3 - Damien
Keesokan siang rombongan Reibeart pergi meninggalkan Cayenne. Damien yang masih kesulitan tidur, menyibak tirai jendelanya. Ia memandangi kumpulan kereta kuda tersebut—mengharapkan apa? Ia mendengus akan tindakan bodohnya, otaknya menertawakan kekonyolannya. Lebih baik ia kembali tidur.
Damien baru saja hendak menutup kembali tirai saat sebuah kepala familiar menyembul dari jendela kereta kuda. Mengernyitkan dahi, Damien memastikan dugaannya. Daria. Raut wajah kagum wanita itu berubah kesal dalam sepersekian detik yang singkat mendapati Damien di salah satu bingkai jendela. Alisnya curam sedemikian rupa, hidungnya mengerut tidak suka, dan bibirnya mengerucut. Dari ekspresinya, Damien tahu kalimat apa yang terlintas di benak Daria. Apa kau lihat-lihat? Mau mati?
Sebuah ketukan berkumandang dan hingga saat itu, Damien tidak menyadari sudut bibirnya terangkat. Suara tua seorang pelayan memasuki pendengarannya.
"Yang Mulia, kehadiran Anda diharapkan di ruang takhta."
Membalikkan badannya, Damien bersedekap. "Aku akan berlayar siang ini." Benar. Ia harus menepati janjinya kepada Ethan. Ia tidak boleh berlama-lama di Cayenne. Sehingga, ia mengangkat kedua bahunya tidak acuh, melangkah menuju kamar mandi. "Lagipula, sejak kapan Calanthe menganggap penting pendapatku? Wanita itu dapat melakukan semua hal sesukanya dan aku akan tetap menjadi kambing hitam kalian."
"Yang Mulia," pelayan itu berdeham, "sang raja mengharapkan kehadiran Anda. Tolong persiapkan diri Anda, saya akan memanggil seorang pelayan." Pintu di balik punggungnya menutup sopan.
Genggaman Damien mangambang beberapa detik di atas gagang pintu kamar mandi. Benaknya jadi bertanya-tanya, kapan terakhir kali Cadmus meminta kehadirannya? Pria itu—bahkan Damien tidak lagi bisa menganggapnya seorang ayah. Calanthe mungkin menyiksa masa kecilnya, namun Cadmus memberikan pukulan terakhir yang paling menyakitkan.
Pria itu tidak pernah hadir sebagai ayah semenjak Calanthe menghendaki kematian ibunya. Cadmus selalu menutup sebelah mata terhadap semua tindakan Calanthe. Sekalipun wanita itu membuat kulit di punggungnya mengelupas dan perih berbulan-bulan. Sekalipun wanita itu membanting pecahan beling ke kepalanya karena mengajak Ethan bermain. Sekalipun wanita itu melibas pergelangan kakinya hingga berdarah.
Cadmus tidak pernah membelanya. Menghiraukan kehadirannya saja tidak. Pria itu membiarkan semua ketidakadilan yang dialaminya. Dan itu menyakiti hatinya lebih dari yang ia kira. Apa bedanya ia dengan seorang yatim piatu?
Setelah seorang pelayan berusia tidak lebih dari dua puluh tahun membantunya bersiap, mengeluarkan pakaian paling formal yang ada di dalam lemarinya. Damien jadi bertanya-tanya apakah pakaian itu muat di tubuhnya sebab empat tahun telah berlalu semenjak terakhir kali ia mengenakannya. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya mengarungi lautan dan mengeksplorasi tanah yang tidak pernah ia kunjungi—caranya melarikan diri dari kehidupan kastil.
Pelayan itu memakaikan dirinya seragam kerajaan yang didominasi warna hitam dan epolet emas. Sebuah lencana disematkan di dada kirinya, penanda kontribusinya terhadap armada laut Cayenne. Kehidupan di laut yang keras, tanpa ia sadari, mengubah fisiknya. Seragam tersebut sedikit ketat dan sepatu larsnya kesulitan mengukung kakinya, tetapi ia tidak akan lama menghadap Cadmus.
Sepatu lars menjadikan derap langkahnya terdengar kaku. Menggema sepanjang koridor serta lorong yang ia lewati. Dan entah mengapa, gema itu menabuh jantungnya lebih cepat dari sebelumnya, tetapi dalam dentuman yang menggelisahkan. Seakan-akan ia sedang berjalan tepat menuju hukuman matinya.
Pintu ruang takhta tidak sebesar yang diingatnya. Kala kecil ia acap kali bersembunyi di balik gaun ibunya, mengintip rapat dan pertemuan-pertemuan yang ayahnya pimpin. Setelah Ibu meninggal, Damien nyaris tidak pernah mengunjungi ruangan megah itu. Calanthe melarangnya karena menurut wanita itu, darah Damien tidak cukup biru untuk hadir. Menurut Damien, Calanthe mencoba sebisa mungkin menyingkirkan saingan anaknya memperebutkan gelar putra mahkota. Yang mana, sesungguhnya, Damien akan lelang dengan senang hati di pasar terdekat.
Perbincangan di dalam ruang takhta seketika sirna. Kehadirannya mengundang kesiap banyak pejabat kerajaan, namun Damien melangkah mencuatkan dagunya. Ia memberikan hormat kepada seluruh menteri yang hadir, komandan militer, dan dua kepala keluarga bangsawan paling berpengaruh di Cayenne. Ia membungkuk lebih dalam kepada Cadmus dan ketika mengangkat kepalanya, Damien menyadari betapa waktu telah merenggut usia hidup pria itu. Ia tampak seolah akan mati, kapanpun diizinkan.
Damien mengambil tempat di seberang Calanthe, di sisi lain ruangan. Wanita itu masih memiliki tatapan laiknya ular dan Damien yakin, di balik bentangan kipas, bibirnya sedang mempersiapkan bisa paling berbahaya.
"Kalau kau berharap dapat merebut gelar pemimpin Cayenne dengan hadir di sini, maka kau bermimpi terlalu tinggi," ujarnya. "Apakah ibumu yang mengajarimu menerobos masuk ke dalam ruang takhta?" Cemoohan itu mengundang satuan tawa dari para hadirin.
Damien ingat teriak tangis ibunya kala menerobos ruang takhta, memohon pengampunan atas dosa yang tidak dilakukannya. Ingatan itu menyeruak, tetapi Damien mampu meredam pukulan tersebut karena ia... sudah menyangkanya. Ia ingat dirinya yang kecil akan menangis dan meleburkan diri bersama bayang-bayang. Kini, Damien bukan lagi bocah penakut itu, tetapi Calanthe selalu mencari celah untuk menyakitinya. Meskipun, setelah bertahun-tahun, sesungguhnya, tidak ada lagi kata yang dapat mempengaruhi dirinya—setidaknya raut wajahnya.
"Aku yang mengundangnya, Calanthe." Cadmus bersuara dari singgasananya. "Ia akan mengikuti pertemuan ini seperti salah satu dari kalian."
"Ia tidak akan dan tidak bisa menghadiri pertemuan ini." Calanthe memberikan kipas di tangannya ke genggaman salah satu dayangnya. Ia maju, dagunya terangkat angkuh. "Kita tidak bisa melupakan fakta bahwa kematian putraku separuhnya tanggung jawab bocah ini." Para pejabat di sisi wanita itu mengangguk setuju.
"Aku tidak mungkin lupa kau memintaku menyusul Ethan, Calanthe," balas Damien. "Tidakkah itu terdengar seperti kau sedang menjebakku dalam rencana licikmu?"
Calanthe mengeratkan giginya. Untuk ukuran seorang wanita, ia tidak mudah menyerah. "Adikmu adalah tanggung jawabmu. Kau ada untuk melindunginya."
Kalimat itu menancap di hatinya dan napas Damien berubah tajam. Cadmus menghentikan kasak-kusuk yang perlahan memuncak. "Diam." Ketika hening berhasil meredakan ketegangan yang ada, Cadmus mengedikkan kepalanya kepada Menteri Dalam Negeri Cayenne.
Seorang pria kurus yang Damien kenal sebagai salah satu kerabat Calanthe maju. Damien mengernyitkan dahinya sebelum mengedarkan pandangan ke seisi ruangan. Ia meneliti satu per satu wajah menteri yang, dalam kurun waktu tiga tahun, berhasil memperoleh posisi mereka dengan menjilat kaki Calanthe. Ah, begitu rupanya. Calanthe sudah siap menggulingkan Cadmus dari takhta. Damien tidak akan terkejut apabila tiga hari setelahnya, Cadmus akan mati diracuni.
Menteri itu berkata, "Saya merasa bahwa sudah saatnya Yang Mulia Ratu Calanthe diangkat menjadi pemimpin Cayenne selanjutnya. Menurut anggaran tahun lalu, Yang Mulia Ratu terbukti sudah turut andil dalam meningkatkan taraf kehidupan di desa-desa. Saya yakin, seyakin-yakinnya, bahwa ketika sang ratu menjadi pemimpin Cayenne selanjutnya, ia dapat melakukan perubahan besar terhadap kerajaan kita tercinta, Yang Mulia. Dan mungkin membawa kerajaan ke kejayaan yang tidak pernah kita impikan."
Omong kosong. Damien mengangkat suaranya, "Yang Mulia, saya yakin yang dimaksud tuan menteri dalam 'meningkatkan taraf kehidupan' adalah memberikan upeti ke banyak kepala desa untuk mengamankan dukungan dan melaporkan kesejahteraan yang fiktif. Setiap saya berlayar melalui 'desa-desa' yang dimaksud, para penduduk masih sama miskin dan tingkat kelangsungan hidupnya rendah. Beberapa oknum pemilik tambang di desa-desa tersebut masih menggunakan alat tambang usang yang tidak sesuai standar, Yang Mulia. Kelangsungan hidup mereka masih sangat terancam hingga... detik ini."
Keriput di wajah Calanthe semakin dalam, menampakkan kejengkelannya. Sebelum wanita itu sempat menyembur, seorang menteri lain mendengus dari seberang. Salah satu cecunguk Calanthe. "Angka dari laporan sudah mengatakan segalanya, Yang Mulia. Lagipula, siapa yang lebih cocok menjadi pemimpin Cayenne selanjutnya dibandingkan Yang Mulia Ratu Calanthe yang dicintai penduduk di sepenjuru kerajaan?" Ia mengangkat sebelah tangannya. "Siapa yang setuju denganku?"
Enam puluh persen orang di dalam ruangan mengangkat tangan. Sebesar itu pengaruh Calanthe di mahkamah kerajaan. Damien tidak memiliki niatan setitik pun untuk menjadi pemimpin Cayenne selanjutnya. Ia ingin menjelajah, mengeksplorasi tanah-tanah baru, mengarungi bahaya di lautan, berjemur di bawah terik matahari, dan merasakan cipratan asin ombak. Tetapi, ucapan terakhir Ethan berkumandang di benaknya. Kau sendiri tahu kehancuran apa yang akan terjadi bila ibuku duduk di singgasana.
"Ada pilihan yang jauh lebih baik dari sang ratu." Damien membelah anggukan setuju para hadirin. Setiap kepala yang ada, kini, menujukan mata elang mereka kepada Damien. Bagus. "Kerabat jauh sang raja, misalnya, di Fitzalbert."
"Kami sudah menelusuri bahwa semua kerabat jauh sang raja tidak memenuhi persyaratan yang ada, Yang Mulia," balas salah seorang anggota kubu Calanthe.
"Tidak memenuhi persyaratan karena apa? Mereka semua wanita?" Damien mendengus, lalu bersedekap. "Apa bedanya wanita-wanita itu dengan wanita yang kalian calonkan sebagai pemimpin?"
Menteri Dalam Negeri Cayenne mengacungkan telunjuknya. "Tolong jaga kesopanan Anda saat menyebut Yang Mulia Ratu—"
Cadmus, yang sedari tadi tampak bosan menyaksikan pertunjukan bodoh di istananya, menunjuk Damien. "Kau."
Damien membusurkan alisnya. "Yang Mulia?"
"Oh, tidak." Calanthe menghamburkan diri tepat ke hadapan Cadmus. Sebelah tangannya diletakkan di depan dadanya. "Kau pasti bercanda. Anak ini tidak tahu apa-apa, Cadmus." Lalu, dengan lebih perlahan, "Dengarkan aku, ia tidak pernah dididik sebagai seorang pangeran mahkota. Ia tidak memahami apa yang diperlukan sebagai seorang pemimpin. Aku, sebaliknya, mengisi kekosonganmu selama ini! Aku adalah apa yang diperlukan Cayenne untuk mencapai kejayaan."
"Calanthe." Suara Cadmus penuh peringatan dan Damien terkejut mendengarkan kesadaran yang dimiliki pria itu. Raja yang selama ini hanya menjadi boneka sang ratu, menaati gerakan dan dengungannya, menggaungkan kekuasaan yang lebih mutlak dari siapapun di ruangan itu. Sosok Cadmus saat itu mengingatkannya pada sosok pria itu ketika Damien kecil. Berwibawa dan bijaksana.
"Ini tidak masuk akal. Kau—" Calanthe menoleh ke arahnya. Lubang hidungnya kembang kempis tidak beraturan dan matanya seolah dapat keluar kapan saja dari rongganya. "Dia tidak berdarah biru. Ibunya seorang jelata. Kau tidak bisa menodai garis keturunan Cayenne!"
Oh. Entah mengapa, untuk kali pertamanya, Damien bersorak menyetujui Calanthe. Ia tidak menginginkan ini. Ia tidak menginginkan kastil yang menjadi mimpi buruk sekaligus nerakanya. Ia tidak menginginkan gelar yang selama ini diemban adik tirinya, Ethan. Ia ingin hidup bebas bersama awak kapalnya. Duduk dekat api anggun kala malam dan bernyanyi hingga tidur. Ia menikmati kesederhanaan itu. Ia sudah cukup terbiasa melarikan diri seumur hidupnya.
Namun, suara Ethan kembali berputar seolah adik tirinya itu cukup hidup untuk berbisik dekat telinganya. Berhenti melarikan diri. Tempatmu di sini, Damien, di Cayenne. Kerajaan ini membutuhkanmu.
"Dia. Dia tetap putraku," ujar Cadmus. "Dan dia akan menjadi penerusku."
Sial.
***
"Yang Mulia." Damien menutup pintu ruang kerja Cadmus di balik punggungnya. Hampir seabad rasanya kaki Damien tidak memijak karpet mahal ruang kerja Cadmus. Nostalgia menyeruak, membawa kilas balik ingatan masa kecilnya. Dulu, ia terbiasa bermain bersama ibunya tepat di ruangan ini, menunggu Cadmus menyelesaikan pekerjaannya sebelum pergi berpiknik di taman belakang. Itu adalah masa-masa bahagianya.
Hingga, Damien pikir dengan pahit, Calanthe melahirkan Ethan. Bagaimanapun, ibunya, Livana, tidak lebih dari seorang selir. Kedudukannya akan tergantikan begitu sang permaisuri, Calanthe, melahirkan pewaris yang sah.
Cadmus tidak melepaskan pandangannya dari mata Damien sementara tangannya menuang anggur. "Kemarilah," ucapnya sebelum menyesap cairan merah itu. Ia mengedikkan kepalanya, memberi isyarat kepada Damien agar duduk di hadapannya, mengisi gelas kosongnya dengan anggur.
Tetapi, Damien tidak beringsut sedikit pun dari tempatnya berdiri. Setelah bertahun-tahun marah terhadap Cadmus, keakraban mendadak membuat sekujur tubuhnya kelu. "Ada yang perlu saya bicarakan dengan Anda."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan." Cadmus kembali menyesap anggurnya.
"Yang Mulia, saya merasa saya tidak cukup pantas untuk—"
"Aku telah menyurati pendeta dan perdana menteri. Jika Calanthe memutuskan untuk membunuhku malam ini, penobatanmu akan segera dilakukan keesokan harinya. Kekuasaan Cayenne tidak boleh jatuh ke tangan wanita itu—aku tidak menyesali keputusanku menjadikanmu penerusku. Satu-satunya penyesalan dalam hidupku adalah ketidakberdayaanku membiarkan ibumu mati," suara Cadmus serak oleh perasaan yang Damien pikir tidak pernah ada di hati sang raja. Kesedihan yang amat mendalam, menyingkirkan semua rasionalitasnya. Menyiksa dirinya sendiri dengan kesedihan tersebut, hingga tidak ada yang tersisa selain tulang dan daging dan kulit. Tubuh yang tidak sanggup mati, namun enggan merasa hidup.
Damien melirik meja kerja Cadmus. Kecantikan ibunya abadi dalam potret, terbingkai mahoni gelap. Di potret tersebut, wanita itu masih sejelita yang ada di bayangan Damien. Rambut cokelat nyaris hitam di bawah rembulan. Dua manik hijau yang merupakan replika persis miliknya. Banyak penduduk Cayenne menyayangkan kematiannya di usia muda. Tidak sedikit yang bersorak dan menari di atas mayatnya yang menandakan babak baru bagi Cayenne di bawah pengaruh Calanthe. Damien tidak pernah menyadari sebelumnya karena selama ini ia sibuk merasa marah, tetapi, Cadmus mustahil termasuk dalam kelompok kedua.
Bersih dan kilat pada permukaan kaca bingkai menjelaskan segalanya, bahkan sebelum Cadmus sempat angkat bicara. Pria itu membersihkannya secara rutin, tidak membiarkan setitik pun debu pada permukaannya. Kemudian, Damien paham, selama bertahun-tahun pria itu mengabaikannya, sesungguhnya Cadmus menyimpan kesedihan begitu besar. Ia kehilangan wanita yang dicintainya dan tidak kuasa melakukan suatu apapun. Tuduhan Calenthe sore itu dua puluh tahun lalu, di ruang takhta, jelas terngiang di telinganya.
Wanita terkutuk itu mencoba membunuh Ethan!
Tidak ada yang bisa membela ibunya. Tangan Damien mulai gemetar mengingat teriakan Livana memanggil namanya, mengatakan bahwa segalanya baik-baik saja. Tidak. Setelahnya, segala tidak baik-baik saja. Keesokan paginya, kepala Ibu terpenggal dan kehidupan yang semula Damien kenal, pergi meninggalkannya. Dan, kini, ia dipaksa kembali menerima kehidupan lamanya. Ia tidak akan pernah bisa menerima mimpi buruk itu, neraka yang Calanthe ciptakan di muka bumi teruntuknya.
"Itu bukan siapa diriku. Pangeran mahkota—gelar itu tidak pernah menjadi milikku sebelumnya." Damien mematri tatapannya pada wajah Cadmus. Gaya hidupnya yang penuh alkohol meranggaskan kesehatannya.
"Lalu," Cadmus meletakkan gelasnya perlahan, lalu berdiri di hadapannya. Kedua tangannya terlipat, "Siapa dirimu?"
"Aku hanya satu-satunya pilihanmu," ujar Damien sedingin kaca di musim salju, "mencegah Cayenne jatuh ke tangan orang lain."
"Lebih dari itu, Damien. Kau lebih dari itu," Cadmus memperingati. Wajahnya menggelap dan mata birunya berkilat.
Damien memejamkan matanya, menghalau serbuan masa lalu menghantui benaknya. Ketidakbahagiaan, ketersiksaan, dan keterpurukannya yang menempel di tiap sela dinding Kastil Putih. Hal-hal yang mendorongnya untuk terus melarikan diri, jauh dari Cayenne. Jauh dari tanah tempat Calanthe menumpahkan darah ibunya. Damien menghela napasnya, memandangi kedalaman mata Cadmus, mencari keraguan, skeptisisme, dan entah apa. Ia tahu keputusan Cadmus sudah bulat.
"Saya mohon undur diri, Yang Mulia." Damien membungkuk, membalikkan badannya dan merasakan penglihatan Cadmus seakan mampu menembus lapisan pakaiannya. Menemukan tidak sekadar luka cambuk yang menghias punggungnya, namun juga hatinya yang tidak lagi sempurna. Tangannya membungkus gagang pintu saat Cadmus berkata:
"Kau bukan bocah itu lagi, Damien."
Dingin gagang pintu mengaliri syarafnya. Tentu saja. Damien bukan lagi bocah kecil itu. Tidak ada hal yang mampu memecahkan gelas yang sudah pecah. Tapi, Damien tahu ia tidak akan pernah kuasa lari dari masa lalunya. []
Mendadak upload hari ini >< Semoga bab kali ini pun tidak mengecewakan yaaah walaupun belum sempat menceritakan Daria lagi :)
Jangan lupa dukungannya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top