7 - Daria

Keesokan harinya—Daria nyaris kesiangan. Ia mengenakan pakaian berkuda terbaiknya, mengikat rambutnya menjadi satu. Langkah yang dikerahkan tungkainya merupa ketukan kebanggaan, menggema di sepanjang lorong Akademi. Beberapa siswa menyapanya, mengenal Daria dari perkenalan guru dan instruktur di upacara kemarin. Daria menyunggingkan senyumnya yang paling lebar, melambaikan tangan ke kanan dan kiri, membalas sapaan mereka.

Daria mengenal koridor tersebut terlampau baik meskipun sudah bertahun-tahun tidak menjumpainya. Koridor yang setiap kali ia lalui menuju Kelas Duel dan Tempurnya penuh semangat. Koridor tempatnya dikejar segerombolan penindas Ethan yang ia coba kecoh. Koridor yang berubah maram kala malam, tetapi Daria tidak pernah takut menyelinap ke taman Akademi demi berbaring bersama Ethan, memandangi rasi bintang. Tanpa Daria sadari, Akademi menyimpan lebih banyak memori dari yang ia duga.

Langkahnya berbelok pada tikungan pertama, bentangan hijau lapangan terpampang di kanannya. Hari pertama Kelas Duel dan Tempur, sesuai kurikulum, Daria akan memperkenalkan berbagai senjata yang digunakan dalam pertempuran juga cara menggunakannya dengan tepat. Daria melipat bibirnya erat, menahan antusiasme yang membuncah di dasar tenggorokannya. Sudah lama sejak terakhir kali ia mengayunkan pedang dan ia tidak bisa menyembunyikan kegirangannya.

Ketika sepatunya memijak lapangan, aroma lembab rerumputan memasuki penciumannya. Pagi musim semi itu sempurna. Matahari bersinar terang, tetapi tidak cukup menyengat puncak kepalanya. Pepohonan yang tumbuh di sekeliling lapangan mulai menunjukkan keindahannya: hijau, merah muda, dan warna-warni.

Daria berjalan menuju kumpulan siswa di tengah lapangan, berbaris rapi. Pandangannya menangkap seseorang—seketika, Daria menyadari ia harus berhati-hati dengan ucapannya, terutama doa dan harapannya.

Jangan pernah berharap, nanti kau kecewa.

Demi dewa- dewi. Benar saja!

Daria hampir mengentak kakinya ketika berhenti tepat di belakang barisan siswa. Ia melemparkan tatapan yang lebih tajam dari pisau ke sesosok pria tengah berdiri di hadapannya. Sekalipun pria itu sedang memberikan pengantar pelajaran, mustahil ia tidak merasakan gelora tatapan Daria. Kerlingan hijau maniknya menemui milik Daria dalam sepersekian detik sebelum tangannya memberikan isyarat.

"Kemarilah, Daria." 

Semua kepala yang ada di lapangan serentak memusatkan perhatiannya kepada Daria. Ia memaksakan sudut-sudut cemberut bibirnya untuk tersenyum. Barisan itu membuka, memberikan jalan bagi Daria untuk mengambil posisinya di depan kelas. Menghampiri Damien, Daria memberikan tentang ketidaknyamanan di antara mereka. Kenapa, dari semua manusia di muka bumi, dari segala kemungkinan yang ada, Daria harus kembali dipertemukan dengan pria ini?

"Silakan, perkenalkan dirimu." Damien mengucapkannya seakan-akan Daria adalah bayi tiga tahun yang baru belajar berjalan.

"Aku Daria, instruktur pengganti untuk dua minggu pertama kalian," ujar Daria. "Kita akan bertemu dua kali dalam seminggu sehingga kita mempunyai empat kesempatan untuk saling mengenal lebih dalam."

Pandangan Daria mengitari barisan siswa di hadapannya, murid yang lebih muda memandanginya dengan mata berbinar-binar, menampakkan semangat yang sama seperti Daria kobarkan di hari pertama Kelas Duel dan Tempur. Sedangkan murid yang lebih senior saling berbisik satu orang ke yang lainnya, sesekali melirik Daria.

Sebelum Damien sempat membuka mulutnya, Daria tersenyum dan mengangkat sebelah alisnya. Ia tidak akan membiarkan Damien dengan mudah mengambil alih kelasnya. "Apakah ada yang ingin bertanya sebelum kita melanjutkan kelas?"

Seorang laki-laki di barisan paling belakang, bertubuh lebih besar dari temannya, mengangkat tangannya. Sesuatu mengenai wajahnya menyiratkan keusilan. "Kudengar kau seorang putri dari Reibeart. Apa itu benar?"

Mata Daria membelalak, tidak menyangka pertanyaan itu keluar dari mulut muridnya. Ia sudah mempersiapkan jawaban atas semua materi seputar pertarungan, tetapi tidak untuk yang satu ini. Untungnya, Daria selalu menjunjung tinggi spontanitas. "Benar. Nama lengkapku Daria Valencius of Reyes, tapi aku harap kalian tidak sungkan bertanya mengenai pengalaman bertarungku."

"Ah." Murid itu terkekeh, "Tidak heran kau seindah seni."

Pernyataan itu mengundang siulan dari murid lain. Teman-temannya mulai menyikut sisi tubuhnya, memuji keberaniannya. Ini mengingatkan Daria sebagaimana di masa lalu, teman seangkatannya bisa dipastikan berubah gila ketika diajar guru perempuan. Tidak mengherankan, sungguh, sebab sebagian besar murid Akademi berkelamin pria dan jumlah murid perempuan bisa dihitung jari.

Daria mengingat bunga-bunga yang berserakan di depan lokernya tiap Hari Kasih Sayang. Surat-surat cinta yang diselipkan ke dalam lokernya. Daria percaya hal tersebut terjadi bukan karena kepopulerannya, melainkan lebih karena ia merupakan bagian dari lima persen populasi perempuan di sekolah. Tetapi, sebanyak apapun surat cinta itu menumpuk di lokernya, Daria tidak pernah sekali pun peduli untuk membukanya. Perhatiannya hanya dan selalu untuk Ethan.

Meskipun—Daria menghela napasnya—pria itu bukan tipikal pria romantis. Dan, tampaknya, Ethan menangkap hal yang sama di diri Daria. Daria? Romantis? Tunggu semua air di samudera menguap.

Daria membalas, "Terima kasih." Lalu, mengalihkan pandangannya ke sisi lain barisan, "Aku memberikan kesempatan terakhir untuk bertanya sebelum—"

"Apa kau menyukai pria yang lebih muda?" Murid itu kembali bertanya.

Ia menghirup napasnya dalam-dalam sebelum mengembalikan perhatian ke tempat murid itu berdiri. Daria mengernyitkan dahinya. "Siapa namamu?"

"Reynolds," ia menjawab.

Suara Damien membelah percakapan mereka bagai gemuruh di pagi hari. "Reynolds," ujarnya penuh peringatan, "Jangan kau coba-coba. Dia akan meninju matamu terlebih dahulu sebelum kau sempat memacarinya."

Sepersekian detik kemudian, satuan tawa meledak di antara para murid. Wajah Reynolds merah, namun tampak senang atas perhatian yang ia dapat dari teman sekelasnya. Kelas tidak pernah berubah, pikir Daria. Selalu ada pribadi yang menyukai perhatian, mencuri semua lampu sorot ke arahnya. Bersinar dan sebagian besar orang menyukainya karena, pada dasarnya, manusia mencintai keindahan dibandingkan kesederhanaan.

"Kelas, tolong tenang. Kalau begitu, sekarang..." Damien menepuk tangan, menghentikan kasak-kusuk di hadapannya. Ia tampak luwes saat memberikan arahan kepada para murid untuk membentuk dua kelompok. Satu kelompok akan Daria bimbing dan yang lainnya di bawah tuntunan Damien. Ia melakukannya semudah menjentikan jari, seakan-akan ia terbiasa mengorganisasikan sekumpulan orang. Awak kapalnya, misalnya.

Daria memandangi sisi wajah Damien, hamparan kulitnya yang sering berada di bawah pengampunan matahari. Seorang penjelajah yang telah melakukan ratusan pelayaran. Tidak ada laut yang tidak pernah ia arungi. Kenangan masa kecil Daria berkelebat di benaknya. Sebagaimana ia selalu menyukai cerita petualangan dibandingkan dongeng cinta kerajaan. Mengapa ia menggebu-gebu bertemu banyak orang dengan kebudayaan beragam di Akademi. Alasan kenapa ia sering menyelinap dari kastil, jalan-jalan keliling kota.

Keluarga selalu menjadi prioritas Daria, tetapi ia tidak bisa mengelak bahwa ia mencintai hal-hal baru. Ia seorang penjelajah yang penasaran, ia akan memetakan seluruh daratan baru yang ia pijak. Ia juga tidak pernah takut berpetualang dan keluar dari zona nyamannya. Apabila seribu ombak menantinya, Daria akan menaklukan kesemuanya. Dan Damien adalah segala yang selalu Daria impikan.

Seolah terpanggil, Damien membalas tatapannya. Alur pemikiran Daria putus detik itu juga dan, hei, tunggu—Daria memejamkan matanya rapat-rapat, berusaha untuk mengusir kekaguman yang mengembang di dadanya. Kagum? Ia tidak seharusnya kagum kepada seseorang seperti Damien. Daria, juga, memiliki kelebihannya sendiri... yang akan ia tunjukkan tepat di depan mata pria itu. Lihat saja dia!

Dengan kasar, Daria memutar badannya memunggungi Damien. Memimpin sebagian murid ke sisi lapangan dilengkapi target-target panah. Tempat sempurna untuk memamerkan kemampuannya. Jujur, Daria lebih suka mengayunkan pedang dibandingkan memanah. Ia lebih menyukai pertarungan satu lawan satu daripada pertarungan jarak jauh. Tetapi, bidikannya jitu. Ia selalu mampu menerka ke mana arah angin berembus serta kapan ia harus melonggarkan senar busur panah.

Daria melambaikan tangannya, membariskan murid beberapa meter dari target. "Baiklah, semuanya, perhatikan aku."

Para murid di hadapannya diam, belasan pasang mata yang penasaran itu mematri pandangan ke Daria. Mengikuti setiap pergerakannya. Daria memilah busur yang akan digunakannya, mempertimbangkan berat senjata itu dalam genggamannya. Ketika ia memutuskan sebuah busur, Daria meraih sekumpulan panah sebelum berdiri di hadapan target. Menghela napsanya, ia meredakan tegang di pundaknya.

Ia berdiri tegak lurus terhadap target, kakinya sedikit membuka. Mengangkat busur tersebut di tangan, Daria mengarahkan pundak kirinya menuju sasarannya. Punggungnya setegak pohon manapun, tidak goyah setitik pun saat menyematkan anak panah di busurnya. Cara Daria berdiri tegas dan waspada, namun leluasa, tak ubahnya Dewi Malam yang memanah matahari jatuh.

Dari sudut matanya, ia menangkap sekelebat sosok tinggi Damien mengamatinya. Angin berembus, meniup helai rambutnya, menampakkan bekas luka di alis kirinya. Manik hijaunya melekat di sekujur tubuh Daria. Tepat apa yang ia inginkan. Kemudian, jemarinya melakukan manuver memanah yang terlatih. Ia cekatan membebaskan panah dari senar. Satu. Desing indah itu bagai lantunan yang memanjakan genderang telinganya. Tepat sasaran. Mengisi kembali dengan kecepatan kilat. Dua. Tiga. Dan seterusnya, tidak pernah meleset hingga seluruh target penuh oleh anak panahnya.

Daria berbalik mendapati belasan mulut di hadapannya menganga, lidah mereka semua kelu. Daria berkacak pinggang, "Dan itu adalah cara kalian menggunakan panah."

Laiknya bangun dari tidur yang panjang, satu per satu muridnya mulai bertepuk tangan atas pertunjukan luar biasanya. Daria tersenyum lebar, menghadap ke sisi lain lapangan. Mendapati Damien masih berdiri tegap di posisi yang sama, tidak sedikit pun beringsut dari tanahnya berpijak. Ingatan masa lalunya berkilas di balik matanya. Sebagaimana harga diri Daria dilukai karena Damien menolak untuk bertarung dengannya. Lalu, kemarahan yang mengikuti Daria.

Ia mengangkat dagunya dalam sudut arogan, berkata: Kau lihat itu? Sekarang, kau tidak bisa meremehkan aku lagi.

            Pria itu tidak menunjukkan ekspresi tercengang yang ia harapkan. Dua sudut bibirnya membentuk sebuah senyum samar, namun bukan jenis yang Daria benci. Tak ubahnya sebuah pengakuan. Seakan-akan Damien mengenali dan telah lama mengakui kemampuannya.

Aneh. []

Halooo heheheh selamat malam semua jangan lupa makan malam yaah semua muah muah muah.

Jangan lupa berikan dukungan apapun itu yah MUAH MUAH <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top