18 - Daria

Daria pemberani? Coret itu! Demi dewa-dewi mana pun, Daria, sumpah, takut kepada petir. Ketakutan itu bermula ketika dirinya yang berumur tujuh tahun di Kastil Seymour sedang bermain dekat jendela. Hujan deras mengetuk permukaan kaca, tetapi Daria tidak pernah menghiraukannya. Ia sibuk menyusun drama petarungan antara kedua bonekanya. Kemudian, petaka menimpanya. Petir menggelegar dekat tembok kastilnya, suaranya menggetarkan sekujur tubuh Daria. Ia melonjak, terjatuh dari tempatnya duduk, dan kepalanya menghantam sudut tajam dinding kamarnya.

Ia tidak ingat jelas apa yang terjadi setelahnya karena pandangannya buram dan dunia berputar. Ia tahu Esther tergopoh-gopoh menghampirinya, horror menyaksikan darah yang menggenang di sekitar kepalanya. Ia menjerit, memanggil Ibu dan Ayah berkali-kali sementara—tangan Esther berpendar biru, kekuatan tak kasat mata menjahit lukanya. Oh. Demi. Dewa. Dewi. Bagaimana mungkin Daria baru mengingatnya sekarang? Esther menyadari kekuatan Zahlnya lebih dahulu daripada Daria. Dengan Zahl Penyembuhan, Esther menyelamatkan nyawanya.

Meskipun kemudian, mereka berdua terkapar pingsan ditemukan kedua orangtuanya.

            Kilat menyambar, menjadikan ruang kamarnya hitam putih. Mengenal pertanda tersebut, Daria segera menarik selimut menutupi telinganya, menyiapkan dirinya untuk guntur yang akan datang. Tak lama setelahnya, gemuruh berkumandang, menggelegar di jantungnya. Tabuhan jantungnya kencang dan meresahkan. Ia tahu ia tidak bisa terus-menerus bergantung pada pertanda tersebut. Beberapa gemuruh datang tanpa isyarat.

            Di minggu dengan curah hujan tinggi, biasanya, Emilia akan menemaninya tidur, mengusir ketakutannya. Ia membutuhkan kehadiran orang lain di kamar untuk meyakinkan dirinya bahwa ia aman. Setidaknya, apabila terjadi kejadian di luar dugaan—ada tangan orang lain yang siap menolongnya, seperti Esther. Tetapi, pelayan pribadinya itu memutuskan beristirahat lebih awal. Jika tahu badai akan datang, Daria pasti melarangnya pergi dari sisinya.

            Gemuruh kembali bertandang, memekakkan genderang telinganya. Ia memejamkan mata, berharap dapat meringankan ketakutannya, namun percuma. Ia jelas tidak bisa terus meringkuk di kamar seperti ini. Sehingga, membungkus tubuhnya Daria berjinjit keluar dari kamar. Bau hujan segera menyerbu paru-parunya. Koridor gelap karena beberapa lilin padam oleh terpaan angin yang dahsyat, sementara lilin lainnya berkedip nyaris mati.

            Daria berjalan menyusuri koridor, mengeratkan selimutnya ketika bunyi petir menggelegar. Setelah beberapa langkah, ia berhenti di hadapan sebuah pintu yang ia kenal. Jemarinya tidak lupa menyusuri permukaan kayu tersebut tiap kali melewatinya dan saat pintu terbelah membuka, Daria mencuri intip ke dalam kamar. Mencari kehadirannya.

            Baiklah, Daria akui idenya buruk. Daria memang jarang bertindak rasional. Namun, setelah menyaksikan kegilaan di ruang bawah tanah itu, ia sendiri bahkan tidak berani membayangkan apa yang kelak terjadi. Dokter Nero bisa saja mengendus kehadiran Daria dan menyeretnya ke ruang bawah tanah tersebut. Apa lagi yang lebih buruk dari petir dan Dokter Nero? Setidaknya, ia membutuhkan pendamping. Seseorang untuk menemaninya. Dan Damien adalah satu-satunya orang yang terlintas di benaknya.

            Daria tidak menyadari gemetar menguasai dirinya hingga ia mengepalkan tangan, mengetuk permukaan pintu. Ketukan yang samar dan mustahil disadari apabila kehadirannya tidak dinantikan. Daria menggigit bibirnya, mengutuk dirinya sendiri dalam diam. Dari semua kemungkinan, berapa besar persentase Damien mendengar ketukannya? Berapa besar persentase Damien sedang terlelap—

            Pintu itu terbuka diikuti sebuah derit. Mendorong pintu, Daria segera menghambur masuk, hidungnya menabrak suatu kehangatan agak besar, tinggi, dan keras. Ia menengadahkan kepala, mendapati sepasang mata hijau itu menyipit skeptis.

            "Daria," ujar Damien setengah menghela napas. Tangannya masih memerangkap Daria di ambang pintu, tidak mengizinkannya satu langkah pun lebih dalam. Daria cukup tahu ia sedang menginvasi privasi Damien dan, dari sudut cemberut di bibirnya, ia tahu Damien tidak senang. Matanya berkilat mengendalikan apapun yang mengabuti permukaannya sekarang.

            "Aku harus masuk." Daria memprotes. Di kejauhan, ia mendengar petir bergemuruh mendekatinya. "Aku takut petir." Daria mengenakan raut wajah memelasnya, tetapi Damien ialah benteng tidak tergoyahkan.

            "Tidak ada wanita yang masuk ke kamar sembarang pria, Daria," ujar Damien dengan cara yang mengingatkan Daria terhadap nada penuh peringatan Ayah.

"Kau bukan pria sembarangan—" detik itu, petir menggelegar. Daria memejamkan mata, menarik pinggiran selimutnya erat-erat, menghalau lubang telinganya dari suara memekakkan itu.

Kala ia membuka matanya, Damien berdecak pasrah. Ia membuka pintu lebar-lebar. "Satu syarat: hingga petir berhenti."

Daria mengangguk dan melangkah masuk. Alih-alih bau hujan yang mengirimkan terror, kamar Damien semerbak aroma cendana yang selalu berhasil menenangkan syarafnya. Lilin masih tampak menerangi meja kerja dan kedua sisi ranjangnya. Di atas karpet terhampar dua buah koper: sepertinya Damien dalam proses mengemas pakaiannya. Itu sebabnya pria itu mendengar ketukannya selarut ini.

Mendadak, hati Daria mencelus entah ke mana, tapi ia harap tidak terlalu jauh. Daria sudah cukup terbiasa dengan kehadiran Damien sehingga membayangkan kepergian pria itu menimbulkan kekosongan di kalbunya. Lucu, sebagaimana dunianya berbalik seratus delapan puluh derajat.  "Hari ini kamis," ucap Daria. "Bukankah terlalu cepat untuk berkemas?"

Damien menutup pintu di balik punggungnya. "Lebih cepat lebih baik."

Daria sedikit kecewa. Ia jadi bertanya-tanya siapa dirinya di mata Damien. Mereka berbagi canda tawa. Mereka bahkan berbagi ciuman, sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh Daria. Pria itu sudah menyelami hatinya terlalu dalam sebelum sempat Daria ketahui. Mata hijaunya sudah tercetak terlampau nyata di benaknya. Pemikiran bangun dari tidur dan mendapati pria itu berada di luar jangkauannya—sesungguhnya, apa arti pria itu baginya?

Sepanjang hidup Daria, ia mengenal Damien sebagai musuh. Iblis, tiran, pria paling brengsek yang pernah ada. Hidupnya saat itu mudah, ia mampu membedakan hitam di antara putih dan putih di antara hitam. Ia tahu pihak mana yang seharusnya ia bela dan mana yang sepantasnya ia benci. Sekarang, Daria menghela napasnya, tidak semudah itu.

Batas itu terbuyarkan. Damien menunjukkan sisi-sisi yang tidak Daria tahu ada sebelumnya. Bagaimana senyum Damien adalah ulasan paling indah di dunia. Bagaimana telapak tangan besarnya hangat serta hati-hati membungkus milik Daria. Bagaimana jemarinya terjalin sempurna di antara sela-sela jari Daria. Bagaimana pria itu berupaya menebus dosa-dosanya. Bagaimana... pria itu membendung semua perasaan itu di balik sikap dinginnya. Apa arti Damien bagi dirinya?

Ketika Damien menyadari perilaku diam Daria, pria itu melintasi ruangan dan berdiri selangkah darinya. Satu jarinya membawa dagu Daria naik, mempertemukan pandangan mereka. "Apa kau baik-baik saja?"

"Aku sedikit sedih," gumam Daria, "karena kau akan pergi."

Damien menghirup napasnya tajam. Dari raut wajahnya, Damien tampak tidak menyangka jawaban itu keluar dari mulut Daria. Lalu, kilat menyambar dan Daria kembali memejamkan matanya, bersiap-siap terhadap dentuman yang akan datang. Tepat saat gemuruh menggetarkan kaca jendela, Damien mendekap Daria, lingkar lengannya melindungi Daria. Telinga Daria melekat pada permukaan kemeja putihnya, tepat di atas detak jantungnya. Detak konstan yang lambat laun berubah kian cepat.

            Daria membiarkan dirinya larut dalam kehangatan itu hingga, akhirnya, tangan Damien menangkup belakang kepalanya. Pria itu mendaratkan kecupan dengan mulut terbuka pada puncak kepalanya sebelum berbisik, menggelitik kulit kepalanya, "Sekarang, bagaimana aku bisa pergi meninggalkanmu?"

            Mencengkeram kemeja Damien sebagai kekuatan, Daria membuka mulutnya, "Kalau begitu, jangan pergi. Bawa aku bersamamu." Sebab, Daria mengerti apa rasanya ditinggal pergi. Emosi yang tidak bisa dikuasainya sampai saat ini.

            Mereka diam, terpaku oleh embusan napas mereka yang saling menerpa. Hijau manik Damien menghipnotis Daria. Waktu seolah berdetak lebih lambat dari seharusnya. Dan Daria tidak berhasil menemukan kata yang tepat mendeskripsikannya—nyaris magis. Mereka diam dan hening, meresapi kehadiran satu sama lain, mengisi kerinduan yang kelak mereka rasakan.

            "Apa yang terjadi," Daria mengelus alis kiri Damien, "pada alismu?"

            "Calanthe." Damien meraih tangan Daria, menggenggamnya di dada. "Dia ibu tiriku."

            "Aku tahu. Ethan pernah bercerita. Apa yang dilakukannya?"

            Damien diam sejenak sebelum melanjutkan, "Ia tidak pernah menyukaiku. Bagi dirinya, aku adalah ancaman bagi... kesuksesan Ethan mewarisi takhta. Calanthe melarang Ethan bermain denganku, sementara ia adalah satu-satunya teman bermainku. Aku berhasil mengelabui Calanthe beberapa waktu, tetapi sepandai apapun tupai melompat, pasti akan jatuh juga, bukan? Salah seorang pengabdinya menarik telingaku ke hadapan Calanthe, melaporkan semua yang ia saksikan dan hendak menjatuhkan hukuman dengan memotong telingaku. Namun, hal tersebut hanya akan menunjukkan ketakutannya. Calanthe tidak pernah sampai hati. Alih-alih memotong telingaku, ia membanting pecahan beling ke kepalaku."

            Daria terkesiap. "Demi dewa-dewi. Terkutuklah wanita itu. Kuharap dia membusuk di neraka."

            Damien terdorong untuk kembali bicara, "Aku selalu memimpikan saat di mana Calanthe mengembuskan napas terakhirnya. Aku pikir aku akan bahagia karena, pada akhirnya, wanita itu pergi dari hidupku. Tetapi, nyatanya, ketika kabar itu datang, aku marah atas semua kehidupanku, masa lalu dan masa depanku, yang sudah direnggutnya. Tanpa aku sadari, aku membiarkan ketakutanku akan wanita itu menentukan pilihan-pilihanku... yang tersisa bagiku adalah melarikan diri. Selamanya."

            "Tidak." Daria membawa dahi Damien menyentuh dahinya. Daria tahu ia kehilangan semua kata-katanya, tetapi ia tidak ingin pria malang di hadapannya kehilangan harapan. Ia tidak tahu betapa besar keinginan Daria untuk menemaninya. Ia tidak tahu betapa besar keinginan Daria untuk membuatnya bahagia. Ada tempat bagi Damien di dunia—dan tempatnya bukan lain ada di hati Daria. "Tidak," ujar Daria sekali lagi, meyakinkannya. Tapi, Damien menolak untuk mempercayainya.

            Kelopak mata Damien terpejam dan pria itu tampak rapuh sekaligus sempurna di saat yang bersamaan. "Bagaimana denganmu?" Telunjuknya mengelus rahang Daria. "Apa yang kau takutkan selain petir?"

            Sebuah tawa lolos dari mulut Daria. Ia tidak pernah membiarkan banyak orang mengetahui ketakutannya. Ia memajang diri dengan berani supaya orang tidak mengetahui ketakutan-ketakutan bodohnya. Namun, sesungguhnya, Daria tidak lebih dari seorang pengecut. Dan entah apa yang menyihirnya untuk mengatakan, "Aku takut ditinggal." Daria mengembuskan napasnya, berharap dapat melegakan tubuhnya. "Aku... takut seseorang akan meninggalkanku. Lagi." Seperti Ethan. Sebab kehilangan itu begitu nyata, menggerogoti jiwanya lebih dari yang ia kira. Pada akhirnya, pikir Daria, ia dan Damien adalah sepasang manusia serupa yang dikendalikan masa lalu mereka.

            "Hmmm." Damien menutup telinga Daria ketika gemuruh datang, menyirnakan gentarnya. "Kepergian ada bersamaan dengan pertemuan. Seseorang tidak bisa selamanya mendampingimu, berjanji untuk tidak pernah pergi."

            Daria tersenyum pahit. "Aku tahu—"

            "Tapi," Damien memotong ucapannya. "Bila aku diberikan kesempatan yang dia miliki, aku tidak akan pernah menyiakan kesempatan tersebut. Aku akan menghadiahimu ratusan bunga. Aku akan berdansa seribu lagu denganmu. Aku akan memberikan jutaan ciuman. Aku akan membahagiakanmu, bagaimana pun, aku akan memastikan kebahagiaanmu, sebelum terlambat."

            Dan Daria pikir, ia tidak lagi kuasa mempelajari cinta dengan lubang menganga di hatinya. Namun, Damien membuktikannya teramat salah. Pria itu melihat dirinya sebagaimana Daria melihatnya, transparan dan apa adanya. Pria itu mengetahui apa yang hatinya tangiskan, bagaimana ia merasa tidak dicintai oleh Ethan, bagaimana ia merasa terabaikan dan tertinggal. Ia takut untuk jatuh cinta karena ia takut kehilangan sebelum sempat dicintai.

            Dengan Damien, pikir Daria, ia tidak perlu takut sebab pria itu akan mengekalkan cinta mereka dalam hati Daria.

            "Bahkan seribu duel?" Daria mengangkat sebelah alisnya.

            Damien tertawa. "Tentu saja."

Hati Daria meleleh memandangi tawa yang—Daria cintai. Pria yang ia cintai. Tetapi, Daria menyadari, cinta yang ia rasakan terhadap Ethan dan Damien sama sekali berbeda. Bersama Ethan, cinta bagai meniti tangga, langkah demi langkah. Ada anak tangga tak kasat mata yang mereka pijak dengan sabar dan perlahan. Namun, bersama Damien—cinta adalah terjangan badai, air bah, gunung meletus, dan segalanya. Ia hancur sebagaimana hatinya meleleh menyaksikan tawanya, hanya untuk bangkit lebih sempurna dari sebelumnya.

Daria membawa tangan Damien tepat di atas jantungnya. "Apa kau merasakan itu? Jantungku—saat bersama Ethan, jantungku selalu berdegup tenang. Tetapi, denganmu, semuanya berubah kacau." Daria mendongak, menyelami kedalaman matanya. "Kenapa?" bisik Daria.

"Aku tidak tahu, tetapi satu yang pasti," ujar Damien sama lirihnya, seakan-akan dunia akan berbalik melawan mereka, "Kau telah mengacaukan hidupku untuk selamanya. Kau menyihirku. Aku tidak bisa bangun tanpa memikirkan senyummu, tidak bisa tidur tanpa membayangkan wajahmu. Aku—" Damien melepaskan pelukannya, "aku menginginkanmu lebih dari yang aku izinkan."

Daria mencengkeram tangan Damien, "Katakan kepadaku apa kekuranganku," pinta Daria. Tidak. Mengapa ucapan Damien terdengar bagaikan penolakan di telinganya? "Aku tahu aku pemarah, aku tidak sempurna. Aku akan memperbaiki diriku."

"Tidak, Daria. Bukan tentang dirimu. Tentang... diriku. Ini semua salahku. Aku tidak seharusnya mendekatimu. Aku tidak seharusnya menciummu—demi dewa-dewi. Aku seharusnya tahu lebih baik. Siapa diriku—"

"Itu bukan salahmu. Bukan—" Napas di dada Daria terasa sesak.

Tapi, Damien tidak berhenti berkata, "Aku tahu seharusnya aku menjaga jarakku darimu. Kau terlalu baik untuk menjadi kenyataan bagiku. Kau pemberani, kau cantik, pintar, dan—kau bahagia. Kau tidak akan bahagia bersama seorang pria yang selalu lari dari ketakutannya, dari masa lalunya." Damien memberikan jarak di antara mereka, raut wajahnya penuh kebencian. Bukan kepada Daria, melainkan pada dirinya sendiri. "Dari siapa dirinya."

            Hening lagi-lagi merasuk di antara mereka, menyelimuti dua hati yang terluka. Petir sudah sirna dan hujan merupa rintis yang mengiris hati Daria. Sedikit demi sedikit, tetapi pasti.

            "Kalau begitu, apa aku di matamu?" itu satu-satunya kalimat yang mampu lidahnya bentuk.

            Rahang Damien berubah keras sementara hijau matanya memandangi Daria seolah tidak akan pernah menjumpainya lagi. "Daria, kau kebahagiaanku. Kau satu-satunya kebahagiaan dan manusia paling murni yang pernah menginjak kakinya di bumi ini. Hanya dengan melihatmu bahagia, aku mampu merasakan bahagia. Maka dari itu, aku—" Damien menghirup napasnya, bersiap-siap untuk yang terburuk, "aku tidak bisa membiarkan dirimu tercemar oleh ketakutanku karena—aku akan selalu pergi, Daria. Aku akan selalu melarikan diri dan kau tidak akan pernah bahagia bersamaku."

            Detik itu, Daria baru memahami bentuk lain dari kehilangan. []

Merry Christmas and Happy Holiday, fams!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top