11 - Daria

"Mau ke mana, Emilia?" Daria duduk di hadapan meja rias. Tatapannya menemui milik Emilia dari pantulan kaca. Selama seminggu belakangan, Emilia tidak bersikap layaknya pelayan disiplin yang Daria kenal. Tulang pipinya selalu menonjol karena sunggingan senyum tanpa henti. Ia tidak segesit dan sedisiplin yang Daria ingat. Dan, tidak seperti tahun-tahun Daria mengenalnya, Emilia tidak pernah lupa menyisir rambutnya seusai mandi, setiap malam.

Dua minggu terakhir menyita perhatian Daria. Membuatnya sibuk dengan kelas-kelasnya di Akademi, sehingga ia gagal memperhatikan perubahan di diri Emilia. Daria tahu Emilia sedang dekat dengan seorang pria—Emilia satu-satunya teman bicara Daria di kastil, tentu saja, ia mengorek semua informasi pribadi pelayannya. Namun, kejadian tadi pagi menyadarkan Daria akan perubahan tersebut. Emilia adalah pelayannya yang perfeksionis. Ia profesional dalam pekerjaannya. Ia tidak pernah terlambat membangunkan Daria.

Hingga pagi tadi.

Ketika Emilia tidak kunjung menjawab, Daria bersedekap. Lirikan Emilia kalut berpindah dari pintu kamar, ke mata Daria, dan seterusnya. Akhirnya, pelayannya itu membuka mulutnya. "Saya diajak berkencan, Tuan Putri."

Daria berdiri dari kursi dan berputar menghadap pelayannya. "Kau tidak seperti dirimu, Emilia."

Wajah Emilia memerah, ia merundukkan kepalanya. Matanya terpejam sementara bibirnya berkata, "Saya akan membatalkan kencan saya. Saya akan menebus semua kesalahan saya."

"Yang benar saja, Emilia? Apa aku harus jadi seorang majikan galak supaya kau mengingat kewajibanmu?" Daria mendengus. Ia menahan geli yang menggelitik perutnya. Tahan... sudah berapa lama ia memimpikan momen seperti ini? Saat di mana, akhirnya, ia memiliki segala kuasa untuk melawan balik Emilia? Oh, rasanya menyenangkan sekali.

"Maafkan saya, Tuan Putri." Emilia membungkuk sembilan puluh derajat. "Saya tahu saya sudah melewati batas."

"Aku jadi penasaran pria macam apa yang berhasil merebut hati pelayanku." Daria menarik lengan gaun tidurnya, mempersiapkan tinjunya, berjalan menghampiri pintu. "Apa dia ada di balik pintu itu sekarang? Aku akan memberinya pelajaran."

Emilia tahu bahwa Daria tidak pernah bercanda saat memberikan pelajaran. Daria sering menantang bocah-bocah desa nakal di estat keluarganya, Kastil Seymour. Semua bocah malang itu tidak berakhir baik. Mata biru dan gigi patah. Daria tidak pernah kenal takut.

Emilia menarik lengannya ketika Daria baru saja hendak menarik gagang pintu. "Tuan Putri, kumohon maafkan aku. Ini semua salahku. Bukan salah Noah."

Daria mengangkat sebelah alisnya. "Noah?"

"Ya. Noah—dia kekasihku."

"Kau baru seminggu mengenalnya dan sudah mabuk cinta?" Berkacak pinggang, Daria berlagak bagai seorang ibu yang sedang memarahi putrinya. Meskipun, pada kenyataannya, Emilia lima tahun lebih tua darinya.

"Maafkan aku, Tuan Putri. Tetapi, setiap kali bersamanya jantungku menggila. Rasanya lebih nyata dari yang pernah aku rasakan terhadap pria lain. Sesuatu mengenai tatapannya membakar jiwaku. Senyumannya—" Emilia menghela napasnya panjang, "membuatku cinta."

Mulut Daria membentuk huruf O yang panjang dan meledek. "Ohhhhh." Satu sudut bibirnya terangkat arogan. "Jadi, ini jadinya apabila seorang Emilia jatuh cinta."

Emilia mendongak, mata cokelatnya menemui kilat usil di permukaan mata Daria. Detik itu, ia menyadari bahwa Daria sedang menggodanya. Seluruh darah lari ke hamparan pipinya, malu dan kesal dan perasaan lucu bercampur satu. "Tuan Putri, Anda—"

Daria meniup kuku, menyudahi sandiwaranya. "Hm?" Ia menggelengkan kepalanya. "Emilia, Emilia. Bagaimana mungkin kau begitu mudah jatuh ke perangkapku?"

"Demi dewa-dewi, nyawaku hampir melayang, Tuan Putri!" Emilia berseru. "Hanya dewa-dewi yang tahu seberapa nekat dirimu mengayunkan tinju. Kakiku lemas." Ia menyandarkan bahunya di dinding sebelah pintu.

Daria terkekeh. Ia menangkup pipi pelayannya, lalu berbisik, "Pergilah. Aku tidak akan pernah menghancurkan kebahagiaanmu, Emilia."

"Oh, Tuan Putri." Emilia terisak. Air mata menggenang di pelupuknya. "Anda tidak tahu betapa takutnya aku tadi."

"Sssh." Ibu jari Daria mengusap air matanya. Daria membuka pintu kamarnya, membungkuk menyilakan Emilia keluar sebagaimana kepala pelayan di Reibeart melakukannya. "Silakan, nona."

Emilia menarik napas dalam-dalam, mengisi udara kembali ke relung paru-parunya. Ia menegakkan tulang punggung dan menyunggingkan senyum terbaiknya. Pipinya yang merona merah ditambah sorot tatapan mendambanya menjadikan penampilannya sempurna. Daria tidak mampu menahan senyuman di bibirnya. Ia tidak pernah salah—wanita tercantik di dunia adalah wanita yang tengah jatuh cinta.

Daria mengintip dari daun pintunya, pandangannya mengantar perjalanan Emilia. Seorang pria, tidak lebih dari tiga puluh tahun, sedang menunggu tidak jauh dari kamarnya. Api lilin menerpa rambut pirangnya, menerangi wajah yang seliar bajak laut manapun. Namun, ketika melihat Emilia, fitur wajahnya melembut, mata gelapnya berbinar-binar. Itu pasti Noah, pikir Daria.

Noah menawarkan lengan yang pelayannya itu terima dengan senang hati. Atmosfir di sekitar mereka seketika berubah. Seakan-akan dunia jadi milik mereka berdua. Daria jadi bertanya-tanya dari mana Emilia mengenali Noah karena, jelas, pria itu tidak tampak seperti seorang pelayan. Ia lebih tampak seperti seorang bajak laut dengan kulit gelapnya tersebut.

Tiba-tiba, pintu kamar di seberang kanan Daria membuka, memperlihatkan bagian belakang kepala yang amat familiar. Daria mengeratkan genggamannya pada gagang pintu kala pria itu bersuara. Suara yang tidak asing. "Hei, Noah! Jangan lupa sampaikan salamku kepada Mr. Gibbons."

Noah mengintip dari balik bahunya. "Aye, Kapten." Lalu, pasangan itu berbelok pada tikungan pertama.

Daria bergeming. Tidak beranjak sedikit pun dari ambang pintu, masih mematri tatapan tidak percaya ke sosok pria yang tengah membelakanginya. Sekali lagi, pria itu datang tak diundang ke dalam hidupnya. Dan seolah mampu mendengar desir cepat darahnya, pria itu membalikkan badannya menghadap Daria. Kendati di bawah keremangan cahaya lilin, Daria mampu menebak raut wajah pria itu memperlihatkan ekspresi yang sama terkejutnya.

Jangan pernah berharap, nanti kau kecewa.

"Oh." Dari berjuta-juta kata yang terdaftar dalam kamus, mulutnya hanya berhasil membentuk satu kata spesifik tersebut.

Damien yang pertama kali pulih dari keterkejutan mereka. "Ternyata kau tamu yang mengambil kamarku."

Mengangkat sebelah alisnya, Daria memastikan pendengarannya. "Maaf? Kamarmu?"

"Ya." Ia menunjuk kamar Daria. "Itu kamar yang tiap tahun sang raja siapkan untuk kedatanganku."

Pandangan Daria menyusuri bingkai pintunya. "Ha." Ia mengedikkan dagunya ke arah pelayannya pergi. "Apa kau mengenal pria itu?"

Damien mengangguk. Detik itu, Daria menyadari mata hijau itu menjelajahi gaun tidurnya yang tipis dengan kelambanan disengaja, sebelum kembali ke wajahnya. Kalau bukan karena redup cahaya di koridor, Daria tidak akan mampu menyembunyikan rona wajahnya.

"Wakil kaptenku." Suaranya sedikit parau entah karena apa. Seolah-olah tenggorokannya kering mendadak. Ia berdeham sebelum bertanya, "Wanita itu pelayanmu?"

Daria melengkungkan jemari kakinya. "Ya."

            Damien berhasil menangkap tindakan kecilnya tersebut. Demi dewa-dewi. Pria ini meneliti dan menilainya bagai sebuah lukisan. Mempelajari detail-detail terkecil sekalipun. Daria seharusnya merasa tidak nyaman. Ia selalu merasa tidak nyaman dengan tatapan pria itu. Namun, entah mengapa, detik itu, tatapan Damien bagai tengah memujanya. Daria adalah dewi di bawah sorot pandangnya.

            "Selamat malam, Daria," ujar Damien pada akhirnya, mematahkan ketertarikan yang... unik itu.

            "Malam," balas Daria.

            Tidak ada satu pun dari mereka yang menutup pintu. Mereka seakan sedang melakukan permainan menunggu. Siapapun yang membalikkan punggung terlebih dahulu, kalah. Sedari kecil, Daria merupakan pribadi yang kompetitif. Ia menyukai permainan karena ia menyukai kemenangan. Ia akan mati-matian memenangkan permainan kejar-kejarannya dengan Petra. Ia akan mati-matian bertarung dalam duel dengan teman seangkatannya.

            Tapi, kali itu, Daria tidak lagi mempersoalkan menang kalahnya.

            Ia segera membanting pintu di balik punggungnya. Persetan dengan menang kalah—jantungnya malam itu menggila. []

Selamat hari Jumat kalian semuaaaaa~ semoga kalian menikmati saat di mana Daria mulai dag dig dug ser ya ama Damien

Dukungan kalian akan sangat berarti buat sayaa!! Jadi jangan lupa untuk vote, comment, dan suscribe! #youtuberjadijadian

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top