1 - Daria

Y230
Delapan tahun kemudian—

            Kabar itu datang menggelegar dunia Daria. Tidak seperti teman baiknya, Katarina de Clare, ia bukan tipikal wanita yang mudah terkejut. Ia merupakan tipikal wanita dengan wajah bak gelas kaca. Segala emosi yang ia rasakan tampak di permukaan wajahnya, di kedut serta sudut mulutnya. Ia tidak pernah andal menyembunyikan emosinya yang meluap-luap. Atau, membanjiri relung hatinya seperti detik ini.

            Dan ibunya adalah wanita paling penyayang serta penuh perhatian, memeluknya. Mengirimkan sejuta ketenangan melalui kecupan di dahinya. Tangan Ibu mengelus pundaknya, mengayun tubuhnya maju mundur, mengingatkan Daria di masa kecilnya kala ia menangis karena lelah memegang pedang kayu yang terlampau berat bagi telapak tangan mungilnya.

Daria memandangi kedua telapak tangannya. Bagian tubuhnya yang itu tidak lagi mungil, kuat mengangkat pedang macam apapun. Tetapi—Daria bahkan tidak menyadarinya—aliran gemetar di jemarinya masih sama, seperti masa lalu. Gemetar mengetahui bahwa emosi yang tengah meracau hatinya kini lebih dari yang bisa ia tanggung.

Pangeran Mahkota Julius Ethan of Cayenne meninggal dunia. Ia amat terkejut sebab bagaimanapun, usia dua puluh dua tahun adalah usia yang begitu singkat. Ditambah, Daria baru saja mengirim surat ucapan ulang tahun dan hadiah kepada pria itu. 

Kesedihan membanjiri relung hatinya. Setiap kali adiknya membicarakan tentang pria, maka wajah Ethan akan muncul di benaknya. Genggaman malu-malu tangan mereka di sepanjang koridor Akademi, ciuman yang singkat nan manis, serta kisah mengagumkan yang keluar dari mulut Ethan, di bawah hamparan bintang. Serangkaian kenangan itu kembali menyeruak, namun kali ini, tidak menghantarkan kebahagiaan.

Ia ingin menangis, mengeluarkan seluruh isi hatinya. Tetapi, sekeras apapun ia berusaha, air matanya tidak juga turun. Seakan-akan tubuhnya masih mempelajari keterkejutan yang dialaminya. Begitu mendadak, tiba-tiba, tanpa syarat.

Hari itu juga, Daria bersama Ibu beserta sepasukan pengawal pilihan, berkendara menuju kerajaan Cayenne di selatan Reibeart. Mereka menghabiskan delapan hari perjalanan, tidak sekalipun keluar dari kereta kuda kecuali malam datang atau ketika melalui perbatasan Kerajaan Fitzalbert. Sebagian besar waktu, perhatian Daria terpatri pada pemandangan di luar kereta kuda dan, di titik ini, Daria tidak memercayai dirinya sendiri. Sebab ia selalu kesulitan memusatkan fokusnya.

Tetapi, saat itu, tidak ada yang lebih diinginkan Daria daripada membayangkan jalan serta jalur yang mungkin dilalui Ethan. Menangkap seberkas jejak-jejak kehidupannya. Dan itu adalah apa yang kematian lakukan pada diri seseorang, pikirnya.

Daria nyaris menyangka bokongnya akan berubah rata menyatu dengan bangkunya ketika deret pegunungan tampak di kejauhan. Ia seketika menegakkan punggungnya, membuka jendela kereta kuda dan merasakan angin sejuk dataran tinggi mulai menari bersama rambutnya. Ini adalah kali pertama Daria berkunjung ke Cayenne, namun ia sudah mengenal keindahan kerajaan tersebut dari cerita-cerita Ethan.

Kerajaan yang dikelilingi pegunungan dan hutan. Pemukiman di Cayenne tersebar tidak merata dan akses dengan kereta kuda sangat terbatas, sehingga perkembangan beberapa desa tidak sepesat yang lainnya. Namun, ibukota mereka terletak strategis di daratan dekat sungai yang membelah Benua Tengah menjadi dua. Kendati demikian, sebagian besar rakyatnya sejahtera. Bahan tambang menjadi komoditas utama Kerajaan Cayenne, memakmurkan penduduknya—dengan pengorbanan yang setimpal. Mata pencaharian penduduk di Cayenne didominasi bidang tambang, sebuah pekerjaan beresiko tinggi yang juga merenggut nyawa Ethan.

Daria ingat tumpukan buku rumit mengenai bebatuan dan geologi yang hampir setiap hari Ethan baca. Ia akan menemani Ethan di perpustakaan seusai latihan duel, hingga malam menyapa dan penjaga mulai mengusir mereka. Ethan, setelahnya, akan menceritakan keindahan batu-batuan yang bagi Daria kesemuanya tampak seperti kerikil berlumpur. Tetapi, Daria tidak pernah mengeluh mendengar nama-nama asing tersebut, sebab Daria mengagumi kebahagiaan yang terpancar dari wajah Ethan saat menceritakan bebatuan itu dari A sampai Z.

Ethan dan Daria memiliki ketertarikan yang sama sekali berbeda serta sifat bertolak belakang. Namun, Daria tidak bisa mengelak fakta bahwa, pada dasarnya, ia sama seperti Ethan. Sama-sama merasa terpencil di Akademi, dikucilkan teman-teman seangkatan mereka. Mungkin, itu alasan mengapa ketika bersama Ethan, jantungnya berdetak lebih tenang. Lebih aman karena Daria menyadari, ia tidak sendirian menghadapi realita terkutuk sosial sekolah. Ethan membutuhkan dirinya dan Daria membutuhkan Ethan untuk tetap tersenyum.

Mereka sampai di Kastil Putih Cayenne beberapa menit sebelum pukul tiga sore. Mata Daria tidak berkedip memandangi kastil terindah dalam hidupnya itu. Dinding-dindingnya dibentuk dari batuan unik yang memantulkan cahaya matahari, mengagungkan kekayaan sumber daya kerajaan kepada siapapun yang memijak pintu masuknya. Daria meregangkan rahangnya, menyadari bahwa selama perjalanannya ke ruang takhta menemui raja, mulutnya menganga lebar. Bahkan pilar dalam kastil lebih indah dari seluruh perhiasaannya digabungkan! Tunggu, ia tidak ingat memiliki perhiasan lebih dari dua...

Ketika pintu ruang takhta dibuka, Raja Cadmus duduk di singgasananya, sudah menanti kedatangan mereka. Raja Cadmus tidak memiliki keelokan yang dimiliki dua putranya. Mata biru gelapnya serupa milik Ethan, tetapi milik sang raja tampak kering dan kekuningan. Rambut sewarna bajanya tampak lepek dan tipis. Tubuhnya membulat di sekitar perutnya. Wajahnya merah dan ia kesulitan berbicara di antara cegukannya.

Daria memerhatikan dua wanita duduk bergelayutan pada lehernya. Salah satu dari wanita itu menggengam botol anggur. Raja Cadmus merupakan salah satu raja dengan reputasi buruk di Benua Tengah. Sang raja terkenal senang menghamburkan uang dan menikmati wanita—silih berganti, setiap harinya. Desas-desus tersebar di sepenjuru Benua Tengah bahwa rakyat Cayenne tengah menunggu detik di mana sang raja mati karena penyakit kelamin.

Sementara Ibu bercengkerama dengan sang raja, Daria menyadari pria itu tampak tidak sedikitpun sedih akan kematian putranya lima hari lalu. Seakan-akan Ethan sekadar pion yang mudah digantikan dengan yang lainnya. Daria seharusnya marah. Ia biasanya marah. Tetapi, entah mengapa, tubuhnya tidak mengizinkannya. Ibu, kemudian, menggaet lengannya, mengekori seorang pelayan yang menuntunnya ke bukit samping kastil, makam para pemimpin Cayenne.

Prosesi pemakaman dilakukan enam hari lalu, bahkan dengan kuda paling cepat pun Daria tidak akan berhasil datang tepat waktu. Pelayan tersebut berhenti dekat sebuah makam yang dipenuhi bunga-bunga segar. Seorang wanita berambut pirang berlutut dekat batu nisan Ethan, dikelilingi dayang-dayang, isak tangisnya terbawa angin. Salah seorang dayang yang menyadari kehadiran mereka, mengelus ringan pundak indah wanita itu sembari mengabarkan kedatangan  Daria dan ibunya.

Wanita yang tengah menangis itu bangkit, dua orang dayang menepuk jatuh debu dari gaun hitamnya. Daria mengenalinya sebagai ibu Ethan, Ratu Calanthe. Sang ratu memiliki fitur-fitur wajah yang mengingatkan Daria akan Ethan, kecuali mata cokelatnya. Manik yang sedang membalas tatapan Daria itu berkaca-kaca, kesedihan tidak hentinya meluap dari pelupuk matanya.

Suara serak keluar dari antara bibir Daria. "Yang Mulia Ratu, saya turut berduka. Ethan—" Daria melirik ukiran namanya pada batu nisan, "dia teman baik saya di Akademi."

Calanthe kembali menangis, memeluk salah satu dayangnya. Ibu menggenggam tangan Calanthe, hati-hati menuntunnya balik ke istana. "Bagaimana kalau kita kembali ke kastil? Kebetulan sekali sekarang waktunya minum teh." Ibu mengedikkan kepalanya ke arah makam Ethan, sebuah indikasi bagi Daria untuk tetap tinggal.

Pandangan Daria mengantar perjalanan rombongan ibunya pulang, mendapati seorang pengawal menjaganya dari kejauhan, memberikan jarak privasi. Lututnya mulai menekuk sedemikian rendah, menemui rerumputan. Tangannya mengelus permukaan nisan Ethan, menelusuri ukiran namanya.

Daria menyadari petak kosong tepat di belakang nisannya, tempat patung Ethan akan didirikan untuk mengenang sang pangeran mahkota. Daria berharap para pemahat tidak akan meninggalkan garis lembut di sekitar matanya. Atau, melupakan senyumannya yang selembut cahaya matahari pagi. Dua aspek yang paling Daria cintai dari paras Ethan.

Meraih setangkai bunga di atas makamnya, Daria berujar, "Lihat, Ethan. Seluruh bunga ini untukmu. Lucu, sebagaimana orang-orang memberikanmu bunga lebih banyak di hari kematianmu dibandingkan saat Perayaan Kasih Sayang."

Ethan tidak menjawab. Tentu saja ia tidak menjawab. Daria menghirup napasnya dalam-dalam. Apa yang ia harapkan ketika datang mengunjungi makam Ethan? Kebangkitannya? "Tapi, aku yakin, apabila kau mampu menjawab, kau lebih memilih batu daripada bunga-bunga ini, bukan?"

Embusan angin membalas pertanyaannya. Jemarinya mulai bergetar di luar kendalinya, seperti lima hari yang lalu kala ia mendengar kabar kematian Ethan. Tetapi, kali ini pedih menyeruak di hatinya, merembes ke seluruh syarafnya. Curang sebagaimana Ethan pergi meninggalkan dunia tanpa mengetahui kesedihan yang dirasakan orang-orang di sekitarnya. Padahal, mereka berjanji akan selalu bersama. Ethan membutuhkan Daria dan ia membutuhkan Ethan untuk tetap tersenyum—

Sehingga, ia tidak terkejut merasakan hangat tangis di pipinya. Aliran itu menuruni rahangnya, menetes di atas kepalan tangannya. Daria menyadari bahwa Ethan tidak sekadar meninggalkan dunia, tetapi Daria juga kehilangan dirinya. Kehilangan seorang teman. Isakan tidak keluar dari tenggorokannya sebab apa yang ia rasakan adalah sekumpulan emosi tak tentu. Ia marah. Ia sedih. Ia kesepian.

Memeluk dirinya sendiri demi menghalau luapan emosinya, Daria perlahan berdiri kendati tungkainya bergetar limbung bagai anak rusa baru lahir. Napas yang berputar di relung paru-paru Daria, menyakitinya. Ia tahu, ia tidak bisa lebih lama berada di sini. Ia baru saja hendak berbalik saat angin berembus lebih kencang, mengacaukan tatanan rambutnya. Ia menyelipkan helai rambut ke balik telinganya dan...

Damien berdiri di hadapannya. Tidak jauh, sembilan atau sepuluh langkah.

Kulitnya menggelap sejak terakhir kali Daria melihatnya delapan tahun lalu. Daria mendengar dari Ethan bahwa setelah lulus, Damien menghabiskan waktu berlayar keliling dunia. Bahunya semakin bidang dan cahaya matahari senja menyinarinya di tempat-tempat yang tepat. Otot-otot yang membalut tubuhnya dipahat kerja keras. Rambut hitamnya berantakan, menyembunyikan bekas luka di alisnya, membingkai wajah—wajah yang menghantui Ethan selama sekolah.

Damien berdiri tidak jauh darinya. Tetapi, cukup dekat meracuni Daria dengan rasa muak. Daria memejamkan matanya, ia menggigit bibirnya, membendung semua emosi berbahaya di dalam dirinya. Tetapi, ia bukan kakak perempuannya yang tenang, terkendali, dan berpikiran dingin. Ia selalu jujur terhadap dirinya sendiri dan sumpah, demi dewa, Daria membenci pria di hadapannya.

Pria yang menyiksa Ethan semasa sekolah, lebih sehat, lebih hidup, berdiri lebih tegak dibandingkan teman baiknya itu. Ia tidak sekadar marah, ia murka. Ia membenci ketidakadilan ini. Mengapa dewa-dewi merebut nyawa Ethan alih-alih iblis di hadapannya? Setelah semua yang dilakukannya, dosa-dosanya, Damien berdiri di atas tanah yang mengubur Ethan.

Ingatan masa lalu menyerbu Daria. Semua tindakan, setiap kata-kata Damien yang melukai Ethan. Mata hijau pucat yang menertawakan Ethan. Damien yang diam saja saat melihat teman-temannya meledek Ethan. Pria itu tidak pernah puas menyiksa Ethan. Penderitaan Ethan adalah sumber kebahagiaannya—

"Apa kau sudah puas sekarang?" []

Yiha! Halo semuaaaa kembali lagi bersama sayaaa orang indonesia yang ceritanya belum pernah mengenai indonesia HAHAHH. Semoga kalian menikmati bab pertama dari cerita ini! Latar di bab pertama ini mengambil tempat 1 tahun sebelum cerita Petra dan Katarina :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top