Serat
"Bagaimana kau bisa yakin dia masih mengingatmu?" Fahri menoleh sebentar. Kemudian kembali konsentrasi pada ruas jalan.
Mobil yang berada di depan kami memberikan pertanda akan berhenti. Fahri memperlambat Holden Kingswoodnya , selanjutnya berbelok ke arah jalan Merdeka.
"Kalian selama ini tidak lagi berkomunikasi 'kan?"
Untuk beberapa saat aku belum memberikan jawaban. Sementara i won't give up-nya Jason Mraz mengisi ruang dengar kami.
Fahri, temanku ini mengenal Mia dengan baik. Bahkan saat aku sibuk mengurusi bisnis baju di Kalimantan. Fahrilah tempat Mia bertanya. Awalnya Fahri mengaku risi, lama kelamaan dia pun terbiasa dengan sikap kekasihku itu. Eh, lebih tepatnya mantan tunangan.
"Dia masih menghubungiku," jawabku kemudian, "Sengaja tidak terlalu kurespon. Bukan berarti aku sudah tidak memikirkannya lagi. Ini sikap penghormatan pada prinsip yang selama ini kujaga. Tidak ingin dicap PHO."
"Jaman sekarang sudah beda, Bung!" Fahri menyela, "cewek itu kalau lama kelaman tidak ada komunikasi, perasaannya akan hilang. Apa kau tidak belajar dari sebelumnya?"
Fahri tahu dengan persis sebab dari retaknya hubunganku dengan Mia. Komunikasi! Ya kesibukanku selama ini menyita. Dan satu lagi blunderku. Terlalu yakin dengan Mia. Rupanya Mia kesepian, kemudian perhatian dari lelaki itu mampu mengikis perasaannya padaku.
Tumpangan klasik keluaran tahun 1968 ini melaju pelan, membawa kami menyusuri jalan Asia Afrika. Untungnya sekarang bukan weekend, tentu berjubel pengunjung memadati jalan yang mirip jalanan Eropa ini. Akibatnya hampir seluruh kendaraan berjalan dengan merayap, untuk keluar dari kawasan gedung besejarah ini memerlukan waktu yang tidak sedikit. Biasanya para pengunjung yang berasal dari luar kotalah yang sering terjebak, lebih-lebih tidak paham dengan kondisi Bandung.
"Kamu mau tahu sebuah rahasia tentang wanita, Pram?" Fahri sekilas tersenyum padaku, "jika dia memperingatimu dengan mengatakan 'jangan nakal ya, Sayang'. Pertanda kamu harus berhati-hati."
Aku mengerutkan dahi. Belum paham arah pembicaraannya.
Masih dengan tersenyum Fahri kembali berkata, "Bukankah Mia sering berkata demikian? Sebaiknya kau jangan dulu tersanjung. Kemudian memperkirakan itu adalah bentuk dari rasa sayang. Takut akan kehilangannmu."
"Lalu apa maksudnya?" Tanyaku dengan cepat.
"Bisa jadi saat itu dia mulai terpengaruh oleh perhatian orang lain. Istilah lainnya, perasaannya sudah terbagi. Kemudian berusaha membentengi diri dengan jalan memperingatimu."
Meski aku tidak terlalu setuju dengan pernyataan Fahri. Banyak sedikitnya ikut mempengaruhiku dalam menilai. Bisa jadi, dan itu bukanlah mustahil. Bisa saja 'kan orang kalau takut kesalahannya terbongkar, menutupi diri dengan malah memberi nasehat pada orang lain? Ah, entahlah. Yang jelas, Mia memang banyak berubah. Atau jangan-jangan aku yang sudah berubah?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top