16 - Raphael / Daria

Daerah Jajahan Waisenburg, Albatross—

            Mimpi Raphael Schiffer menjadi kenyataan. Semua doanya terkabulkan. Raphael menyangka mungkin saja ia adalah orang suci di kehidupan sebelumnya. Karma baiknya dahulu memberikan timbal balik setimpal detik itu, hari itu. Kedua matanya tidak memercayai sosok anggun yang turun dari dermaga. Sosok di potret menjelma darah dan daging di hadapannya.

            Detak jantung Raphael adalah dentuman yang persis sama bertahun-tahun lalu, kala ia jatuh cinta kepada Esther Michaelis of Reyes. Putri kerajaan yang mempunyai rambut sewarna mahkota musim gugur: cokelat, pirang, serta sedikit aksen merah. Wajah mungil dengan paras cantik nan ayu, kontras terhadap kontur tegas wajah saudara-saudaranya. Sepasang mata biru kelabu menyerupai rusa, besar dan nyaris suci, berubah sedih saat melihat penderitaan orang lain.

            Pandangan mereka sempat bertemu sepersekian detik. Bahkan di antara ratusan prajurit yang berkerumun membantu mengangkut berbagai persediaan medis, mereka mampu saling menemukan. Raphael hendak meneriakkan namanya, memeluk istrinya, mencium bibir yang ia rindukan dua tahun belakangan. Menyesap semua esensi Esther dan menuntaskan rindu yang mengakar di jiwanya. Tapi, tubuhnya beku dan lidahnya kelu. Ia hanya dapat mengamatinya dari jauh.

            Sesuatu mengenai wanita yang dicintainya itu tidak lagi sama. Mungkin, rahang yang lebih kurus dari ingatan terakhir Raphael. Mungkin, raut polosnya yang kini berubah keras. Mungkin, garis-garis tawa yang berubah jadi ulasan murung. Mungkin, sekilat apa wanita itu memalingkan perhatiannya dari Raphael, berjalan dikawal prajurit lain menuju tenda pribadinya.

            Dan ingatan buruk itu menyerbu Raphael, mengingatkannya atas kesalahan yang ia perbuat. Esther berdiri di ambang pintu, menyaksikan kesalahannya. Bukan amarah ataupun kesedihan yang menghias kedua manik indahnya. Sesuatu yang jauh lebih buruk dari keduanya: kekecewaan. Hubungan mereka retak bersamaan dengan pudarnya kepercayaan Esther terhadapnya.

Pandangan itu menghantui malamnya, merenggut waktu tidurnya. Peperangan sudah cukup memperburuk suasana hatinya dan rasa dosa itu menyebarkan pahit di segala sudut relung tubuhnya. Ia tidak bisa mengenang istrinya tanpa kembali mengingat kesalahannya. Raphael tahu, lebih dari apapun, ia harus segera menebus kesalahannya. Kehadiran Esther di Albatross adalah sebuah pertanda dari dewa-dewi di khayangan. Ia tidak akan menyiakan kesempatan ini.

Raphael bergegas membelah kerumunan, mengikuti jejak istrinya. Ia menyelip di celah antara orang-orang dan tak jarang menabrak mereka. Mematri tujuan, Raphael tidak berhenti mengejarnya meskipun lenggak-lenggoknya menjauhi dirinya. Sebab, Raphael tahu, wanita itu adalah cintanya, bagian jiwanya. Tidak ada wanita lain yang pernah memiliki hatinya seperti Esther menguasai miliknya. Raphael mencintai setiap kali pertamanya dengan Esther dan akan mengukir kenangan tidak terbatas menuju keabadian.

Namun, sebelum menggenapkannya, Raphael harus memperbaiki hubungan mereka. Hubungan mereka hanya rusak, tidak hancur. Setidaknya, itu apa yang Raphael percayai. Dan Raphael adalah pihak yang bertanggung jawab untuk membenarkan hubungan mereka seperti semula.

Tangan Raphael meraih siku Esther, membungkusnya dalam genggaman. Raphael nyaris terkejut sebagaimana menonjolnya tulang di bagian tubuh tersebut. Esther berbalik, matanya membelalak. Dan sekalipun terkejut, Esther tetap wanita tercantik sepanjang hidupnya. Aroma wanita itu dibawa angin, merasuki paru-paru Raphael. Manis dan selalu berhasil membangkitkan gejolak primitif di dalam dirinya.

Seluruh syarafnya lumpuh. Raphael menjelajahi wajah Esther, berusaha menemukan kata-katanya, namun rasa rindu bercampur penyesalan menyeruak. Ia amat merindukan Esther sekaligus amat menyesal, tidak membuatnya cukup berani untuk menangkup kedua pipi wanita itu, menyatakan betapa Raphael mencintainya.

Sebab wanita itu memandang Raphael dengan cara yang mampu meruntuhkan semua harapan dan mimpinya. Ia seorang pengecut di bawah sorot tatapannya, pengecut yang bodoh dan naif. Tidak ada lagi cinta di kedua matanya, hanya ada kekecewaan serta kesedihan mendalam. Raphael perlahan melepaskan genggamannya, menyadari bahwa istrinya bukan lagi orang yang sama. Tatapan itu menyayat hatinya.

"Lord Schiffer," salam Teresa, pelayan pribadi Esther, menekuk lutut.

Esther tidak sedikit pun beringsut, masih meneguhkan pandangan yang sama. Kehampaan perlahan merebak di kalbu Raphael. Jangan, pikirnya, kumohon jangan. Ia akan menerima semua hukuman yang ada, tetapi jangan satu ini. Pemikiran akan kehilangan Esther—ia tidak bisa membayangkan dunianya tanpa wanita itu.

Sehingga, Raphael menampik kelu lidahnya. Ia harus menebus kesalahannya. "Aku perlu berbicara denganmu."

Esther menghirup napas dalam-dalam seakan sedang berupaya membendung emosinya. Kedua tangannya terkepal, pundak kecilnya gemetar. Raphael pikir Esther akan menangis. Esther selalu memiliki hati lembut. Raphael pikir—

Tapi, hanya bilah paling tajam yang tumpah dari lidahnya. "Tidak ada yang perlu kita bicarakan," ujar Esther. Kemudian menambahkan, suaranya dingin, menciptakan batas di antara mereka, "Lord Schiffer."

Hubungan mereka hanya rusak, tidak hancur. Begitu, bukan? Raphael berdiri di tempat, memandangi punggung Esther menjauhinya.

***

"Apa yang sedang kau lakukan?"

Daria menengadahkan kepalanya, mendapati Damien berdiri di balik punggungnya. Tubuh menjulang Damien membayangi dirinya yang tengah berlutut di taman belakang. Daria biasanya akan marah karena berbagai alasan. Pertama, matahari membakar ubun-ubun kepalanya sampai nyaris meledak. Kedua, cuaca panas memperburuk suasana hati Daria. Ketiga, ia lelah menggunting rumput sebagai hukumannya. Keempat, ditanya apa yang sedang dilakukannya ketika jelas-jelas Daria tengah berlutut dengan gunting rumput di tangannya.

Daria tidak jadi marah, untungnya, karena lebar pundak Damien cukup menyembunyikan Daria dari siksaan mentari. Setidaknya, ia akan mengampuni Damien untuk satu kontribusinya itu. Menyampingkan guntingnya, Daria menghempaskan bokongnya ke atas rerumputan sembari memejamkan mata, mengisi kembali tenaganya. Ia membiarkan dirinya menikmati teduh yang ditawarkan pria itu. Ketika dari balik kelopak matanya ia menangkap gerak-gerik Damien hendak beranjak dari posisinya, tangan Daria gesit menahannya.

"Tetap di sana, kumohon," pinta Daria.

"Jadi, sekarang aku payungmu." Damien mendengus, tetapi menuruti permintaannya. Ia menyelipkan kedua tangan ke balik saku celananya, merunduk.

Daria menengadahkan kepala, membuka matanya dan memandangi Damien yang, dari posisinya duduk sekarang, terbalik seratus delapan puluh derajat. "Kau tampak lucu." Dan tampan.

Sorot pandang Daria jatuh tepat di atas bibir Damien dan kilas balik ciuman mereka minggu lalu menyeruak. Di hadapannya adalah bibir yang tidak sekadar melekat pada miliknya.  Daria tidak tahu bahwa sebuah ciuman dapat sedemikian memabukkan. Tiap kecupan Ethan manis dan sopan. Sedangkan Damien—bibir itu menikmati, menghisapnya, menanggalkan kekuatan Daria lapis demi lapis. Kekuatan untuk menghindari jeratan pesonanya.

Dulu, Daria selalu berusaha tidak dikelompokkan bersama seluruh umat wanita di Akademi yang memuja mata hijau  Damien. Ia tidak ingin tampak bodoh seperti wanita lainnya, meleleh akan tatapannya atau pingsan karena lirikannya. Tapi, apa sekarang sudah terlambat untuk mendaftarkan keanggotaannya di kelompok tersebut? Sebab, Daria mampu merasakan darah mengumpul di otaknya ketika pria itu meneliti wajahnya, mengikuti aliran peluh yang menuruni pelipis, lalu lehernya, dan berakhir ke balik gaunnya.

Seketika, permukaan bibir Daria kering.

"Aku akan minta Emilia memayungimu," Damien memandang ke dinding tempat Emilia mengawasi Daria atas perintah Miss Campbell. "Wajahmu semerah apel."

Daria membasahi bibirnya sebelum berkata, "Miss Campbell tidak mengizinkan Emilia dalam radius, um, sepuluh meter dariku."

"Miss Campbell?" Sebelah alis Damien terangkat penasaran. "Apa dia wanita yang kau hindari minggu lalu?"

Mengangguk singkat, Daria berujar, "Ya. Dia guru etika yang ditugaskan Pengadilan Militer Waisenburg untuk mengajari aku tentang... disiplin."

"Aku sendiri tidak mempunyai pengalaman baik dengan guru etikaku. Tapi," Damien membelalakkan matanya, "Pengadilan Militer Waisenburg, Daria?"

Daria menautkan kedua alisnya. "Hei." Jari telunjuknya teracung, "Kau menyakiti hatiku. Memang kau tidak tahu? Kurasa kabar itu menyebar cukup luas di seantero Benua Tengah."

            "Garis besarnya." Bibir Damien membentuk satu garis lurus. "Kau terkenal di Benua Tengah, Daria, sebagai pembuat onar, terutama setelah kau menolak Pangeran Mahkota Fhraeron di hadapan... berapa ratus orang?"

            "Ratusan. Aku tidak tahu pasti berapa." Daria mengerang. "Aku tidak menyesal menolaknya dan aku akan menolaknya berkali-kali setelahnya."

            "Sejujurnya, aku juga kurang menyukainya." Damien melucuti jasnya dan menyampirkan selembar pakaian tersebut tepat di atas kepala Daria, melindunginya dar sengatan matahari. Aroma cendana yang tertinggal di jas itu merebak, mendorong Daria untuk menghirup semua sisa kehadiran Damien. Pria itu duduk di sebelahnya, memandangi kejauhan seakan tengah mencari-cari masa lalunya.

"Aku ingat betapa egois diri kecilnya ketika berkunjung ke Cayenne. Ia merebut mainan milik Ethan, menghina kelahiranku, dan banyak hal lainnya. Namun, sebanyak apapun kesalahan yang ia perbuat, orangtuanya tidak pernah berani menentangnya. Ia satu-satunya putra yang mereka miliki, satu-satunya pewaris yang mereka punya. Dan tumbuh besar, menjadikannya arogan dalam berbagai hal. Ia merasa memiliki kedudukan lebih tinggi dari siapapun. Ia pikir ia dapat memilikimu dengan seluruh kekayaan dan kekuatan yang Fhraeron miliki."

"Oh—"

"Tidak bisa dipungkiri, aku senang melihat wajah bodohnya tercengang akan penolakanmu. Penolakan pertama selama hidupnya."

Daria memandangi sisi wajah Damien, rahang yang jemarinya jelajah minggu lalu, keras di bawah sentuhannya. Profil yang tak habis membuat Daria takjub serta bekas luka di alisnya. Daria menyadari, seindah apapun hijau matanya, kedua manik Damien menyimpan luka memedihkan. Sebagaimana pria itu selalu tersenyum, selalu dikelilingi puluhan temannya, tetapi tidak pernah sungguh bahagia.

Bagaimana kau bisa tersenyum bahagia setelah apa yang mereka lakukan terhadapmu? Pernyataan Damien bertahun-tahun lalu menyadarkan Daria bahwa seseorang tidak memerlukan banyak teman dan pengagum untuk menjadi bahagia. Di antara lingkaran besar teman-temannya, Damien selalu merasa kesepian.

"Intinya," Damien melanjutkan, "rakyat Benua Tengah tidak terkejut saat mendengar kabar Putri Kedua Kerajaan Reibeart ditahan di Waisenburg. Mereka pikir, kau sekadar membuat onar—tetapi, kali ini, kepada penguasa terkuat di dunia. Aku tidak menyangka kau sampai diadili."

"Ha. Sang Raja teman baikku. Sejak kecil, ia selalu menganggapku keponakannya," ujar Daria. "Tetapi, tentu saja, ketika aku membantu kakakku melarikan diri dari penjara... para petinggi Waisenburg tidak senang."

"Kau membantu kakakmu melarikan diri dari penjara?" Damien menolehkan kepalanya menghadap Daria dan memandanginya seolah-olah dirinya gila.

"Oh, Damien." Daria menepuk pundaknya. "Sudah terlalu banyak pengorbanan yang kakakku lakukan untuk keluargaku. Untuk diriku. Dan ketika menyaksikannya jatuh cinta—" Daria menghirup napasnya, "—aku tidak bisa diam saja membiarkannya mengorbankan cintanya. Cinta membuatmu bodoh, tetapi tidak seharusnya membuatmu lemah dan sedih. Aku tahu ia akan bahagia dengan cintanya. Meskipun..." Daria menyeringai, "jelas, aku mencampuri urusan orang lain terlampau jauh."

Sudut-sudut bibir Damien membentuk seulas senyum yang tidak pernah Daria saksikan sebelumnya. Bukan jenis yang Daria benci ataupun senyum pengakuan. Sesuatu lainnya. Jenis baru yang mengocok perut Daria. Senyuman yang meremajakan wajah Damien, matanya mengerlingkan kebahagiaan dan kilat usil. Senyuman yang menunjukkan sisi kekanakkannya, kepolosannya kala tidak mengenal penderitaan, pelik jerat dunia. Garis-garis cemberut dekat mulutnya sirna. Semua beban di kedua pundaknya seolah terangkat. Dan jantung Daria berdegup amat kencang oleh kesadaran baru dalam dirinya: ia ingin membahagiakan pria di hadapannya. 

Damien memperhatikan wajah Daria dan, seketika, terperangkap dalam pusaran yang sama. Mereka sepasang manusia yang tidak berdaya terhadap ketertarikan satu sama lain. Senyumnya lenyap, tetapi Daria tahu, kehangatan itu masih hidup di kedua maniknya. Telapak tangan Damien beranjak meraih wajahnya dan Daria kagum akan kelembutan serta kehati-hatiannya, kekuatan yang terkendali.

Daria menggenggam tangan Damien. "Miss Campbell mengawasiku dari lantai dua."

Damien menurunkan tangannya, tetapi tidak melepaskan genggaman Daria. Pria itu menjalin jemari mereka menjadi satu untaian erat, menyembunyikan genggaman tersebut di antara tubuh mereka. Rahasia mereka yang manis. Ibu jari Damien mengusap punggung tangannya dengan elusan konstan. Sekalipun tubuhnya kepanasan setengah mati akibat terik matahari dan apa yang Daria butuhkan adalah menjauh dari orang-orang, ia tidak menolak sentuhan Damien.

Pria itu menumpukan sikunya di lutut dan menyandarkan kepala di telapak tangannya, memandangi Daria. Dan sesal memadati ruang pikirannya. Jika ia tahu akan bertemu Damien di sini, ia akan mengenakan gaun lebih cantik. Menata rambutnya lebih rumit. Atau, mengoleskan pemerah bibir. Entah sejak kapan Daria peduli terhadap apa yang Damien pikirkan tentangnya. Mungkin, pikirnya, semenjak Daria dengan kentara mengorek semua informasi mengenai Damien dari Emilia. Ketertarikan itu tidak kuasa ia pungkiri. Kehadiran Damien semakin menonjol seiring waktu, menggelitik rasa penasarannya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Daria balik bertanya, ia ingat Damien dan Noah sedang menginspeksi tambang di Kapitel Dua. "Kau tidak seharusnya pulang lebih cepat tiga hari."

Damien tampak terkejut. Ia mengerjapkan matanya. "Kau tahu banyak tentangku."

Daria ingin menampar wajahnya sendiri. Sebuah tamparan bisa dipastikan membungkam mulutnya. "Bukan karena aku mencari tahu. Tapi, Emilia tidak berhenti menceritakan tentang Noah, Noah, dan Noah."

"Hmm. Kurasa aku bisa menerima alasan itu."

Daria melepaskan genggaman mereka dan meninju pundaknya. "Itu bukan alasan. Aku serius!"

Damien menyeringai. "Baiklah." Pria ini tahu dustanya.

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku mendapat kabar darurat dari Cayenne sehingga aku harus kembali ke ibukota lebih awal, " ujar Damien. Lalu, wajahnya menampakkan ekspresi yang sama sekali Daria tidak mampu terka. "Calanthe meninggal. Aku akan berlayar ke Cayenne sabtu nanti."

Ibu Ethan. "Aku turut berduka." Daria ingat terakhir kali ia bertemu dengan Calanthe, wanita itu sehat bugar.

"Aku tidak." Bibirnya menjelma pahatan keras. Dingin, tidak tergerakkan.

Dan Daria pikir, itu adalah hal wajar yang dirasakan seseorang terhadap ibu tirinya. Tetapi, permukaan manik Damien menyiratkan segala hal lebih dari kepahitan. Pedih. Sebab mengapa Damien tidak pernah bahagia.

Daria mengalihkan pembicaraan mereka, tahu bahwa hal terakhir yang diinginkan Damien adalah dirinya mengorek masa lalunya. "Apa? Sabtu kau akan pulang? Cepat sekali."

"Aku nyaris sebulan di Waisenburg, Daria." Damien mengerutkan dahinya.

Daria meraih kedua tangan Damien. "Tapi, kau belum mengajari aku cara menggunakan Zahl. Kau bilang kekuatan itu menurun di keluargaku. Itu berarti aku memilikinya juga, bukan, kekuatan itu?"

"Aku bahkan tidak tahu bagaimana melatih kekuatan Zahl seseorang, Daria. Aku bahkan tidak memilikinya." Ia mengangkat sebelah alisnya, "Lagipula, kenapa kau bersikeras melatih Zahlmu?"

"Itu karena—" Daria menghirup napasnya. Permintaan dari Petra. Kakaknya tahu, kekuatan itu dapat melindunginya. Terutama, setelah Daria menyaksikan raut histeris Adeline dan menemukan keberadaan pedang misterius itu—Daria kian yakin bahwa Petra tidak memintanya menguasai Zahl tanpa alasan. Petra tidak pernah menyemburkan pemikirannya, ia menjaga benaknya rapat-rapat. Tetapi, semua perkataan dan tindakannya memiliki tujuan. "Aku harus menguasainya. Bagaimanapun."

Damien memerhatikan keseriusan di wajah Daria. Ekspresi yang tidak pernah ditunjukkannya, betapa yakin dirinya untuk menguasai kekuatan tersebut. Dan harapan Daria hanya Damien.

"Aku akan mencoba segala yang aku tahu," akhirnya, Damien berkata. "Dengan satu syarat. Kita akan berlatih besok pagi-pagi buta jam lima di taman ini." Damien menunjuk pepohonan lebat di belakang mereka, "Tepatnya, di sana. Tidak ada seorang pun yang boleh tahu mengenai Zahl. Kekuatan itu sudah lama hilang."

"Baiklah!" Daria menyetujui tanpa berpikir dua kali.

Lalu, Daria berpikir dua, tiga kali, dan seterusnya. "Tunggu, jam lima pagi? Aku tidak bisa bangun sepagi itu."

"Aku dengar jadwalmu padat sepanjang minggu. Itu satu-satunya waktu kau sempat mempelajarinya," ujar Damien, bangkit dari duduknya.

Mengangkat sebelah alisnya, Daria menggoda Damien dengan kalimat persis sama. "Kau tahu banyak tentangku."

Daria tidak tahu apa rona di kelopak telinga Damien sekadar khayalan atau kenyataan karena pria itu menjaga air mukanya sekeras batu. Pria yang tidak mudah, pikir Daria.

"Jam lima pagi atau tidak sama sekali."

"Tapi—"

Damien membusurkan kedua alisnya, memiringkan kepalanya sedikit ke kiri. Keputusan Damien sudah bulat. Bibirnya menyunggingkan senyum congkaknya. Seakan mengatakan: kau membutuhkanku, jadi kau harus ikuti peraturanku.

Daria jadi ingat, mengapa ia membenci pria di hadapannya. Uh.[]

Selamat hari jumat semuanyaa!! Selamat menikmati weekend kaliaaan. Tau tidakk? Lagi di tengah-tengah aku ujian masih sempet sempetnya upload wattpad HAHAHHA!

Semoga kalian menikmati chapter ini dan jangan lupa berikan pendapat serta dukungan kalian yaaa~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top