12 - Daria

Meskipun sejak pertemuan mereka malam itu Daria jarang berpapasan dengan Damien, tubuhnya mengisyaratkan keberadaan pria itu setiap kali kehadirannya dalam jangkauan. Daria sedang mendengarkan ceramah mengenai hukum—yang mana, sesungguhnya, merupakan hukuman terberat bagi otak udangnya—kala aliran listrik itu menyengat tulang punggungnya.

Sementara gurunya membacakan undang-undang, ia mengalihkan pandangan ke jendela yang menampakkan taman depan Kastil Waisenburg. Sebuah kereta kuda datang, berhenti dekat pintu masuk kastil. Sang kusir membuka pintu, mempersilakan dua orang pria masuk. Mata tajam Daria mustahil keliru mengenali dua sosok bertubuh besar itu. Noah dan, firasatnya benar untuk kesekian kalinya, Lucius Damien Friedrich of Cayenne.

Bahkan melafalkan sekadar namanya saja memacu detak jantungnya seribu kali cepat. Mendadak, alas kursi tempat Daria duduk membuatnya risau dalam segala posisi. Suara dentuman jantungnya begitu kencang menguasai genderang telinga Daria. Ketika Damien beranjak masuk ke kereta kuda, ia melirik jendela ruang belajarnya. Untuk sepersekian detik yang nyaris tidak Daria percaya, mata mereka bertemu dalam satu titik. Matanya bahkan tidak sempat berkedip, tetapi Daria tahu kontak mata mereka nyata.

Kereta kuda mereka, akhirnya, pergi. Belakangan, Damien sering meninggalkan kastil. Menurut informasi dari Emilia, tiap tahun Damien dan Noah mengunjungi Waisenburg, mereka tidak pernah lupa memonitor tenaga kerja dari Cayenne yang bekerja untuk pertambangan Waisenburg. Inspeksi tambang-tambang baru Waisenburg juga tidak luput dari perhatian mereka. Cayenne tidak ubahnya Reibeart, salah satu sekutu Waisenburg yang sering mengadakan pertukaran sumber daya baik mineral maupun tenaga kerja.

Daria biasanya penuh rasa ingin tahu, tetapi ia tidak berani bertanya jauh. Sebab, Emilia menyipitkan matanya waswas kepada Daria. Kenapa kau begitu tertarik dengan apa yang Noah lakukan?

Penasaran. Dan itu bukan dusta karena Daria memang penasaran dengan apa yang Damien lakukan.

Deham gurunya menariknya kembali ke kenyataan. "Tuan Putri?"

Daria memejamkan mata lalu meregangkan punggungnya. "Sampai mana kita tadi?"

"Undang-Undang nomor  dua pasal sembilan belas  ayat tiga."

Oh, demi dewa-dewi. Daria dapat memastikan kepalanya meledak terlebih dahulu sebelum gurunya sempat membaca selesai ayat tersebut. "Bukankah sudah saatnya kita menyelesaikan kelas ini?"

"Saya tidak yakin apakah Anda dapat bernegoisasi terhadap hukuman yang sudah ditetapkan pengadilan," ujar gurunya sedatar beton. "Kita akan menyelesaikan pemahaman—"

Suara ketukan berkumandang di pintu ruang belajarnya. Mata Daria berbinar-binar. Kumohon, siapapun itu, bawa aku pergi dari sini. Seorang pelayan pria menampakkan dirinya. Daria tidak pernah melihatnya sebelumnya. Kerutan di sekitar mata birunya menyiratkan kebijaksanaan dan pengalaman. Bungkukannya adalah gambaran sempurna dari ajaran etika Lady Godfrey.

"Maafkan kelancangan saya," ucapnya kepada guru hukum Daria sebelum menyatakan urusannya, "Tuan Putri Daria, kehadiran Anda diharapkan Yang Mulia Ratu Adeline di ruang tunggu utama."

Daria mengerjapkan matanya berkali-kali. Adeline? Adeline, sang ratu Waisenburg? Kendati keterkejutan melumpuhkan lidahnya, namun Daria segera beranjak dari kursi dan menghampiri si pelayan.

"Ikuti saya." Pelayan itu mulai berjalan dengan langkah kaku dan panjang menyusuri lorong-lorong kastil.

Sementara kakinya berderap berusaha menyeimbangkan kecepatan si pelayan, berbagai pemikiran meledak di benak Daria. Ini adalah kali pertama selama enam bulannya di Waisenburg bertemu dengan sang ratu. Bahkan ketika sang raja dan para menteri menyambut kedatangan Daria ke Waisenburg, kehadiran sang ratu tidak ditemukan di manapun. Rumor beredar bahwa sang ratu berselingkuh di balik punggung sang raja. Ia memiliki begitu banyak kekasih sampai-sampai sang raja harus mengusirnya. Maka dari itu, hampir tiga tahun belakangan, ia memutuskan tinggal di kastil yang terpisah. Jauh dari urusan masing-masing.

Daria mengingat sang ratu dari kenangan masa kecilnya. Sang ratu adalah sosok wanita lembut, baik hati, dan menyayangi keluarganya, terutama anak-anaknya. Rambutnya pirang panjang bagai tirai mentari, menjuntai hingga pinggangnya. Bola matanya hijau, namun jauh lebih gelap dari yang Damien miliki. Ia memiliki senyuman termanis yang pernah Daria saksikan dalam hidupnya. Satu-satunya ratu yang tidak menghakimi Daria atas perilaku tomboinya.

Di ingatan Daria, setidaknya, sang ratu dan raja tampak harmonis. Walaupun tidak saling mencintai, mereka menyayangi satu sama lain. Mereka saling melengkapi dan tahu, demi kelangsungan perkara lebih besar, perasaan-perasaan tidak penting harus disingkirkan. Sehingga, Daria kesulitan menerima desas-desus mengenai sang ratu yang beredar dari satu mulut pelayan ke pelayan lainnya dan sampai ke telinga Emilia.

Si pelayan berhenti di ambang pintu ruang tunggu utama kastil. Ia mengetuk pintu tepat lima ketukan—sebuah kode, Daria menyadari. Tidak ada jawaban dari dalam ruangan, namun si pelayan membuka pintu, mempersilakannya masuk. Daria mengangguk terima kasih sebelum pintu itu menutup di hadapannya.

Membalikkan badan, Daria mendapati sang ratu duduk di sofa sedang menyesap teh. Pergelangan tangan kecilnya gemetar menahan cangkir teh dalam genggamannya. Wajahnya tidak lagi memancarkan kecantikan yang Daria ingat. Rahangnya begitu tirus, tulang pipinya menonjol, dan nyaris tiada lemak tersisa di pipinya. Bahunya mungil dan rapuh, tubuhnya amat kurus seolah-olah gaun yang dikenakannya akan menelannya.

Napas Daria tercekat melihat perubahan tersebut. Entah apa gerangan yang menimpa sang ratu, Daria yakin itu adalah kemalangan luar biasa.

"Daria," suara yang keluar dari antara bibirnya lirih, "duduklah."

Daria merundukkan kepalanya, mengambil duduk tepat di seberang sang ratu ragu-ragu. "Terima kasih, Yang Mulia."

Meletakkan cangkirnya, sang ratu menuangkan teh ke cangkir kosong. Jemarinya bergetar tidak beraturan saat menekan tutup teko. "Cobalah teh buatan Sir Graham," ujarnya. "Aku hanya minum teh buatannya."

"Sir Graham?" Daria mengangkat sebelah alisnya sementara tangannya meraih tehnya.

"Pelayan yang mengantarmu kepadaku." Sang ratu tersenyum, namun tidak menyunggingkan kemanisan yang sama. Hidupnya bagai tersedot perlahan oleh kuasa entah.

Daria menghirup wangi teh sebelum menyesapnya. Hangat membasahi tenggorokannya, melegakan ketegangan yang mencekam belakang lehernya. Daria kembali membawa pandangannya ke wajah sang ratu. Kini, ia menyadari lingkaran hitam di bawah matanya. Putih yang merajai rambut pirangnya, seutuhnya. Mata hijau yang kehilangan cahayanya, nyaris kelam. Ia tampak mengerikan dan menyedihkan di saat bersamaan. Bukan lagi ratu yang ia ingat dari kenangannya, melainkan—tak ubahnya mayat hidup.

Tiada lagi kekuatan untuk menopang jiwanya, tetapi, untuk satu tujuan entah, ia harus bertahan hidup.

"Kau tumbuh cantik dan berani." Sang ratu kembali menyesap tehnya. "Maafkan aku karena tidak sempat menyambut kedatanganmu, Daria."

Daria menggelengkan kepalanya. "Sama sekali bukan masalah, Yang Mulia. Saya tahu Anda—" Daria menelan ludahnya sebelum melanjutkan, "memiliki urusan lebih penting."

Mata sang ratu membesar. Tatapannya hampa menembus diri Daria. Cangkir teh terselip dari jemari kurusnya, jatuh membasahi gaunnya dan ia bergeming. Masih memandangi melalui dirinya. Daria segera bangkit menghampiri sang ratu. Berjongkok di dekat sang ratu, Daria memungut cangkir dan mengeluarkan sapu tangan dari saku gaunnya. Ia mulai menyeka cairan dari rok sang ratu sementara pandangan sang ratu masih terpatri di titik yang tak mampu Daria temukan.

Sejurus kemudian, Daria merasakan cairan hangat lain menetesi punggung tangannya. Mendongakkan kepala, Daria mendapati sang ratu menunduk, tangis membanjiri pipinya. Isakannya serak seakan-akan tenggorokan sang ratu luka karena frekuensinya menangis. Adeline berkomat-kamit dari sela bibirnya. Sebuah nama, terus menerus.

"Caesar, Caesar." Dan sekali lagi, "Caesar..."

Acacio Caesar Waisenburg, sang pangeran mahkota yang tengah melaksanakan dinas di luar ibukota Waisenburg. Telapak tangan Daria menangkup pipi Adeline, hati-hati. Tulang wanita di hadapannya begitu rapuh dan keropos, dapat luruh sewaktu-waktu. Sedu sedan Adeline menjelma lolongan kesedihan yang memilukan hati Daria. Udara dalam dada Daria menyayat relung paru-parunya.

Daria melingkarkan lengannya di sekeliling tubuh kurus sang ratu. Jemari Daria lembut mengelus belakang kepalanya. Bibirnya berupaya mengalunkan ketenangan, namun tangis sang ratu semakin kencang. "Yang Mulia, tenangkan diri—"

Detik itu, seseorang mendobrak pintu. Daria seketika mengintip dari bahunya, penglihatannya menangkap tiga orang pria. Dua prajurit berwajah galak dan seorang pria mengenakan jas putih kedokteran. Lencana Whiteford tersemat di saku kiri jasnya—sebuah tanda bahwa ia adalah dokter dari Republik Whiteford di utara. Rambutnya sewarna tanah yang basah dan Daria menyadari, kepala sang dokter tampak besar untuk ukuran tubuhnya.

            Sang dokter tidak memiliki tubuh kokoh, tetapi tatapan matanya setajam pisau bedah. Ia membungkuk di hadapan Daria. "Yang Mulia Ratu dan Tuan Putri, selamat siang." Jemari panjangnya membenarkan posisi kacamatanya.

            Daria menyadari cengkeraman sang ratu erat pada lengan gaunnya. "Selamat siang, dokter...?" Daria tidak yakin harus memanggilnya apa.

            "Ah, maafkan ketidaksopanan saya." Ia meletakkan sebelah tangannya di dada. "Perkenalkan, nama saya Nero, dokter pribadi keluarga kerajaan Waisenburg." Ia menunjuk sang Ratu yang ada dalam pelukan Daria. "Saya yakin Yang Mulia baru saja mengalami histeria dan halusinasi?"

            Mengangkat sebelah alisnya, Daria bertanya, "Histeria dan halusinasi?"

            "Benar, Tuan Putri. Yang Mulia secara rutin datang ke Kastil Waisenburg dua kali setahun untuk melakukan pemeriksaan." Lalu, berbisik lebih lirih, "Sang ratu sedikit terguncang karena tepat tiga tahun lalu, rumor mengenai wanita simpanan raja beredar. Sejak saat itu, kondisi mentalnya memburuk."

            Tangis sang ratu semakin kencang. Cengkeramannya erat pada gaun Daria, menghantarkan gemetar yang membuat sekujur tubuh Daria menggigil ngeri. Daria mustahil salah: sang ratu ketakutan setengah mati. Tetapi, dengan satu kedikan kepala dari Nero, kedua prajurit sigap menarik sang ratu dari pelukannya.

            "Jangan. Kumohon—" Kedua prajurit tidak mengindahkan permohonan sang ratu. Tangis deras menuruni pipinya. Napasnya megap-megap, mencari segala udara yang dunia renggut darinya. Tangan kurusnya menggapai udara meminta pertolongan. Dan Daria tidak pernah memalingkan wajah dari makhluk penuh kemalangan.

            Daria menggenggam tangan sang ratu, sekadar tulang yang dibalut kulit tipisnya.

            "Yang Mulia, tolong bantu kami membantu Anda," ujar Nero pasrah.

            Salah seorang prajurit menarik lepas tangan sang ratu dari genggamannya. Daria segera mengepalkan tangan bekas genggaman sang ratu. Jantung Daria mulai menabuh gendang mematikan. Dentuman yang pelan dan menyakitkan hatinya. Telinganya pekak oleh pertanda bencana tersebut. Sekujur tubuhnya merinding.

            Nero mulai berjalan mendekati pintu. Sang ratu meronta-ronta di kungkungan kedua prajurit tersebut. Isakan tangis sang ratu berubah menjadi jeritan, simfoni kesengsaraan memadati ruang tunggu. Kedua prajurit menyeret sang ratu keluar, membawanya menyusuri lorong kastil. Teriakan sang ratu bergema di sepanjang koridor.

            Sebelum menutup pintu, Nero berkata, "Maafkan atas gangguan yang kami ciptakan, Tuan Putri. Semoga Anda menikmati hari Anda."

            Usai yakin dirinya adalah satu-satunya kehadiran di dalam ruang tunggu, Daria mengempaskan tubuhnya ke sofa. Ia tidak menyadari keringat dingin yang membasahi punggungnya. Ia tidak juga menyadari bibirnya yang gemetar atau robekan kulitnya karena mengepal terlampau erat. Menghirup napas dalam-dalam, Daria berusaha menemukan kembali ketenangannya, menyelaraskan pikirannya. Namun, percuma. Semua percuma.

            Penuh kehati-hatian, Daria membuka surat yang ratu sisipkan di telapak tangannya. []

Semoga kalian menikmati ketegangan (? lah) di episode ini!!

Selamat malam minggu buat kalian semuaaa! jangan lupa hari ini Start Up episode 15!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top