Epilog

"Ibu Tercinta,

Maafkan aku karena kabar yang mendadak ini. Aku belum bisa kembali ke Reibeart. Situasi belum memungkinkan bagiku untuk kembali. Keberadaanku hanya akan membahayakan yang lainnya. Dan, Ibu, kumohon, jangan terkejut dengan desas-desus yang akan atau telah Ibu dengar. Aku akan menjelaskannya, satu per satu.

Pertama, adalah sebuah kebenaran bahwa aku melarikan diri bersama Pangeran Mahkota Cayenne, Damien, namun untuk alasan yang baik, Ibu. Aku tidak pernah menyangka, pria yang selama ini aku benci, menjadi satu-satunya orang yang mampu melengkapi kehilanganku, kembali menjadikanku utuh dan sempurna. Memang, kami tidak selamanya sependapat. Kami sering bertengkar untuk hal-hal sepele hanya untuk kemudian jatuh cinta kembali, berkali-kali. Tetapi, hal tersebut menyadarkanku bahwa, sesungguhnya, kami amat peduli terhadap satu sama lain, begitu mengenal kepribadian masing-masing. Sekarang, aku mengerti kenapa Ayah dan Ibu sering meributkan perkara tidak penting. Kurasa, itu karena kalian sangat mencintai satu sama lainnya.

Kedua, kami akan bertunangan begitu berlabuh di Cayenne, sebuah ikrar singkat, tanpa rangkaian perayaan lainnya. Jadwal sibuk Damien menyita waktunya, sehingga kami tidak bisa segera melaksanakan pernikahan. Maafkan aku bila aku telat mengabari Ibu karena Damien memiliki pekerjaan lain yang harus ia tuntaskan dan aku memutuskan untuk mengikuti pelayarannya. Sebab, sungguh, bertemu dengan Damien seperti menangkap dua burung dengan satu batu. Aku mendapatkan pria yang aku cintai dan... aku memiliki kesempatan berlayar, berkeliling dunia, mengarungi lautan. Semua yang aku cita-citakan dari kecil, Ibu. Maafkan aku bila aku tidak bisa menjadi seorang tuan putri yang selalu Ibu inginkan. Tetapi, Ibu tetap mencintaiku, bukan? Karena ke daratan manapun yang kupijak, aku akan selalu mencintai Ibu.

Kedua, mengenai Waisenburg—Ibu harus berhati-hati..."

Daria berhenti menulis ketika merasakan embusan dingin napas pada tengkuk lehernya. Hasrat membakar tulang punggungnya, melumpuhkan benaknya untuk beberapa saat. Lengan yang selalu menemaninya tidur selama lima hari belakangan, mengelilingi tubuhnya. Bibir itu mengecup telinganya, meninggalkan jejak sepanjang rahang, lalu berhenti pada lekuk tempat leher dan pundaknya bertemu.

"Damien..." Daria mendesah.

"Hmm." Damien menghirup aroma Daria, membangkitkan bulu kuduk di sepanjang tubuhnya. "Sekarang kau bangun pagi sekali."

Daria melirik jam dinding. "Pukul sembilan." Daria menggenggam lengan Damien. "Sekarang, kau bangun siang sekali."

Damien menyeringai. "Bukan salahku apabila ada wanita yang tidak puas, menjagaku terjaga sepanjang malam. Aku, bagaimanapun, tidak akan pernah bisa menolakmu," ujarnya. "Apa yang sedang kau lakukan?"

Seberkas rona mewarnai pipi Daria. Damien selalu mengeluarkan yang terburuk dalam dirinya. Sisi lain dirinya yang Daria tidak pernah tahu ada. "Aku sedang menulis surat untuk ibuku," ujar Daria berupaya mengalihkan pokok pembicaraan.

Damien mengintip ke kertas di hadapannya. Maniknya bergerak kiri dan kanan, membaca tiap kalimat yang dirangkai Daria, kemudian mengangkat sebelah alisnya. "Menangkap dua burung dengan satu batu?"

Daria berputar menghadap Damien, "Ya. Tidak pernahkah aku mengatakan bahwa semasa kecil, aku—"

Detik itu, sebuah dentuman berkumandang. Dentuman yang menyerupai letusan meriam. Damien berubah waspada sekaligus heran. Mereka sedang berada di lautan bebas, berlayar menuju Benua Tengah. Mereka sudah memastikan bahwa kapal perang Waisenburg tidak lagi mengekori mereka. Selama lima hari, mereka berlayar dengan damai di bawah iklim cerah, cuaca yang maha pengampun. Dan dentuman meriam hanya berarti satu hal. Sesuatu terjadi di luar sana.

Daria segera ikut berdiri hanya untuk diberhentikan Damien di ambang pintu. Pandangan Damien menyusuri gaun tidur putihnya yang hampir transparan di bawah matahari. Meraih jubah, Damien membungkus tubuh Daria, menyembunyikan apa yang tidak seharusnya dilihat pria selain dirinya. Daria menyukai gestur-gestur kecil tersebut, mengingatkan kepadanya betapa Damien mencintainya, selalu mengutamakan dirinya. Daria menjalin jemari mereka menjadi satu, lalu turun ke geladak bersama-sama.

Awak kapal berkumpul ke salah satu sisi geladak, memandangi kepulan asap di kejauhan. Noah menawarkan teropong yang Daria terima dengan senang hati. Sebuah kapal perang serba hitam berlambang dua ekor singa merah meledakkan meriam berkali-kali ke kapal perang merah gelap Waisenburg. Prajurit Waisen berseragam merah meluncur keluar menyelamatkan diri hanya untuk ditembak mati pihak oposisi.

"Itu Albatross," ujar Damien tidak percaya, "dan Kekaisaran Dyre. Mereka menyerang benteng terakhir Waisenburg."

Napas Daria tercekat. Mendengar nama Albatross disebut, benak Daria mengingat kakaknya, Petra. Ia kembali meraih teropong dan menyusuri pesisir, mencari-cari sosok kakaknya yang familiar, tetapi mustahil menemukannya di antara kerumunan prajurit dan kericuhan perang. Alih-alih kakaknya, ia menemukan iparnya, Raphael Schiffer, tengah bertarung melawan balik prajurit-prajurit Dyre.

"Kuharap mereka baik-baik saja," bisik Damien. Ia tahu bahwa banyak orang yang Daria cintai sedang bertarung di medan perang tersebut. Raphael, Petra, dan bahkan Esther.

Daria tidak membalas ucapan Damien. Ia harap mereka baik-baik saja. Namun, Daria tidak berani mengucapkannya kencang-kencang, takut semesta mendengarnya dan merenggut nyawa salah satu dari mereka.

***

Raphael tahu jiwanya lelah. Ajaib sebagaimana tubuhnya begitu terbiasa dengan peperangan, sanggup mengayunkan pedang berkali-kali sekalipun jiwanya telah lama lelah. Selama hampir seminggu, pasukan Reibeart kekurangan tidur, mengantisipasi serangan-serangan para Albatross yang datang dari segala arah. Serangan-serangan kecil, yang kini sampai pada puncaknya.

Mereka berhasil menerobos pertahanan benteng, meledakkan dua dari tiga kapal perang Waisenburg dengan taktik perang terorganisir. Ketika Raphael pikir bahwa mereka kehabisan bahan peledak, kapal perang Kekaisaran Dyre datang dari sisi lain, menumbangkan kapal terakhir Waisenburg dan meletuskan rentetan serangan ke pesisir. Mengacaukan formasi pertahanan Waisenburg.

Raphael bersama pasukannya tengah memukul balik prajurit Dyre ketika seorang prajurit Waisen menembus kerumunan begitu mudah seakan dirasuki iblis. Raphael tidak memercayai penglihatannya ketika mendapati tubuh prajurit itu diselimuti aura kemerahan yang mengerikan. Ia menebas para prajurit Dyre lebih cepat dari kilat sampai-sampai mata Raphael tidak mampu mengikuti gerakannya. Itu bukan gerakan yang manusiawi.

Sejurus kemudian, pasukan Dyre di hadapannya tumbang, darah terciprat di wajahnya. Prajurit Waisen itu berdiri seorang diri di antara tumpukan mayat tersebut. Sorot pandangnya hampa, mengitari pasukan Raphael dari satu kepala ke kepala lainnya. Lalu, sesuatu yang tidak masuk di akalnya terjadi. Prajurit itu melesat cepat, aura merah membungkus dirinya, membunuh prajuritnya satu demi satu. Sebelum Raphael sempat memproses apa yang sedang terjadi, prajurit Waisen itu berdiri di hadapannya, mengincar lehernya.

Refleks terlatih Raphael mengambil alih tindakannya. Raphael menepis tebasannya, tetapi ketangkasan prajurit itu menandingi kegesitannya. Raphael bertemu dengan beragam pria di medan perang. Pria yang takut mati serta yang tidak takut mati. Pria yang tak lagi punya suatu apapun, pria yang tidak takut kehilangan, serta pria yang memperjuangkan segalanya. Tetapi, Raphael tidak pernah bertemu seseorang sepertinya.

Seseorang yang kehilangan jiwanya, siapa dirinya. Kehampaan pada matanya lebih mengerikan daripada mimpi buruk. Seakan-akan hidupnya tidak lebih dari sekadar mematuhi aturan. Raphael memperhatikan dua prajurit Waisen, dengan aura kemerahan yang sama, muncul tiba-tiba dari antara kerumunan, dan mulai menebas para pasukan Reibeart. Apa yang sesungguhnya terjadi? Kegilaan macam apa—

"Kami sekutumu!" seru Raphael sembari merunduk, menghindari serangannya.

Prajurit itu berhenti menebas. "Reibeart. Bukan. Lagi. Sekutu." Ia mengucapkan kalimat itu satu per satu dan dengan perlahan, seolah-olah ia lupa bagaimana cara berbicara.

Sepersekian detik kemudian, prajurit itu sudah berdiri di sampingnya, mengayunkan pedangnya. Reaksi Raphael lebih lambat satu kedipan dan ia tahu bahwa prajurit itu berhasil mencabut nyawanya jika bukan karena ayunan pedang lain yang menikam matanya. Lalu, menebas lehernya. Prajurit itu seketika mati, tersungkur di tanah. Seorang wanita berambut hitam berdiri di hadapannya, wajahnya kotor oleh bercak darah. Tetapi, apa yang mencolok adalah aura merah pekat di sekujur tubuhnya. Aura merah yang sama seperti milik prajurit itu.

"Petra," ujar Raphael. "Apa yang terjadi—"

"Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang," balas Petra. Ini adalah Petra yang sama, yang ia kenal dari masa kecilnya. Namun, hampir setahun tak bertemu mengubah sesuatu pada kedalaman matanya. "Kau harus segera menarik mundur pasukanmu ke tempat aman, Rafe. Ini bukan lagi peperangan. Ini pembantaian."

Lalu, Petra pergi secepat dirinya datang, membaur ke dalam kerumunan tubuh dan darah dan teriakan. Benak Raphael segera memperoleh kendalinya kembali. Petra benar. Apapun yang tengah terjadi saat ini, Raphael tidak bisa membiarkan lebih banyak darah prajurit Reibeart tumpah di medan perang. Jiwa para Reibeart adalah tanggung jawabnya. Sesuatu yang tidak mereka ketahui sedang terjadi dan Raphael tidak boleh membiarkan lebih banyak tubuh prajurit Reibeart berjatuhan.

"MUNDUR!" seru Raphael. "MUNDUR!" Beberapa prajurit yang mendengarnya mulai menarik diri dari peperangan. Sebagian lainnya masih menghadapi prajurit Waisen dengan kekuatan supranatural itu. Teriakan mereka memenuhi genderang telinga Raphael, cipratan darah membasahi tanah. Raphael tahu ia harus segera menolong mereka.

"Komandan." Kapten pasukannya, Myles, muncul di sebelahnya. "Ada apa? Mengapa mundur?"

"Myles." Raphael menunjuk ke arah pasukan Reibeart yang sedang dibantai seorang Waisen. "Kita harus menolong—"

Sebilah belati yang digenggam Myles menikam perutnya. Sakit itu membakar perutnya, darah merembes ke seragam biru gelapnya. Ketika Myles menarik belatinya, darah bercucuran dari luka menganga tersebut. Dikendalikan insting bertahan hidup, sebelah tangan Raphael menekan lukanya. Sementara tangan lainnya meraih pundak Myles, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Namun, apa yang ia temui hanya kehampaan dan senyum penuh pengkhianatan.

Dan kau—Schiffer, jangan percaya kepada siapapun. Suara Komandan Gideon Reyes bergema, merupa riak air dalam pergelutan pikirannya.

Myles menggenggam tangannya dengan kekuatan yang mampu meremukkan tulang. "Komandan, Anda tidak boleh dibiarkan hidup. Itu perintah dari Lord. Habisi semua Reibeart."

Ia melepaskan tangan Raphael, membiarkan tubuhnya terkulai tidak berdaya di atas tanah, meninggalkannya untuk mati bersama prajurit lainnya. Darah memenuhi mulutnya, merembes melalui celah bibirnya. Pikirannya mulai menghalau ledakan, teriakan, serta kematian di sekitarnya. Hanya ada detak jantungnya yang melambat dan kian lambat.

Selama dua tahun di garis depan medan perang, ini kali pertama Raphael menyadari betapa indah langit yang menaungi pulau Albatross. Biru dan bening, awan putih menghiasi cakrawala. Sekelompok burung beterbangan, membentangkan sayapnya, menanti makanan: tubuhnya dan sekumpulan prajurit lain yang tidak lagi bernyawa. Raphael jadi bertanya-tanya apa rasa di atas sana, memandangi kebodohan manusia.

Raphael tahu kematian datang menjemputnya kala segenap kilas balik kehidupannya berkelebat. Masa kecilnya, keluarganya, dan dari semua kenangannya, memori bersama Esther paling bersinar. Pertemuan pertamanya dengan Esther. Ciuman-ciuman mereka. Lelucon yang mereka lontarkan kepada satu sama lain. Pernikahan mereka yang serba putih. Cinta mereka yang tampak kekal dan tak lekang waktu.

Penyesalan menyeruak bagai udara kedua dalam paru-parunya yang kesulitan bernapas. Penyesalan karena gagal menjadi pria yang diinginkan Esther. Penyesalan karena gagal memperbaiki hubungan mereka. Penyesalan karena tidak memberikan segalanya ketika sempat. Penyesalan—karena kesalahannya lah yang mengubah Esther. Hangat tangis menumpuk di pelupuk mata Raphael, menuruni pipinya.

Gelap mulai merayap, menekankan kekuasaannya atas diri Raphael. Raphael tidak pernah mengetahui bahwa kematian layaknya pusaran lautan. Ombaknya perlahan demi perlahan menariknya semakin dalam, semakin jatuh ke antah berantah. Tangan Raphael tidak lagi repot-repot menekan lukanya, tergeletak di samping tubuhnya yang melumpuh. Ia menyambut kematiannya tangan terbuka, secara harfiah maupun bukan. Sebab, tidak ada lagi yang tersisa baginya dalam kehidupan.

Satu-satunya wanita yang ia cintai terselip dari genggaman karena kesalahannya. Dosanya. Dan seberapa besar pun tekad Raphael untuk membenarkannya, memperbaiki hubungan mereka, Raphael tahu Esther tidak akan bisa menerimanya lagi. Raphael sudah menghancurkan Esther sebagaimana Esther menghancurkan hatinya. Jadi, setidaknya, biarkan ia meninggalkan dunia dengan membawa satu—cukup satu kenangan tentang wanita itu. Supaya khayangan mengetahui keindahan wanita itu.

Sebagaimana nada lembut Esther menyebut namanya, membuainya hingga tertidur. Jemari lentik Esther membelai pelipisnya. Raphael. Raphael. Raphael. Senyuman damai Esther, membekas di jiwanya. Setidaknya, Raphael bisa meninggal dengan tenang.

"RAPHAEL!" Suara Esther memenuhi genderang telinganya. Raphael tidak lagi tahu itu sekadar ingatannya atau kenyataan karena kegelapan menarik kesadarannya. Dan ia berserah.

Lagipula, apa yang tersisa baginya di dunia ini? []

Akhirnya! Perjalanan cerita Daria selesai sampai di sini! Terima kasih buat kalian semua yang masih setia dari buku pertama (KATARINA) bayangin gais, bayangin, semua yang kita laluin bersama dan akhirnya kita menuju buku keempat!! KEEMPAT! Dari LIMA buku! Tentu saja, di buku keempat nanti bukan hanya cerita Esther yang dikupas, tetapi juga perang utama yang semakin menutup :)

Kesan aku selama nulis Daria adalah... seru banget! Daria adalah karakter yang bagi aku relatif mudah untuk dituliskan. Sebagian besar narasi dari sudut pandang Daria itu aku bener-bener ga perlu mikir dua kali untuk menuliskannya. Daria itu sosok yang menurut aku kita butuhin di hidup kita. Orang yang kayak happy virus, selalu bahagia, spontan, blak-blakkan, dan tindakannya selalu bikin kita ketawa. Bener-bener selama nulis Daria aku sangat, sangat, sangat enjoy. Dan aku harap kalian merasakan hal yang sama ketika membaca Daria :')

Bagaimana kesan kalian membaca Daria? Terus, apakah kalian penasaran dengan cerita Esther? 

Tenangg! Aku akan segera upload prolog Esther jadi kalian tidak perlu takutt! Aku bakal upload cerita Esther setiap jumat dan sabtu juga. Sesekali juga bakal aku kasih double update karena aku sayang kalian semuaaa huaaa. Minggu depan bakal jadi minggu yang sibuk sekali untuk aku karena aku harus magang :') jadi, dimohon dukungan kalian ya untuk cerita selanjutnya supaya aku selalu semangat menulisnya! 

LOVE YOU FULL!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top