Tuhan Tahu Persisnya
Belum dewasa memang, aku baru saja menamatkan sekolah menengah atas, bukan umur yang ideal untuk membina rumah tangga.
Lelaki yang sudah lama dikenal, hanya saja kami dekat baru-baru ini, kurang lebih tiga yang bulan. Dia datang pada bapak dan emak, meminta restu menjadikan aku bagian dari hidupnya. Awalnya memang tak yakin, namun dia berhasil meluluhkan dan bulan berikutnya kami resmi menjadi suami-istri.
Sampai memang di telingaku desas desus yang tidak mengenakkan, tidak digubris. Selama hal itu tidak menganggu kehidupan kami, terlebih kosentrasi untuk menjaga cabang bayi yang terus menampakan kehidupan. Tuhan kemudian memberi bayi manis prematur, ya karena tujuh bulan setelah menikah aku melahirkan.
"Bang, anak kita tidak sehat." Dengan cemas aku memberitahu suami yang baru saja pulang dari tempat kerja, dia biasanya datang satu kali dalam seminggu. "Beberapa hari ini kelihatannya susah bernapas, kulitnya membiru. Dan sekarang jari tangan serta perut nampak bengkak."
"Sudah ke Ibu Bidan?" wajahnya turut menampakan kcemasan yang luar biasa, matanya menatap bayi mungil kami yang baru saja tertidur.
"Sudah Bang, menurut beliau kita harus ke kota, ke rumah sakit untuk bertemu langsung dengan dokter spesialis anak."
Suamiku orangnya memang cekatan, tanpa berkata lagi ia bergegas menemui satu-satunya orang di kampung kami yang memiliki mobil, biasanya digunakan untuk mengangkut hasil hutan, juga disewakan bagi yang membutuhkan.
***
"Anak ibu lahir tidak normal itu adalah hal yang biasa, " kata dokter wajahnya tampak serius. Kurang lebih sudah dua hari kami menginap di rumah sakit.
"Anakku baik-baik saja kan, dok?" Potong suamiku yang tidak sabar menunggu penjelasan dokter.
"Hanya saja setelah melakukan beberapa pemeriksaan dan tes, " dokter wanita yang berwajah ayu ini melanjutkan penjelasannya, "anak bapak mengalami kelainan jantung congenital."
Ya Tuhan, seluruh persendianku melemas mendengar hal ini. Aku tidak tahu apa itu congenital, bla ... bla ... yang jelas bayi kami mengalami kelainan jantung. Dokter menyarankan bayi manis kami harus dioperasi, dibawa ke rumah sakit di ibu kota negari ini, kalau di sini kurang memadai untuk melakukan operasi, terlebih bayiku baru berumur beberapa bulan. Risiko buruknya terlalu besar.
Rasanya ingin penyakit bayi kami berpindah padaku, terlalu berat baginya. Perasaan campur aduk menggeluti, rasanya musnah kebahagian yang baru kami kecap.
Butuh biaya yang tidak sedikit, dan kami bukanlah orang berada, suamiku bekerja sebagai buruh di perusahaan kelapa sawit. Dia berjanji segera membawa anak kami ke Jakarta, memintaku bersabar untuk mengumpulkan uang. Sekarang ia bekerja sangat keras, beberapa tanah yang dimiliki dijual, namun uang yang kami butuhkan belumlah cukup.
"Nak, Emak minta maaf jika pertanyaan Emak ini membuatmu tidak berkenan," kata Emak setelah berhasil dengan susah payah menidurkan bayiku. "Apa dulu kamu pernah berniat mengugurkan kandunganmu?" Emak menatapku dengan lembut.
"Pertanyaan seperti apa itu, Mak! " Jawabku, terasa panas telingaku.
"Mungkin kau sudah mendengar cerita diluar sana, Emak tidak percaya dengan hal itu, tapi Bapakmu meminta Emak bertanya, dan rasanya untuk meyakinkan perlulah mengetahui hal ini darimu langsung."
Bagaimana aku harus menjelaskan hal ini, bagaimana caranya agar orang kampung tidak lagi menggunjingku, hari-hari yang aku lewati semakin penat, mata mereka begitu sinis, seperti jijik. Seakan mereka tak pernah berbuat dosa.
Orang kampung sudah lama beranggapan aku hamil diluar nikah, diyakini lagi ketika bayiku lahir prematur, tak sesuai hitungan. Ditambah lagi anggapan anakku mengalami kelainan jantung bawaan adalah akibat kelakuanku yang pernah mengkonsumsi obat-obatan untuk menggugurkan kehamilan.
"Kenapa harus bersusah payah menjelaskan pada mereka, toh mereka sudah yakin dengan anggapan mereka sendiri," kata suamiku menenangkan keluhanku padanya. "Penjelasan yang bagaimana pun tidak akan mengubah keyakinan mereka. Kita punya Tuhan yang tahu persis bagaimana kita menjalani hidup, Tuhan tahu kita tidak bersalah dalam hal ini."
Benar kata suamiku, lebih baik kami berkosentrasi menjaga titipan Tuhan, bayi mungil kami adalah anugerah, dan sekarang menjadi tanggung jawab kami untuk menjaga, dan memberikan kasih sayang.
Tidak perlulah aku menjelaskan sewaktu aku menikah tubuhku menjadi bongsor karena setelah menamatkan sekolah kerjaanku hanya makan dan tidur, bukan karena sudah mengandung!
Tidak perlu aku harus berteriak nyaring bahwa bukan hanya aku yang melahirkan bayi prematur, atau menjelaskan penyakit bayiku memang bawaan bukan karena dari obat-obatan untuk mengugurkan kandungan. Juga tidak perlu aku menjelaskan menikah muda bukan karena kecelakaan diluar nikah. Aku memutuskan menikah karena sosok lelaki yang begitu hebat dalam kesederhanaannya, bagiku dia adalah lelaki terhebat setelah bapakku.
Sekarang yang harus aku lakukan adalah menjaga bayi kami dengan sebaik-baiknya, memberi semangat pada suamiku dalam bekerja, meyakinkannya untuk memastikan bayi kami dalam keadaan yang sangat baik selama dalam penjagaanku.
Terlebih lagi memohon pada Tuhan memudahkan rezeki agar dapat segera melakukan operasi, memohon ridho Tuhan untuk mengangkat penyakit bayi kami.
Bandung. Selasa, hari ke 27 bulan 10 tahun 2015.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top