memasang senyum terbaiknya yang membuat Caca masuk tanpa pikir dua kali.

“Kamu sering lewat sini?” Caca memasang seatbelt. Sejenak ia merasa de javu. Lalu dengan cepat menghapus ingatan itu. Ini masih pagi, Arnold sudah mampir di pikirannya.

“Tidak, hanya kebetulan. Tadi aku mengantar mama ke rumah temannya.”

“Ooh.”

Setelah itu mereka tidak lagi berbicara. Di dalam mobil hanya terdengar lagu jazz yang mengalun mengisi gendang telinga. Ternyata Jeki adalah penggemar lagu jazz.

“Terimakasih. Aku masuk duluan ya.”

“Tidak usah sungkan.”

Caca melangkah duluan memasuki gedung tinggi. Ia meninggalkan Jeki yang saat itu menerima telepon entah dari siapa. Ia menyapa dan membalas sapaan dari beberapa karyawan yang melewatinya. Pagi ini suasana hatinya sedang senang, senyumnya tidak
luntur.

Namun itu hanya bertahan hingga ia sampai di ruangannya yang terhubung dengan ruang Arnold. Ia mendorong pintu dan mendapati Arnold bersidekap di dekat meja.

“Belum 24 jam kamu sudah selingkuh di belakang ku. Masih punya nyali melawan?”

Dan senyuman sehangat mentarinya lenyap detik itu juga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top