25 - Damien [21+]

Ketegangan awak kapal mereda setelah kapal berlayar ke lautan bebas. Mereka harus menghadapi beberapa kapal perang Waisenburg, namun berhasil melakukan manuver cepat menghindari serangan-serangan mereka. Setiap orang bertanggung jawab atas pos masing-masing, kerja sama mereka merupakan satu kesatuan pengalaman dan suka duka di lautan. Sebab, ombak samudera lebih tidak mengampuni dibandingkan letusan meriam dari Waisenburg.

Matahari menggantung tinggi di langit seusai Damien diperiksa dan diobati oleh dokter kapal, Sir Cassel. Damien menghampiri sisi geladak, menumpukan kedua sikunya sembari memandangi ombak tenang yang mengombang-ambingkan kapal mereka. Kiri dan kanan, menenangkan benaknya. Angin laut menerpa wajahnya, membawa aroma laut, dan segera lidahnya mampu menerka asin air laut. Oh, betapa ia merindukan berlayar.

Telinganya mendengar dua pasang langkah kaki mendekatinya. Damien mengintip dari balik bahunya, mendapati Emilia mengaitkan lengan pada lengan Daria seakan-akan ia adalah hewan yang kesakitan. Daria tampak sedikit risih dengan perhatian berlebihan itu, namun ia tidak menepis bantuan Emilia. Setelah menyaksikan pertarungan mereka di pelabuhan, seluruh awak kapal memperlakukan mereka tak ubahnya barang mudah pecah.

Emilia kemudian meninggalkan mereka berdua, menyadari bahwa majikannya tidak ingin diganggu. Daria mengambil tempat di samping Damien, siku mereka hampir bersentuhan. Damien diliputi dorongan paradoksial untuk menyentuh Daria sekaligus menikmati jarak di antara mereka. Seolah-olah mereka sepasang yang telah lama mengenal serta mencintai, tengah menghidupkan jutaan kenangan indah dari masa lalu mereka.

Mereka membasuh diri dalam hening yang menyiratkan hal lebih banyak dari berkata-kata. Damien memperhatikan profil Daria, panjang bulu matanya, tulang pipinya yang tinggi, serta kulit bersihnya yang tampak berkilau di bawah mentari. Damien menyadari, memandangi Daria memberikan efek ketenangan yang sama seperti ketika ia memandangi lautan. Hatinya sekejap dipenuhi perasaan begitu murni dan warna-warni.

Daria menyelipkan rambut cokelatnya ke balik telinga. Telinga yang mungil dan lembut, setiap seluknya indah. "Bagaimana lukamu?"

"Semua goresan ini akan sembuh dalam waktu beberapa hari," ujar Damien. "Aku pernah mengalami yang lebih buruk. Memar di mataku selama nyaris dua minggu."

Daria tertawa, menangkap maksud Damien. Alunan tawa itu melempar ingatan Damien ke bertahun-tahun lalu, di masa Akademi mereka. Damien menolak duel melawan Daria karena takut menyakiti wanita itu. Tanpa basa-basi, Daria mengayunkan tinju tepat pada matanya, menciptakan biru yang, selama dua minggu, dijadikan bahan lelucon teman-temannya. Setelahnya, beberapa anak perempuan yang tidak menyukai tindakan Daria mulai menindasnya. Damien kala itu tidak diam, memperingati anak-anak perempuan itu untuk berhenti mengganggu Daria.

Selama hidupnya, bagi Damien, tidak ada yang lebih penting dari kebahagiaan Daria, kesejahteraannya. Ia ingin melindungi satu kemurnian yang ia kenal di dunia penuh pengkhianatan dan sandiwara. Namun, nyatanya, tidak seperti dirinya, Daria tidak setitik pun terpengaruh oleh perlakuan buruk orang-orang di sekitarnya. Bagaimana kau bisa tersenyum bahagia setelah apa yang mereka lakukan kepadamu? Damien pernah bertanya. Daria tidak membalas, pertanyaannya disapa diam. Saat itu, Damien tidak memahami gemingnya, mengapa wanita itu memandanginya heran dengan mata biru kelabunya.

Tetapi, kini, Damien menemukan jawaban atas pertanyaannya. Daria tidak pernah mendendam. Sebenci apapun ia terhadap seseorang, Daria tidak pernah mendendam. Hatinya sedemikian luas, namun terlalu sempit bagi dendam. Dan itu merupakan akar masalah mengapa Damien tidak pernah bisa lari dari masa lalunya, dari Calanthe dan siksaannya. Damien tidak pernah melepaskan masa lalunya, maju ke babak yang baru. Itu sebabnya Damien selalu diselimuti ketakutan, merasa dirinya tidak pernah cukup baik.

Selama ini Damien selalu melarikan diri. Menggenapkan kutukan Calanthe bahwa dirinya tidak memiliki tempat di dunia. Namun, detik itu, melihat senyuman Daria, membuatnya ingin memperjuangkan satu tempat di dunia. Hanya satu, di hati Daria. Tidak kurang, tidak lebih, cukup. Ia tidak ingin melarikan diri lagi, melainkan selalu berpulang kepada wanita yang mengajarkannya arti melepaskan. Wanita yang memberikan makna baru dalam kehidupannya, sesuatu berharga yang layak dijadikan pegangan. Wanita yang membuatnya ingin berubah, meninggalkan masa lalunya, dendamnya. Wanita yang memandangi Damien layaknya harta berharga, keajaiban dunia.

"Aku mencintaimu," ujar Damien.

Angin berembus kencang, mengacak helaian rambut Daria, tetapi tidak ada keindahan yang mampu mengalahkannya. Bibir merah mudanya terbelah, bergetar seolah akan mengatakan sesuatu, lalu urung. Matanya membesar, menghadap Damien, segala perasaan bercampur jadi satu: terkejut, haru, dan bahagia di saat yang bersamaan.

"Aku mencintaimu. Sangat, sangat, sangat mencintaimu. Apabila tiada tempat tersisa di hatimu, aku akan memperjuangkan satu titik kecil di hatimu, tempat bagimu untuk selalu menemukanku. Aku akan memberimu bunga, ciuman, dansa, bahkan duel, demi dewa-dewi apabila itu artinya memilikimu. Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan dirimu, Daria, sedetik pun, karena setelah bertahun-tahun melarikan diri—"

Damien menghirup napasnya. Dadanya sesak oleh perasaan yang begitu dalam, begitu kuat. Perasaan yang menyentuh bahkan jiwanya sekalipun. "—aku memiliki alasan untuk menetap. Untuk selalu kembali padamu."

Daria menutup jarak di antara mereka. Kakinya berjinjit sebelum memberikan kecupan seringan kepakan sayap kupu-kupu pada bibirnya. Sebuah ciuman sederhana, tetapi seluruh syaraf Damien lumpuh. Kelopak mata Daria perlahan membuka. Manik biru kelabu itu menemui milik Damien, sarat seribu bahasa, tapi satu makna.

"Aku lebih dulu mencintaimu, kau tahu," balas Daria, napasnya mengembus permukaan bibir Damien. Tapi, bagi Damien, tidak ada lagi yang lebih penting.

Kedua tangan Damien menangkup pipinya. Mencium bibir manis itu dengan segala yang dimilikinya. Damien menyesap bibirnya tak ubahnya oase di padang gurun. Merengkuh cinta yang gagal ia temukan sepanjang hidupnya. Mengulumnya pelan, menikmati tiap detik kebersamaan mereka. Menjilat, menggoda, dan mencintainya.

Daria melingkarkan lengan di seputar lehernya, membawa bibir Damien lebih dekat kepadanya. Ia mencium Damien dengan antusiasme yang sama, seakan hendak melebur bersama Damien, mewujud jadi masa lalu, masa kini, dan masa depannya. Dan Damien menarik tubuhnya lebih erat, merasakan detak jantung Daria bergema ke sudut-sudut raganya.

Damien menggigit bibir Daria untuk terakhir kali ketika mendengar siulan menggoda dari para awak kapalnya. Getar pundak Daria berseteru dengan dadanya, membendung tawanya. Damien mengecup dahi Daria sedikit lebih lama sampai akhirnya wanita itu menarik kerah kemejanya. Kerlingan matanya menggoda. "Mari kita pergi dari sini."

Damien mengangguk samar, meraih Daria, menggendongnya menuju kamar. Setelah mengunci pintu di balik punggungnya, Daria menarik kemejanya, menyatukan kembali pagutan mulut mereka. Damien membiarkan Daria menuntun ciuman mereka. Menikmati setiap isapan, uluman, dan gigitan yang tidak berpengalaman, namun membangkitkan hasrat membludak dalam diri Damien.

Damien memiringkan kepalanya, lidahnya menemui lidah Daria. Menjejaki setiap rongga yang belum sempat Damien sentuh, meraba-raba bagian sensitif mulutnya. Damien mengerang kala jemari lentik Daria menyisiri rambutnya, menimbulkan sensasi serupa listrik sepanjang punggungnya. Membalas sentuhannya, tangan Damien menyusuri sisi tubuh Daria, meremas bokong ranumnya. Menggesek kebutuhannya ke antara selangkangan Daria. Demi dewa-dewi, Damien membutuhkannya. Daria tidak tahu berapa ratus kali ia memimpikan ini semenjak ciuman pertama mereka dan—

Dan Daria adalah kekasih yang pintar nan pemberani, kakinya melangkah mundur tanpa melepaskan pagutan mulut mereka, hingga lututnya menabrak sisi ranjang. Ia menjatuhkan dirinya dengan sukarela di atas hamparan putih seprainya. Pemandangan yang selalu memenuhi mimpi-mimpi Damien, angan-angannya pada siang hari. Daria menjilat bibirnya dan Damien dikuasai dorongan untuk merasakan lidah itu pada puncak dirinya, naik turun, memutar, dan membawa kejantanannya ke dalam rongga mulutnya yang manis, panas, serta sempit.

Tetapi, Damien tahu betul untuk membendung segala keinginanya, kali ini saja. Nanti, dirinya mengingatkan. Sebab ia akan menjadikan kali pertama Daria tidak terlupakan dan, oleh karena itu, Damien akan memastikan Daria menikmati aksi percintaan mereka. Sehingga, ia mengangkat Daria dalam rangkulannya, membenarkan posisi mereka. Damien menempelkan tubuh mereka bagai dua kertas yang melekat. Merasakan payudara wanita itu bergesek dengan dadanya, hangat kewanitannya membelai dirinya. Di detik itu, Damien adalah pria paling sabar di dunia, menghadapi godaan yang berjarak beberapa lapis pakaian.

Damien merasakan jemari Daria mengelus pahanya dan semakin naik ke pinggiran kemejanya, menyentak lembar pakaian itu dari celananya. Lalu, sebagai pribadi penuh rasa penasaran dan keinginan menjelajah yang tiada duanya, Daria mulai membuka kancing kemejanya, satu per satu, menyiksanya. Damien membuang kemejanya ke lantai mengakhiri penyiksaan tersebut hanya untuk disambut siksaan lainnya.

Daria menyusuri otot-otot pada tubuhnya bagai sebuah maha karya seni. Berhenti sejenak, sedikit terkejut akan bekas luka cambuk di punggungnya, jemarinya mengecup tiap luka, satu per satu. Setiap gesekan yang ditimbulkan kuku Daria pada kulit telanjangnya membuat Damien kehilangan kewarasannya, serpih demi serpih. Jemari itu kemudian berhenti pada tengkuk lehernya, membawa bibir Damien kembali menemui miliknya. Sementara tangan Damien lihai menyusup ke balik punggungnya, mengurai pita gaunnya, melonggarkan lembar pakaian itu dari tubuh menakjubkan Daria.

Sebelah bahu Daria yang secemerlang pualam mengintip, merona oleh merah yang mewarnai pipinya. Damien melepaskan pagutan mulut mereka, mengecup daerah di bawah dagu Daria sebelum mencecap asin kulit Daria hingga menemui bahunya. Kecupan Damien menyapa permukaan bahu Daria sebelum menyentak gaun itu lepas dari torsonya, menggantung menggoda pada pinggangnya. Dan selanjutnya adalah pemandangan yang tidak akan pernah Damien lupakan sepanjang hidupnya.

Mata biru kelabu Daria berkabut, kelopaknya berat oleh euforia yang tengah berpusar dalam dirinya. Di antara bibir bengkak itu, Daria menggigit telunjuknya, bagai seorang dewi yang baru mengenal kenikmatan. Kedua payudaranya ranum, puncak merah mudanya mengeras sebagaimana sebagian diri Damien mengeras meminta dibebaskan. Di hadapan Daria, Damien kembali perjaka, pengalamannya selama bertahun-tahun berubah menjadi debu.

Butuh dua detik bagi Damien untuk menyelaraskan pikirannya. Dua jari Damien menggesek puncak payudaranya, merasakan keindahan itu memenuhi indranya. Punggung Daria mengentak ranjang. Damien menangkup payudaranya, meremas gundukan ranum itu dengan sensualitas dan kepelanan yang disengaja. Daria melempar kepalanya ke samping, menyembunyikan erangannya ke permukaan bantal. Dan Damien mencintai fakta bahwa Daria mencintai tindakannya. Ketika Daria melirik dari persembunyiannya, penasaran dengan apa yang akan dilakukannya, Damien meniup puncak payudaranya sebelum membawa keindahan itu masuk ke dalam rongga mulutnya. Daria menggelinjang dan mengerang di setiap isapan, uluman, dan jilatannya.

Damien meraih pergelangan kakinya, begitu rapuh dalam genggamannya. Sentuhannya semakin naik dan kian naik, menyingkap kulit halus di balik roknya, melepaskan dalamannya. Kemudian ia mengusap pahanya, dekat dengan daerah pribadinya yang lembap dan hangat.

Damien mengangkat kepalanya dari payudara Daria dan beranjak ke yang lainnya, memberikan perhatian yang sama, "Katakan padaku apa yang kau inginkan."

Daria memejamkan matanya, membiarkan dirinya dibasuh gairah sebelum menjambak rambut Damien dan berkata, "Sentuh aku."

"Di mana?" pertanyaan Damien mengembus puncak payudaranya sementara jemarinya tidak berhenti mengusap paha Daria dalam satu gerakan memutar.

Daria menelan ludahnya, menikmati sentuhan Damien. "Aku tidak tahu."

"Aku akan memberikanmu beberapa pilihan." Damien mengelus pahanya. "Pertama, di sini." Lalu, membelai kelembapannya, bibir kewanitannya, tubuh Daria bergetar. "Kedua, di sini." Terakhir, ia menggoda liang sakral itu, sedikit saja—tidak berlebih, dan punggung Daria mengentak kasur. "Ketiga, di sini."

Damien menengadahkan kepala, matanya berkilat. "Yang mana, Sayang?"

Daria menggigit bibirnya, matanya terpejam erat saat berkata, seakan tidak mempercayai dirinya sendiri. "Ketiga."

Damien menuruti pinta wanita tercintanya. Jemarinya meluncur masuk dengan mudah. Dinding-dindingnya yang licin mengisap jari tengahnya. Damien mulai meraba, menjelajah, mengelus titik sensitifnya. Daria mencakar seprainya sebagai tambatan akal sehatnya. Tubuhnya menggelinjang terhadap setiap sentuhannya, gerakan keluar masuknya. Pinggulnya menggesek pinggul Damien dalam ritme yang primitif.

Sebagai hadiah, Damien menghadiahi Daria jari lainnya. Daria terkejut, matanya membelalak terbuka, tetapi ia mendesah senang. Dan Damien menyaksikan mimpi erotisnya menjadi kenyataan. Daria yang mengendarai jari-jarinya, pinggul lembut wanita itu mengentak meracau, membawanya satu tingkat lebih tinggi dari sebelumnya. Bibir Damien menemui pembuluh darah pada leher Daria, menyerbu permukaan kulitnya dengan ciuman, lalu mengerang. Daria begitu indah, panas, sempit, dan Damien membutuhkannya.

Damien menarik diri dari Daria dan seketika, raut kecewa mewarnai wajah cantiknya. Mata biru kelabunya berkabut, napasnya terengah-engah dari bibirnya yang membelah terbuka, menampakkan lidahnya yang menggiurkan. "Sssh," Damien menenangkan sembari menempatkan dirinya di antara paha Daria, membuka celananya.

Sorot pandang Daria jatuh pada kejantanannya. Daria segera melekatkan kedua pahanya. "Tunggu."

Damien merangkak di atasnya, mendekatkan wajahnya kepada milik Daria. Ia mengecup bibirnya sebelum mengangkat sebelah alisnya. "Ada apa?"

Daria mengerutkan dahinya. "Kau besar."

Sebuah tawa lepas dari tenggorokan Damien. "Apa kau kira milikku tidak cukup besar untuk seleramu?"

"Bukan," Daria bergerak gelisah di bawah tubuhnya, "Tetapi, di setiap patung pria yang aku temui di Reibeart, ah... milik mereka mungil. Aku pikir itu cukup menggambarkan anatomi pria, tetapi ternyata—" Daria melambai ke arah kejantanannya. "berbeda seratus delapan puluh derajat. Aku bahkan tidak tahu aku sanggup... kau tahu—"

Damien terkekeh. "Kau tidak akan percaya apa yang tubuhmu dapat lakukan, Daria." Mengelus paha Daria naik turun, ia menggoda kulit lembut di belakang lututnya. Ia berbisik, menelisik rongga telinga Daria dengan lidahnya, erangan wanita itu beresonansi dalam dirinya. "Jadilah wanita yang baik dan aku akan menunjukkan kepadamu kepuasan sesungguhnya, Daria."

"Aku suka mendengarmu menyebut namaku." Daria membuka pahanya, memercayakan dirinya sekali lagi pada Damien. Oh, Daria yang manis. Daria yang polos. Damien ingin mencemari, menghujam setiap sudut tubuh wanita itu.

Damien menempatkan pinggulnya di antara paha Daria, terasa sempurna seakan mereka tercipta untuk satu sama lainnya. Damien mulai memasuki Daria dengan perlahan, berhati-hati tidak menyakiti Daria. "Aku suka mendengar eranganmu."

"Apa aku juga perlu menjerit untukmu?" Sebelah alisnya terangkat menggoda.

Damien tertawa, suaranya serak. Tidak ada wanita lain seperti Daria. "Ya. Jerit namaku, Daria."

"Nama—Damien!" seru Daria terkejut akan hujaman keras Damien. Ia mampu merasakan dinding-dinding hangat Daria meremas kejantanannya dan Damien nyaris kehilangan kendalinya bahkan sebelum mampu menabuh wanita manis di bawahnya.

Lalu, Damien menggoyangkan pinggulnya, membendung hasrat untuk mengentak Daria lebih kencang, lebih keras. Ia membiarkan Daria beradaptasi dengan ritmenya yang pelan dan tidak menuntut. Ketika pinggul Daria mulai bergoyang mengikuti iramanya, Damien mempercepat hujamannya. Setiap hujamannya adalah kebutuhannya, kasar, tidak indah, namun memabukkan. Membawa mereka membubung bersama melampaui euforia. Suara tubuh mereka yang berseteru bercampur dengan jeritan Daria menyebut namanya.

"Damien!"

Dan Damien adalah budak hasratnya. Ia mengentak Daria lebih kuat, membuyarkan setiap partikel rasionalitas di benaknya. Pelepasan berjarak satu helai rambut dari pengendalian dirinya, tetapi belum—sehingga, ia menghujam Daria dengan segala yang dimilikinya. Lebih tinggi, lebih keras, lebih cepat. Ombak terakhir itu datang, tubuh Daria menegang dan—demi dewa-dewi—pemandangan erotis itu menguasainya. Sebagaimana Daria melempar kepalanya ke belakang, bibirnya menyebut nama Damien bagai doa dan dosa, mencapai puncaknya.

Itu, pikir Damien, adalah apa yang namanya bercinta. Sebuah seni, sebuah keindahan, ketika bersama Daria. Tidak lama setelahnya, Damien menarik diri, membungkam bibir Daria dengan ciuman, dan juga, mencapai pelepasannya. Ia berbaring di samping Daria, lemah dan terkulai, merangkul Daria dalam pelukannya. Wanita yang dicintainya. Masa lalu, masa kini, dan masa depannya. Damien mengecup dahinya, lama. Kebahagiaannya. Bagaimana mungkin pernah terbersit satu gagasan gila meninggalkan kebahagiaannya?

Jemari Daria menari di sepanjang rahangnya. Kelopak matanya tampak berat, nyaris menutup saat berkata, "Aku mencintaimu." Lalu, mengulanginya berkali-kali hingga lenyap ditelan lelap.

"Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku, Daria Valencius of Reyes,"Damien berucap tepat di depan dahinya, dikuasai kantuk, "Tetapi, aku menjadi pria yang lebih baik bersamamu."[]

taraa!!!!! aduh selesai juga gaisss aduhhhh :')

jangan lupakan dukungan kalian!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top