15 - Daria [19+]

Ketika Daria pikir Damien akan membawanya kembali ke ruang bawah tanah, langkah pria itu berhenti tidak jauh dari perpustakaan, namun di sudut buta orang yang berlalu-lalang. Daria kecewa setengah mampus. Harapan yang kandas itu menyebar ke sudut-sudut raut wajahnya dan Damien mustahil tidak menyadarinya.

            Mereka saling berhadapan, menyandarkan sebelah pundak ke dinding. Daria yang pertama kali bersuara, "Apa yang kau lakukan di sana semalam, Damien?"

            "Aku pikir, aku yang seharusnya bertanya, Daria. Aku percaya yang membuntutiku semalam adalah dirimu." Ia mendekatkan wajahnya, bermaksud untuk menakuti Daria. Namun, Daria bukan sembarang wanita. Kedekatan itu justru memampukan Daria menerka fitur-fitur wajahnya yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Misalnya, anak rambut yang mulai tumbuh di sepanjang rahangnya. Galaksi keemasan di iris matanya.

            Fokus, bodoh. Lihat, jantung Daria mulai menggila.

            Tatapan Damien mengikuti gerak lidah Daria saat ia membasahi bibir keringnya. "Aku ada urusan," ujar Daria. "Seseorang memberiku petunjuk lokasi ruangan tersebut. Aku bahkan tidak tahu apa-apa sebelumnya."

            Rahang Damien melembut, lega mendengar jawabannya. Memang, jawaban seperti apa yang Damien takutkan? "Kenapa?" Tanya Daria, "Bagaimana dengan dirimu? Apa yang kau lakukan di sana?"

            "Aku—" Damien berbisik teramat lirih, "Aku ada urusan. Dengan Cardinia. Atas permohonan terakhir Ethan."

            Mendengar nama itu disebut mengirimkan gelenyar pedih ke seluruh tubuhnya. Permohonan terakhir Ethan. Mendadak, Daria tidak yakin harus merasa bersyukur atau iri menyadari bahwa Damien adalah orang terakhir menyaksikan akhir kehidupan Ethan. Apabila Daria berada di posisi Damien, ia tidak mampu membayangkan berapa banyak rasa penyesalan yang harus ditebus Damien. Semua yang harus ia lakukan untuk menggenapi permohonan terakhir Ethan.

            Daria berubah iba. Ia ingin melarikan tangannya di sepanjang wajah Damien. Memberitahunya bahwa pria itu tidak sendirian. Namun, supaya tidak terlarut kesedihan terlalu dalam, Daria mengalihkan topik pembicaraan mereka. "Zahl. Apa yang kau ketahui tentang Zahl?"

             Damien menghela napasnya, tampak bersyukur atas keputusan Daria untuk tidak mengorek masa-masa kelamnya. "Tidak banyak. Dari buku yang kubaca di Cardinia, Zahl adalah kekuatan kuno yang tidak semua orang punya, Daria. Hanya para keturunan Ksatria Suci yang memilikinya. Sinclair, Beauchamp, Krauss, Mercier, dan keluargamu, Reyes."

            Membelalakkan matanya, Daria mengangkat sebelah alisnya. "Keluargaku? Tapi—" Daria berbisik lebih pelan dari napas, "Aku bahkan tidak tahu cara menggunakannya. Cara mengeluarkannya."

            "Saat aku berkunjung ke Cardinia, Keluarga Mercier memberitahuku bahwa menguasai Zahl bukan perkara mudah bagi keturunan Ksatria Suci sekalipun. Tidak hanya latihan, Zahl membutuhkan bakat. Semakin berbakat seseorang dengan Zahlnya, semakin besar kekuatan yang dapat dikerahkannya. Bahkan di antara Keluarga Mercier, hanya beberapa pejuang andal menggunakan Zahl mereka. Zahl kekuatan yang kuno dan abstrak, Daria. Menguasai kekuatan itu tergantung kapabilitas seseorang."

            Ingatan hari itu di geladak kapal bersama kakaknya kembali berkelebat. Merah menguar dari seluruh hamparan kulitnya. Kecepatan dan kekuatan yang tidak manusiawi. Daria tidak yakin apakah Petra selalu menyadari kekuatan tersebut sepanjang hidupnya. Mengasah dan melatih Zahlnya terus-menerus. Atau, sekadar bakat yang teramat brilian.

            Daria menengadahkan kepalanya. "Apakah semua Zahl berwarna merah?"

             "Merah paling sering ditemukan di antara pengguna Zahl," ujar Damien. "Zahl Ofensif memampukan pengguna memperbesar kekuatan dan tenaga mereka. Kedua, ada yang berwarna biru, Zahl Penyembuhan. Seperti namanya, Zahl ini fokus menyembuhkan orang-orang. Semakin sulit tingkat penyembuhan, maka apa yang dikorbankan semakin banyak pula. Yang terakhir—ungu. Aku sendiri tidak pernah menyaksikannya. Jenis Zahl yang paling langka dibandingkan dua lainnya. Keluarga Mercier menyebutnya sebagai Zahl Penciptaan, terkadang juga... Zahl Kehancuran. Kekuatan yang diemban pengguna Zahl Ungu," Damien menghela napasnya, "tidak bisa dibayangkan."

            Segala pengetahuan itu tanpa Daria sadari, mengeringkan rongga mulutnya. Ia menelan ludah dan sebelum sempat membuka mulut berbicara, Damien memotongnya.

            "Daria, apapun rencanamu, apapun yang kau pikirkan, kau tidak boleh mengunjungi ruangan bawah tanah itu. Lagi."

            Mengerutkan dahinya, Daria baru saja hendak memprotes ketika, dari balik bahu Damien, di kejauhan, ia menangkap sosok yang tidak asing. Miss Campbell dengan wajah jengkel dan lubang hidung kembang-kempis tidak beraturan. Langkahnya merupakan badai amarah. Daria mendecakkan lidahnya. Oh, apakah dua puluh menit sudah berlalu? Tampaknya Miss Campbell mencurigai urusan di kamar kecilnya yang tidak kunjung selesai.

            Daria menyeret Damien bersamanya ke balik pintu terdekat. Menyandarkan punggungnya di permukaan pintu, Daria menempelkan telinga dan, dengan jeli, mendengarkan langkah Miss Campbell bergema melalui ruangannya. Setelah yakin bahwa koridor aman, Daria menarik gagang pintu—

            Tangan Damien menahan tindakannya, menutup rapat pintu. Kekuatannya lebih besar dari yang Daria bisa lawan. Daria seketika berbalik, mendapati wajah pria itu membayangi wajahnya. Daria memindai ruangan di sekitarnya yang tampak seperti unit kesehatan. Tiada kehadiran orang selain mereka di dalam. Kesadaran itu menabuh jantungnya berdentum amat kencang sampai-sampai Daria khawatir Damien mendengarnya.

            "Sekarang, giliran aku bertanya." Suara berat Damien membangkitkan bulu di sekujur tubuhnya. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Damien.

            Daria mendongakkan kepalanya, menemui tatapan Damien. Bulu mata panjang nan tebalnya membayangi tulang pipinya. Sorot mata yang Damien berikan detik itu mengingatkan Daria kepada malam di mana pria itu mengetahui bahwa mereka bertetanggaan. Menggetarkan dirinya, mengalirkan listrik di sekujur tulang punggungnya. Penuh pemujaan.

Daria tidak biasanya mengalah pada pesona Damien, namun ia tahu lebih baik untuk mengalihkan perhatiannya dari wajah pria di hadapannya. Bahkan sepanjang hidupnya, tidak ada pria setampan dirinya. Itu membuatnya resah dengan cara yang salah. "Banyak hal." Tapi terutama, dirimu.

"Apa yang kau pikirkan saat," sebelah tangan Damien meraih rahang Daria, membawanya kembali menghadapnya. "Menggigit hidungku?" Damien mendekatkan wajahnya, tubuh mereka nyaris tidak berjarak. Desir darah perlahan naik ke kepalanya kala Damien mengutarakan, "Menggodaku." Itu bukan pertanyaan.

Daria sengaja meloloskan sebuah tawa, berharap dapat melegakan udara berat di sekitar mereka, namun percuma. Tatapan Damien seakan menjelajahi wajahnya, setiap jejaknya meninggalkan rona di pipi Daria. Mata hijau pucat itu, kemudian, berhenti di bibirnya untuk waktu yang cukup lama.

"Aku hanya meminta perhatianmu," bisik Daria.

Ketika Daria pikir Damien akan menciumnya, pria itu mulai mendaratkan kecupan di pelipisnya. "Jangan," lalu alisnya, "menggoda," tulang pipinya, "pria," pipinya, "seperti," dan terakhir, menggesek permukaan kulit dekat bibirnya sebelum mengambang, napasnya menerpa bibir Daria, "aku."

Jika Daria tidak memiliki kekuatan lebih, mungkin jantungnya sudah melayang pergi entah ke mana. Punggungnya kesulitan berdiri tegak, berserah ke sentuhan Damien. Bibir mereka terpaut satu napas, satu gerakan yang akan mengubah segalanya. Saat Damien menutup matanya, Daria turut memejamkan mata. Daria mampu mendengar Damien menghirup napasnya, mengembalikan segala akal yang hilang bersama udara di paru-paru mereka.

"Kita tidak seharusnya melakukan ini." Damien melepaskan sentuhan tangannya di rahang Daria dan, seketika, ia merasakan hampa bersamaan dengan jarak yang melebar di antara mereka. Pria itu berdiri di hadapannya, raut wajah sarat rasa bersalah, namun kabut di mata hijaunya mustahil Daria salah terka. Kabut yang juga menguasai Daria.

            Daria menyetujuinya, "Kita tidak seharusnya melakukan ini." Hubungan mereka lebih baik tetap apa adanya. Daria selalu membencinya, bukan? Daria membenci wajahnya, bekas luka di alisnya, bibirnya, matanya. Daria membenci Damien. Dan Damien mengerti ada kekekalan lebih dalam membenci dibandingkan mencintai.

            Tetapi, aroma cendana Damien mengambil alih akal sehatnya. Daria menggigit bibirnya. Persetan. Sejak kapan ia bertindak mengikuti akal sehatnya?

            "Daria—"

            Sebelum sempat Damien menyelesaikan kalimatnya, Daria menutup jarak di antara mereka. Ia berjinjit dan menarik kerah kemeja Damien, menyatukan bibir mereka dalam satu titik temu yang menyebar gelora di sekujur perutnya, punggungnya, kepalanya, dan, terutama, bibirnya. Tidak pernah ia sadari bahwa rasa lapar dan haus itu selalu di sana, menanti dilampiaskan, dipenuhi.

            Lapar itu juga menguasai Damien. Dengan mudah, ia mendorong punggung Daria kembali menemui pintu. Bibirnya menikmati Daria sebagaimana ia menikmati miliknya. Tangan Damien menuruni punggung, bokong, dan berhenti di pahanya. Ia mengangkat Daria, pinggang lembutnya bertemu dengan tubuhnya yang keras. Sementara bibirnya menawarkan ciuman yang tak pernah Daria rasakan sebelumnya.

            Damien mengulum bibirnya penuh kebutuhan seakan-akan Daria adalah detak yang memacu jantungnya. Keras dan memabukkan, mengalirkan listrik di sepanjang tulang punggung Daria. Sebuah erangan terselip keluar dari antara bibir Daria dan di celah sempit itu lidah Damien menyapa lidahnya. Lembut sekaligus menuntut. Damien menggeram senang, memiringkan kepala demi mengeksplorasi rongga mulutnya.

            Jemari Daria meraih rahang Damien, mengukir wajah pria itu di benaknya, lalu menyisir rambut legamnya. Perasaan paling sempurna. Pria itu mendesah sebelum menyesap bibirnya, melepaskan pagutan mulut mereka. Napas yang menerpa bibir Daria menjelma uap gairah.

            "Oh, Daria." suaranya parau. Ibu jari Damien membelai pahanya, mengangkat roknya dengan kelambanan yang disengaja. "Kau lebih manis dari yang selalu aku impikan."

            Senang dengan pujian tersebut, Daria menangkup kedua pipi Damien, kembali mempertemukan bibir mereka. Ia mulai dengan sebuah isapan, mencecap rasa bibir pria itu sepenuhnya pada bibirnya. Lembab, panas, segala yang dibutuhkannya. Lalu, ia mengulum permukaan lembut itu laiknya Damien menikmati dirinya. Perlahan, tetapi keras di tiap ulumannya. Semakin keras selagi tangan lihai Damien kian banyak menyingkap kulit di balik roknya, mengelus pahanya dalam putaran menggilakan.

            Damien melepas pagutan mulut mereka, membawa bibir itu menyeberangi wajahnya. Jejak lembabnya meninggalkan panas yang membakar kulit Daria. Pria itu mengecup daun telinganya, mengirimkan gelenyar nyaris menyerupai dosa. Lalu, lidahnya memuja telinga Daria, membuat tubuhnya menggelinjang di bawah dominasinya.

Bibir itu mengecup rahangnya, bawah dagunya, pembuluh di lehernya dan berhenti di sana, mengembuskan napas panas menggelisahkan. Sementara itu, tangan Damien ada di mana-mana. Daria mampu merasakan telapak tangannya menjelajah naik dari pahanya, pinggangnya, sebelum menghitung tulang rusuknya. Dua, empat, delapan, lalu mencetak lekuk payudaranya—

Suara gelas pecah membuyarkan gairah mereka. Damien segera menurunkan Daria dan ia pikir jantungnya ikut mencelus turun. Damien merapikan lipatan roknya sebelum berbalik, menghadap sosok yang baru masuk dari pintu lain dalam ruangan. Tubuh besar Damien menyembunyikan wajah Daria, sebuah tindakan yang membuat hatinya terenyuh. Pria itu sedang melindungi harga dirinya, identitasnya.

"Demi dewa-dewi!" Pengganggu itu berseru. Daria mengenali pemilik suara itu. Dokter Nero yang menyeret sang Ratu pergi bersamanya. Daria mencengkeram bagian belakang kemeja Damien. Kejadian mencekam itu kembali berputar di benaknya.

"Dokter Nero." Sebelah tangan Damien menyisir rambut, lalu menghela napas panjang. "Maafkan aku atas ketidaknyamanan ini."

"Yang Mulia, saya tahu betapa menggiurkannya fisik seorang wanita. Tetapi, bisakah Anda melakukan aksi polinasi itu di kamar alih-alih ruangan saya?"

"Aku mengerti, Nero. Aku akan lebih berhati-hati," ujar Damien.

"Saya akan meninggalkan ruangan dan begitu saya kembali—tolong lampiaskan libido Anda di tempat lain." Genderang telinga Daria menangkap suara pintu menutup dan, kini, ia dapat menghela napas lega.

Damien membalikkan badan, meraih tangannya. Tanpa Daria sadari, ujung-ujung kukunya sedingin es. "Ada apa?" Ia menghangatkan jemari Daria dengan embusan napasnya. "Apa yang kau takutkan?"

Daria menyipitkan matanya. "Aku hanya terkejut. Bukan takut." Setidaknya, itu apa yang ia percayai. Tetapi, raut wajah sang Ratu membayangi di tiap kedipan matanya. Benaknya berupaya menguntai seluruh serpihan yang ada. Ketakutan sang Ratu. Pangeran Mahkota Waisenburg. Ruang bawah tanah kastil. Pedang yang dapat berbicara. Dan... Zahl.

"Aku tidak apa-apa." Daria meyakinkan Damien. Meyakinkan dirinya sendiri.

Damien tampak tidak percaya, tetapi alih-alih bertanya, ia menangkup pipinya. Hangat dan aman. "Kau tidak bisa mengelabuiku."[]

Hey hey heyyy akhirnya aku double updatee!! Semoga kalian menyukai chapter ini yaa!

Jangan lupa berikan komentar dan votenyaaa, cinta sama kalian semuaa!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top