21 - Damien
Tangan Damien melakukan satu manuver memutar pada gelas wiski terakhirnya di Waisenburg ketika langit bergemuruh di kejauhan. Damien tidak takut kepada badai: ia sudah melewati ribu amukan badai di samudera yang memporak-porandakan ombak tenang lautan. Segala bahaya dapat terjadi di laut dan hal-hal tidak terduga adalah apa yang membuatnya cinta akan pelayaran, memaksanya terus mengasah kemampuan bertahan hidupnya. Dan di atas semuanya, ia mempunyai awak kapal terbaik di dunia—mereka mengenal samudera sebagai saudara.
Tetapi, kemudian, gemuruh itu menimbulkan ingatan menggelisahkan dan Damien jarang gelisah. Damien menenggak wiskinya, merasakan cairan itu panas menyapa dinding kerongkongannya. Berharap dapat mengusir ingatan yang tidak diinginkannya itu. Lalu, Damien tertawa pahit. Beberapa minggu terakhir, dia bahkan tidak mampu mengendalikan dirinya dengan baik, apalagi benak dan mulutnya. Ia mengatakan lebih banyak dalam satu momen bersama Daria dibandingkan dua puluh delapan tahun hidupnya dan benaknya...
Benaknya menghidupkan kembali rasa kulit Daria pada ujung sentuhannya. Uraian rambut cokelatnya yang jarang Damien lihat, menyentuh pinggang, halus helaiannya pada sela-sela jemarinya. Tubuh gemetar Daria yang berseteru dengan tubuhnya, terasa kecil dan mungil dan menimbulkan dorongan untuk melindunginya. Mata biru kelabu yang ketakutan, tetapi tahu bahwa bersama Damien ia aman. Keyakinan yang Damien inginkan untuk dan bagi dirinya sendiri.
Daria takut petir. Damien jadi bertanya-tanya siapa yang akan menemaninya jika Damien tidak ada di sisi Daria.
Tanpa Damien sadari, ia melirik pintu berulang kali sementara kertuk kakinya tidak sabaran. Sebuah indikasi bahwa alam bawah sadarnya mengharapkan kehadiran Daria mengetuk pintunya, dibungkus selimut, dan menghambur ke pelukannya. Sebab, kini, setelah merasakan kehangatan tubuh wanita itu, bagi dirinya, tidak ada lagi wanita sesempurna dirinya. Dan hanya para dewa-dewi yang tahu hasrat berbahaya apa yang ditimbulkan tubuh maha sempurna itu.
Bukan sekedar hasrat, pikir Damien sembari menuang wiski setinggi dua jarinya, sebuah keinginan untuk memiliki Daria seorang, menghabiskan hidupnya bersama wanita itu. Ia menyukai pertengkaran kecil mereka, adu mulut mereka. Ia memuja cara wanita itu tertawa, pundak bergetar hening sebelum tertawa lepas, bibir kemerahannya melengkung tidak indah, tetapi meninggalkan jejak mendalam di kalbu, hangat dan semerbak. Ia mengagumi kebahagiannya, keberaniannya menjadi diri sendiri serta hal-hal lain yang menjadikan wanita itu berbeda.
Damien selalu tahu Daria berbeda. Ia tidak pernah menyembunyikan perasaannya, tidak peduli orang-orang menjauhinya. Ia tidak pernah pandang bulu terhadap orang di sekitarnya, menebarkan dosis keramahan yang sama ke semua orang serta berjuta hal lainnya yang Damien tidak mampu sebutkan satu demi satu. Damien selalu tahu Daria berbeda, namun baru kali ini dirinya memandang Daria berbeda. Dan itu membuatnya takut. Terlampau takut.
Ia menghirup napas, udara tajam menyayat relung paru-parunya. Demi dewa, Damien menginginkannya, lebih dari apa yang ia izinkan. Damien bisa dipastikan bahagia bersama Daria, tidak ada keraguan sedikit pun. Namun, Damien ragu Daria akan bahagia bersamanya. Damien tidak bisa menyiksa Daria hidup bersama pria pengecut sepertinya. Hidup mereka berbeda. Setelah bertahun-tahun berlayar melarikan diri, Damien tahu tidak mudah baginya menetap, terutama di Cayenne dengan kenangan masa kecil penuh siksanya, tanggung jawab yang menantinya. Sementara Daria butuh menetap, menikah dan membesarkan anak-anak. Dan Damien paham lautan bukan tempat untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Daria berhak mendapatkan pria yang lebih baik.
Rintik hujan menggelitik permukaan kaca jendela tepat saat sebuah ketukan berkumandang. Damien berdiri lebih cepat dari keinginannya, menghampiri pintu kamar. Tangannya mengambang pada gagang pintu, ragu sesaat. Jantungnya mulai berdetak tak menentu, benaknya dipepati pertanyaan mengenai siapa yang berdiri di balik pintu. Pendiriannya berada di ujung tanduk, Damien tidak tahu apakah ia mampu menghadapi Daria lagi. Wanita itu semalam meninggalkan kamarnya dengan mata berkaca-kaca, tangis yang siap diluapkan. Keputusannya semalam adalah keputusan yang berat, namun tepat dan rasional.
Damien membuka pintu, ia akan meluruskan perasaannya kepada Daria, mengemukakan seribu alasan mengapa mereka tidak bisa bersama. Tetapi, kemudian sorot pandangnya harus turun sekitar satu atau dua tingkat, menemui raut cemas Emilia, pelayan pribadi Daria. Bukan Daria yang lebih tinggi dari wanita kebanyakan. Bukan mata biru kelabu yang menyambutnya. Seberkas rasa kecewa melanda sudut hatinya.
"Yang Mulia, maaf mengganggu Anda," ujar Emilia, menekuk lututnya.
Damien tidak berkedip sedikit pun ketika berkata, "Noah tidak di sini."
Ia masih mengingat pertemuan pertama Noah dengan Emilia di kastil, tepat di koridor ini. Jatuh cinta pada pandangan pertama, ungkap Noah kepada Damien di pub tempat biasa mereka minum-minum, begitu cepat dan tidak terduga, mengguncang duniamu, mengocok isi perutmu. Setelahnya, hanya butuh kurang lebih tiga hari bagi Noah merayu Emilia dan wanita itu setengah mati cinta kepadanya. Cinta mereka bagai kilat, namun perasaan Damien terhadap Daria merupakan suatu proses pembelajaran yang berkepanjangan.
Kedut alis Emilia mengisyaratkan bahwa wanita itu tersinggung. "Saya tahu betul di mana Noah, Yang Mulia."
Untuk seorang pelayan, Emilia memiliki pemikiran tajam dan bibir yang terlampau ketus, tetapi Daria tampak tidak menghiraukannya. Seorang Daria membutuhkan seorang Emilia. Damien yakin, siapapun yang mempekerjakan Emilia pasti mempunyai otak cermat untuk memperhatikan itu semua.
"Ini tentang Tuan Putri, Yang Mulia."
Tubuh Damien membeku mendengar nama Daria disebut Emilia dalam nada mengkhawatirkan. Daria berbakat menceburkan diri dalam masalah: itu tidak ada duanya. Bahkan semasa sekolahnya, Damien tidak jarang menyaksikan wanita itu berlari mengelilingi lapangan stadim berkali-kali dalam seminggu. Keberaniannya tidak selalu membuahkan hal-hal yang diinginkan, tetapi entah bagaimana, Daria seakan tidak memahami di situasi dan kondisi seperti apa dirinya berada. Damien, mau tidak mau, diam-diam mengawasi keselamatannya dari kejauhan.
"Ada apa?" Ia tidak menyadari rahangnya mengeras.
"Tuan Putri tidak juga kembali ke kamarnya Yang Mulia," ujar Emilia. "Terakhir Tuan Putri berkata bahwa ia pergi menemui Anda. Lalu, saya juga mempelajari dari Miss Campbell bahwa Tuan Putri melewatkan pelajarannya."
Daria pergi menemuinya. Pengetahuan itu menyenangkan sebagian kecil hatinya, namun kegembiraan tidak pernah datang tanpa imbalan—setidaknya dalam hidup Damien. Damien menilik ke perkara yang lebih besar: Daria tidak pulang ke kamarnya dan Daria tidak pergi menemuinya sepanjang hari. Sesuatu terjadi, menjelaskan kerutan cemas yang mendalam di dahi serta sekitar mulut Emilia.
Sesuatu yang berarti satu hal—dan pemikiran akan hal tersebut mengalirkan gigil di sepanjang tulang punggungnya.
Semenjak kecil, Damien memiliki kepekaan terhadap Zahl bahkan sebelum ia mempelajari apa sesungguhnya kekuatan itu. Damien tidak pernah memahami apa guna bakat terpendamnya itu hingga ia menggenapkan permintaan terakhir Ethan untuk meneruskan tanggung jawabnya sebagai mata-mata bagi Cardinia, memantau pergerakan Dewan Kegelapan yang merupakan nemesis dari kerajaan suci tersebut. Tanggung jawab yang diwariskan turun temurun dari raja pertama Cayenne, tangan kiri Cardinia paling setia. Damien kemudian mengetahui bahwa Ethan tidak memiliki bakat yang sama dan hal tersebut menjadikannya incaran empuk pihak oposisi.
Damien memiliki tugas penting untuk mengonfirmasi desas-desus yang tengah beredar di antara petinggi Cardinia bahwasanya Dewan Kegelapan kini beroperasi di Waisenburg, kerajaan paling kuat di dunia. Mengupas apa yang sedang mereka rencanakan, berapa banyak pasukan yang dimiliki Dewan Kegelapan, dan siapa saja yang terlibat dalam rencana jahat mereka. Dan Damien, seorang tamu yang secara rutin berkunjung ke Waisenburg adalah bidak sempurna, luput dari kecurigaan Dewan Kegelapan.
Lalu, ia mengingat sebagaimana Daria dengan mudahnya terpikat kepada kekuatan mengerikan di bawah tanah tersebut, layaknya serangga yang tertarik pada nyala api. Sebagaimana wanita itu, seperti Damien, mampu mengendus bahaya yang meliputi Kastil Waisenburg, namun memiliki krisis pengendalian diri. Sekali lagi, Damien mengingatkan dirinya sendiri, Daria berbakat menceburkan dirinya ke dalam masalah. Namun, kali ini, air yang tampak dangkal, sesungguhnya, lebih dalam dari palung di lautan manapun. Daria tidak tahu ia tengah menenggelamkan dirinya ke dalam petaka.
Atau, sudah tenggelam ke dalam musibah tersebut.
Damien menghela napas sementara tangannya memijat daerah antara alisnya, berusaha menenangkan jutaan pemikirannya. Apa saja yang mampu Dewan Kegelapan lakukan terhadap seseorang seperti Daria. Seorang penyusup dan, di atas semua, demi dewa-dewi, seorang pengguna Zahl. Sebab, tepat di bawah tanahnya berdiri, Dewan Kegelapan tengah membangun ribuan prajurit pengguna Zahl dan kekuatan itu, Damien tahu, datang dengan pengorbanan. Kengerian yang sama sekali Daria tidak tahu.
Damien akhirnya berkata, "Kemas barang-barangmu dan Daria, lalu temui Noah. Katakan kepadanya untuk mempersiapkan kapal lebih awal dan temui aku dalam sepuluh menit."
"Tunggu, Yang Mulia, ada apa sesungguhnya?" Emilia mengerjapkan matanya berkali-kali, tidak memercayai kegusaran dalam nada suara Damien yang selalu tenang dan penuh pengendalian.
"Sang Putri, Emilia," ujar Damien dengan kepelanan yang disengaja, "sedang berada dalam masalah. Masalah yang amat, amat, amat, besar."
Dan seakan menggenapkan kebenaran dari ucapannya, gemuruh menyambar tidak jauh dari kastil. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top