8 - Damien

            Kelas kedua Damien minggu itu berakhir lebih cepat. Ia memutuskan untuk mengelilingi Akademi, menghidupkan kenangannya. Melarikan jemarinya di permukaan dinding lorong yang dulu mampu mengusir penderitaannya. Sebab, hanya di balik bebatuan ini ia merupa dirinya yang tak terkalahkan, disanjung orang-orang, dan menyunggingkan senyum—kendati penuh kepalsuan. Ketika tiba saatnya pulang ke Cayenne, ia kembali menjadi makhluk malang di bawah tabiat buruk Calanthe. Sebuah noda di kastil serba putih itu.

            Ia tidak memiliki tempat di Cayenne, sebuah fakta yang selalu Calanthe ingatkan baik melalui perbuatan maupun ucapan. Tanpa perlu diingatkan, Damien sudah lama mengetahui posisinya di dunia. Tempat Damien di sisi Ibu dan semenjak Ibu meninggal, dunia berubah tidak lagi sama. Tujuannya berpulang direnggut. Alasannya untuk tersenyum direbut. Damien mengetahui, sudah sejak lama, bahwa ia tidak lagi memiliki tempat di dunia.

            Hingga Akademi. Satu-satunya hal yang ia syukuri adalah keputusan Cadmus untuk menyekolahkannya jauh dari Cayenne, ke Waisenburg. Akademi menjadi tempatnya lari dari kesedihan dan ketakutannya. Ia tidak mengetahui bakat berpedangnya karena Calanthe tidak mengizinkannya mengangkat pedang. Ia tidak pernah mengetahui ketertarikannya pada pelajaran eksak, politik, serta sosial sebab Calanthe melarangnya memperoleh pendidikan terbaik di Cayenne.

Di Akademi, para guru mencintai prestasinya. Teman-teman menyukai candaannya. Ia mendirikan persona sempurna yang sama sekali berbeda, melindungi cacat dan kerapuhan di dalam dirinya. Hati yang tidak dan tak akan utuh. Damien menyadari, bahwa ia tidak lagi memiliki tempat di dunia—sehingga, ia memilih untuk melarikan diri.

Ia cukup paham dinding Akademi tidak akan terus-menerus melindunginya, maka dari itu ia mulai mempelajari lautan. Membangun kapal impian dengan hasil kerja keras tangannya menambang di Cayenne. Bersama orang-orang terpercayanya—awaknya—menjelajahi dunia, mengarungi samudera, jual beli bahan baku eksotis, melarikan diri sejauh mungkin. Tanpa mimpi, tanpa kewajiban, mengembara tanpa tujuan, namun, setidaknya, jauh dari Cayenne.

Berhenti melarikan diri, ujar Ethan. Napas terengah-engah almarhum adik tirinya itu seakan menerpa wajahnya. Damien berhenti di ambang koridor yang mengarah ke asrama murid laki-laki. Kilas balik itu menyerbu benak Damien. Kala itu ia baru saja memberikan pelajaran kepada para berandalan yang menindas Ethan. Pipi tergores, pembuluh darah di bibirnya pecah, buku-buku jari bengkak dan berdarah. Ethan menghadang jalannya balik ke kamar.

"Aku tidak perlu dilindungi olehmu." Suaranya lantang, padahal lututnya merah akibat jatuh didorong penindasnya. Damien tahu, Ethan benci dilindungi. Hal itu membuatnya tampak lemah.

Damien menghela napasnya. "Aku kakakmu. Sudah sepantasnya aku melindungimu. Calanthe bisa saja memenggal kepalaku."

"Seperti dia memenggal kepala ibumu?"

Hubungan Ethan dan Damien, seperti kakak adik kebanyakan, tidak luput dari pertengkaran. Namun, kali itu berbeda. Entah apa yang dipikirkan Damien detik itu, bertahun-tahun lalu, hanya ada amarah amat besar membakar hatinya. Ia babak belur dan lelah. Ia lelah tidak dihargai atas semua yang telah dilakukannya. Ia lelah menjadi noda di pelupuk  mata Ethan dan Calanthe. Tetapi, ia mampu menanggung segalanya. Segalanya, kecuali satu itu. Ethan telah melangkahi batas terlarangnya. Dan ia murka, seorang raja tiran di kerajaan kecilnya. Ia seorang pengecut, menindas adik tirinya sendiri, memastikan Ethan merasakan penderitaan yang juga ia rasakan.

Tetapi, kehidupan Ethan penuh keberuntungan. Jikalau Damien membawa segenap neraka bersamanya, hal tersebut tak akan pernah cukup untuk menyiksa Ethan. Beratus-ratus cemoohan dari teman-temannya, namun Ethan selalu menemukan cara tersenyum bahagia. Sebab, di sisi adik tirinya itu ada Daria. Bocah dengan perasaan paling jujur, keberanian paling kesatria, dan senyuman paling murni. Senyuman yang kuasa menularkan kebahagiaan.

Damien iri kepadanya. Setiap detik dan sepersekian detiknya, Damien mempertahankan senyum palsu agar orang-orang mencintainya. Tapi, Daria seakan tidak peduli akan dicintai atau dibenci. Ia tersenyum dengan menjadi dirinya sendiri. Menjadi seorang... Daria. Sekalipun seluruh wanita di kelas memusuhi dan menindasnya, Daria selalu memberikan senyuman terbaiknya. Bagaimana kau bisa tersenyum bahagia setelah apa yang mereka lakukan kepadamu? Andaikan Damien memiliki setitik saja kebahagiaan yang Daria miliki, apakah hidupnya akan berubah?

Ketika sinar jingga senja menyorot matanya, Damien memutar langkahnya kembali menuju ruang tarung Kelas Duel dan Tempur. Ia akan mengambil jasnya yang tertinggal sebelum menikmati malam ibukota Waisenburg bersama awak kapalnya. Makan, minum anggur, dan mendengarkan cerita-cerita konyol keseharian awaknya. Bahkan setelah Cadmus memutuskan secara sepihak penobatannya sebagai pangeran mahkota, Damien masih menyempatkan diri berlayar keliling dunia, terutama ke Cardinia, atas permohonan Ethan.

Tangan Damien menggenggam gagang besi pintu, mendorongnya buka. Deretan loker terpampang di sisi kiri dan kanan dekat pintu masuk sementara—Daria berdiri dibasuh cahaya sore di tengah arena. Pemandangan itu menyita seluruh indra Damien, denyut syarafnya, serta detak jantungnya. Ia tahu esensi wanita itu sudah lama menjejak di relung dadanya, namun baru kali ini ia menyadari seribu keindahan yang ia lewatkan.

Damien dipastikan mengernyitkan dahi ketika teman-teman seangkatannya membicarakan Daria dalam nada mendamba. Bagi Damien, Daria tidak pernah lebih dari bocah tukang marah yang berani babak belur demi Ethan. Oh, dasar manusia imbesil. Daria tidak hanya cantik. Wanita itu luar biasa indah.

Rambut cokelat panjangnya bersinar keemasan seperti karamel, tebal dan tampak halus. Profilnya mengagumkan, garis rahang yang diciptakan bagi ciumannya. Mata biru kelabu besar, ujungnya sedikit terangkat, melelehkan tungkai pria manapun dengan lirikannya. Bibir merah muda yang tidak pernah lelah tersenyum. Damien jadi menerka apa rasa permukaan lembut itu di bibirnya, di sekujur tubuhnya.

Bagaimana mungkin Ethan menyia-nyiakan wanita seperti Daria?

            Pundaknya berubah siaga menyadari kehadiran Damien. Tatapan Daria berubah tajam, mengawasi gerak-geriknya. Sudut-sudut bibirnya ketus, detail mikro yang muncul tiap kali Damien datang. Sekalipun, pikir Damien, senyumannya dimiliki semua orang, bibir cemberut itu hanya teruntuk dirinya. Satu-satunya tentang Daria yang ia miliki.

            "Damien," mulai wanita itu. Cara lidah Daria melafalkan namanya sempurna.

            Langkah Damien menghapus jarak, berhenti di sisi arena saat menangkap kegelisahan Daria. "Daria."

            "Apa kau ingat aku pernah meninju pipimu hingga biru di tepat di arena ini?" Kegelisahan itu pergi entah ke mana. Daria menghampiri sisi arena, menggenggam tali temali pembatas sebagai tumpuan. Aroma wanita itu lagi-lagi memenuhi penciumannya.

            "Aku sudah terbiasa dengan amarah wanita," aku Damien. Terutama dengan amarah Calanthe. Bekas cambukan di punggungnya berdecit nyeri.

            Sebuah kesiap lolos dari mulutnya. "Kau pantas mendapatkannya." Daria menyipitkan mata.

            Damien memejamkan kelopak matanya, menghalau aroma Daria memabukkan akal pikirnya. Momen itu kembali berputar di benaknya. Instruktur Kelas Duel dan Tempur memasangkan mereka sebagai lawan bertarung. Damien menolak untuk melawan Daria karena ia pikir itu adalah cara terbaik untuk melindungi makhluk berharga di hadapannya.

Ketika Damien membuka matanya, permukaan biru kelabu itu seolah menerawang jiwanya. Memerangkapnya dalam labirin pesona. "Aku tidak ingin melukaimu," suaranya lirih.

"Tapi, kau melukai harga diriku." Nada Daria satu tingkat lebih tinggi. Kulit putihnya berubah merah oleh marah.

Ia tidak pernah bermaksud untuk melukai harga diri Daria. Tetapi, sejak kapan dunia berjalan sesuai kehendaknya? "Aku tidak pernah meremehkanmu, Daria, atau wanita manapun." Wajahnya berubah gelap. Ia tahu apa rasanya ketika kebahagiaan itu direnggut. "Tetapi, melawanmu? Itu satu-satunya hal yang sangat, sangat, sangat ingin aku hindari. Kau harus mengerti."

Dan tekad Daria sekeras batu manapun. "Aku tidak seperti wanita lainnya."

Tentu saja tidak. Kau berbeda. Aku tidak mengenal wanita lain seperti aku mengenal dirimu. "Tidak. Pemikiran untuk melukai dirimu sedikit saja, melukai kebahagiaanmu—" mendadak, embusan napasnya tercekat.

Kedua telapak tangan Daria hangat membungkus punggung tangannya. Lebih kecil dari miliknya, namun menguarkan kekuatan melebihi pria manapun di muka bumi. Kekuatan yang selama hidupnya Damien cari. Tatapan Daria menemui diri kecilnya dan kalimatnya merangkul sosok rapuh di dalam dirinya.

"Aku tidak lemah, Damien. Pukulanmu tidak akan cukup menjatuhkan aku. Ayunan tinjumu tidak akan melukai kebahagiaanku," ujar Daria." Percayalah, aku lebih kuat dari yang kau kira."

            Kata-kata itu menyentak pilar hatinya. Sebab, selama ini, dirinya lemah. Ia tak ubahnya seorang pengecut, menyembunyikan kesedihanya dengan berpura-pura menjadi raja. Dan menyaksikan senyuman Daria yang lebih terang dari matahari sekalipun—Damien bertekad untuk melindungi wanita itu kendati tahu bahwa ia tidak akan pernah memilikinya. Ia tidak tega melukainya. Tetapi, Daria membuktikannya salah dalam berbagai cara.

            Dingin menyapa kulitnya kala Daria melepas genggamannya, lalu mundur sepuluh langkah. Kedua tangannya mengepal, bersiap di hadapan wajahnya. Ia membentangkan kuda-kudanya. Meskipun bibirnya mengerucut jengkel, namun kilat bahagia di matanya mustahil Damien salah terka. Wanita itu selalu mencintai adrenalin.

            Sebelah tangannya mengisyaratkan Damien untuk maju. "Lawan aku. Aku akan menghancurkan hidung sempurnamu itu."

            Damien menghela napas tajam, tetapi tidak mampu membendung senyum yang mengembang di bibirnya. Ia mulai menggulung lengan kemejanya, "Daria—"

            Detik itu, isak tangis menyusup di antara momen mereka berdua. Lihat apa yang wanita itu lakukan terhadapnya. Damien nyaris melupakan sekelilingnya. Daria menoleh ke kanan dan kiri, mencari-cari sumber suara. Langkah Daria lebih cepat dari tungkai Damien menghampiri ruang ganti pria. Biasanya, seorang wanita, sedikitnya, akan merasa keberatan saat memasuki ruang ganti pria. Namun, Damien kembali mengingatkan dirinya sendiri, Daria bukan wanita biasa.

            Seseorang sedang meringkuk dekat pintu masuk ruang ganti. Damien mengenalinya sebagai anak tahun kedua berambut merah di Kelas Duel dan Tempurnya. Anak itu masih mengenakan pakaian duelnya. Pelukan Daria mengelilingi tubuh kecilnya yang bergetar. Jemari lentiknya mengelus puncak kepala anak itu, menghantarkan ketenangan. Melempar ingatan Damien ke masa lalu di mana Ibu menghapus kesedihannya, menyapu air matanya.

            "Sssh." Ibu jari Daria mengusap aliran sungai di pipi anak itu. "Tidak apa-apa, aku di sini."

            "Clarke, bukan?" tanya Damien, berjongkok di hadapannya. "Ada apa?"

            Anak itu mengintip dari lingkar peluk Daria. Matanya merah. Ia menangisi seluruh hatinya. "A... me-mereka membuang seragamku... aku tidak tahu kemana..." Tangisnya kembali meledak.

            Daria menyipitkan mata ke arah Damien. "Bisakah kau diam?"

            "Hmm." Damien berdiri, menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, berjalan menuju jendela di seberang ruangan, mengintip. Apa yang tampak seperti seragam Akademi tersangkut di ranting pepohonan taman di bawah. Ia terlampau jauh mengenal kehidupan di Akademi sampai-sampai kejadian seperti ini tidak lagi mengejutkannya.

            "Apa Reynolds yang mengganggumu?" Damien mustahil keliru. Seorang brengsek mengenal brengsek yang lainnya. Bahkan pada kelas pertamanya, Damien seketika mengetahuinya. Pembawaan yang congkak, superior, dan disukai teman-teman sekelasnya. Tidak ada yang berani melawannya. Damien pernah menjadi bagian dari lingkaran pecundang itu. Para brengsek itu. Mereka yang memangsa bocah kerempeng, lebih lemah dari mereka, demi membuktikan... apa? Mungkin, rantai makanan tidak kasat mata.

Melihat masa lalunya, Damien ingin menampar sosok brengseknya, berkali-kali.

            Clarke mengangguk. "Aku kecil dan aku juniornya... ja-jadi... ia—"

            "Reynolds?" desis Daria. "Aku akan memberinya pelajaran." Ia meluruskan tungkainya, membawa Clarke berdiri bersamanya. "Katakan kepadaku, bagian tubuh mana yang ingin kau buat patah."

            Dinding-dinding Akademi seakan tidak puas membisikkan masa lalu. Suara Ethan berkumandang, aku tidak perlu dilindungi olehmu. Ethan benci dilindungi. Jika perlindungan yang ia inginkan, ia bisa saja meminta pertolongan dari guru dan instruktur. Namun, Damien ingat tinju kurus Ethan terkepal, menantang teman-temannya yang bertubuh dua kali lebih besar. Kakinya berdiri tegak meskipun gemetar. Pandangan tidak menyerah kendati matanya biru, banjir air mata. Minyak yang membakar api semangat teman Damien untuk menyiksanya lebih lanjut. Menertawakan kelemahan Ethan.

            Itu adalah keberanian adik tirinya. Dan orang-orang seperti Ethan tidak sekadar butuh dilindungi, mereka tidak membutuhkan orang lain melakukan pekerjaan mereka. Ethan—mereka ingin menunjukkan kekuatan mereka. Kekuatan untuk membela diri sendiri. Membuktikan nilai mereka tidak seremeh yang dipandang orang lain.

            Bagai hendak menebus kesalahannya terhadap Ethan, Damien mendekati Clarke. "Ikuti aku."

            Mata Clarke membelalak. "A-aku?"

"Ya," Damien tersenyum miring,  "Aku akan mengajarimu cara menghajar orang-orang brengsek."  []

Selamat hari Minggu semuaaa~ Jangan tidur malam malam yah kaliaaan, selalu jaga kesehatann karena hari esok kita akan banting tulang lagi :')

Jangan lupa dukungannya pembacaku yg kucintah<3 aku akan selalu update cerita ini, tetapi tentu aja dukungan kalian akan bikin aku semangat untuk terus melanjutkan cerita iniiii~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top