Malaikat Hati

13 Januari.

"Bolehkah aku mengetahui siapa orangnya?" tanyaku pada Jana, aku yakin saat ini suaraku terdengar bergetar. Tak mampu lagi menahan sesak yang siap memuntahkan tangis.

Jana tak menjawab, ia menunduk menatap rumput yang kami jadikan alas untuk duduk. Sementara matahari bergerak turun, menuju belahan bumi yang lainnya. Pemuda yang memikat hatiku ini bergeming dalam bisu.

"Apa salahnya aku mengetahui kekasihmu itu, percayalah aku tak berniat merusak hubungan kalian, apalagi menyalahkannya," kembali aku memohon.

Logika ini seperti tak dapat menimbang, harusnya aku menghujat lelaki ini. Bagaimana tidak, ia telah mempermainkan perasaanku, setelah tujuh bulan kami bersama. Berkeping rasanya sakit ini, ketika tadi menyatakan bahwasan inilah alasannya menghindariku beberapa hari yang lalu. Ia menyatakan menjalin hubungan dengan seorang gadis, jauh sebelum pertemuan kami pertama kali.

Aku bukanlah jenis perempuan yang mudah jatuh hati, bukan berarti aku pemilih, namun pengalaman pahit masa lalu membuatku berhati-hati, sulit menerima lelaki, apalagi mempercayai mereka. Tapi entah kekuatan apa yang mampu membiusku, ia datang menawarkan sesuatu yang langka, membasuh luka, menyuguhkan air di tengah dahaga. Aku mengenalnya lewat temannku, Rika. Jana adalah teman abang Rika, dari perkenalan itulah yang membuat hari-hariku berbeda.

Seperti petir di tengah teriknya matahari, ketika hari ini aku mendengar pengakuannya. Lalu kenapa aku seperti bodoh, tak secuil pun rasa marah padanya, hanya sakit saja. Rasanya seperti takut, ya ini sebuah ketakutan, ngeri membayangkan lelaki ini pergi kemudian meninggalkanku, dan berikutnya hari-hariku kembali hampa tak berwarna. Tuhan, inikah jalan untukku, diciptakan sekadar menjadi tempat lelaki singgah kemudian berlalu, tanpa memedulikan betapa aku menyeringai dalam sakit.

22 Januari.

Sejak kejadian di padang rerumputan itu, tak pernah sakali pun kami bertemu, jangankan bertatap muka, pesan yang aku kirimkan tak pernah dibalas, hanya dibaca dan mungkin langsung dihapus, takut jika kekasihnya mengetahui bahwa ia pernah menghianati.

Pertanyaan demi pertanyaan yang aku lontarkan tak satu pun dijawab, padahal aku hanya ingin bertemu bagaimana rupa kekasihnya itu.

Sungguh berdosa jika masih mengharapkannya, bukankah selama ini sudah bersalah telah merebut kekasih orang? Tidak, sebelumnya aku tak tahu, jadi bukan salahku, ya ini bukan salahku. Jika jauh sebelumnya ia mengakui telah memiliki seseorang, tentu tak akan aku buka hati yang sudah lama tertutup dengan rapat.

Dan sekarang aku benar-benar rindu, ingin sekali melihatnya walau dari kejauhan. Ia orang beradab menurutku, tak banyak lelaki yang santun sepertinya. Selama ini kebanyakan lelaki yang aku kenal hanya melihat fisik, mungkin salahku juga membuka aurat dan mengundang mereka untuk menatap seperti menelanjangi. Membiarkan kemolekanku menjadi tatapan yang bebas untuk dilahap.

Inilah yang membuat ia mempunyai pesona, sesuatu yang berbeda ditawarkan. Kesantunan sikap, serta olah kata memikat hati. Dan ia pula yang menyadarkanku betapa pentingnya menutup aurat.

"Suatu saat aku akan berhijab," jawabku ketika ia memintaku mengenakan pembungkus rambut  dan mengenakan pakaian yang lebih tertutup, "bukankah harus dari hati, percuma dong jika hati belum siap?"

"Dek Anjani Pratiwi," ia memanggil nama lengkapku. Suara inilah yang salah satunya menjadi pembius, terdengar berwibawa dan lembut, "memang benar perlu kesiapan hati, tapi jika sedari sekarang tak dibiasakan maka sampai kapan? Harus menunggu sampai rambutmu memutih?"

Aku mematung, menatapnya dengan manja.

"Bayangkan jika dulu Dek Tiwi tak dipaksakan untuk membaca dan menulis," katanya lagi setelah aku tak mampu menjawab, "tentu sampai sekarang Adek adalah orang yang buta huruf. Jadi bukan sebuah kebenaran kalau harus menunggu kesiapan, jika tak dimulai dan dipaksakan, entah kapan kesiapan itu datang, dengan alasan untuk menunggu kesiapan maka Adek adalah orang yang merugi, sebab orang lain telah jauh meninggalkan Adek."

Aku bukanlah jenis orang yang penurut, apalagi lingkungan sekitar tak mendukung, kehidupanku bebas, begitu pula dengan teman-temanku tak satu pun dari mereka yang berhijab. Abah dan Emak sama sekali tak pernah meminta mengenakan hijab, walaupun keduanya sudah pernah menginjakkan kaki di tanah suci sana.

Kesabaran dan cara mengingatkan yang lembut membuat pendirianku luluh. Ya aku sadar, awalnya hijab ini hanya karena Jana, lantaran ingin menyenangkan lelaki pencuri hatiku. Tak lama kemudian sindiran datang, mengatakan aku berhijab karena lelaki, takut kehilangan kekasih pujaan hati. Bahkan temanku terang-terangan meminta melepaskan hijab ini, katanya jadilah diri sendiri, jangan hanya jadi boneka yang manut dengan sesuatu yang tak sesuai, tak sejalan dengan keinginan hati.

Bukanlah sesuatu yang mudah bagiku mendengar ocehan dan cela yang datang, aku pun berniat melepaskan sesuatu yang seperti belenggu ini. Tapi lagi dan lagi sosok Jana mampu menjadi tameng yang paling tangguh, ia menguatkan keyakinan dan pilihan ini, ia bak pangeran yang mampu membawaku berkuda, menjauhi anak panah yang siap menghujam tubuh.

Perlahan, berjalannya waktu hatiku semakin mantap mengenakan penutup rambut, perlahan pula dulunya salatku sering bolong, kini, alhamdulillah dapat ditunaikan dalam lima waktu, ya walau dengan waktu yang masih molor, tapi aku bertekad untuk dapat melaksanakan kewajiban ini tepat waktu, melawan kesibukan dunia.

17 Febuari.

Isya baru saja lepas beberapa saat yang lalu, malam bergulir menuruti poros, sesuai dengan kodrat Illahi. Tak ada kuasa dunia yang mampu melawan, tak ada jabatan yang mampu mengatur perjalanan waktu, berjalan jauh sebelum manusia dihadirkan di bumi Tuhan ini.

Suara lembut menyapa dari balik pintu kamar, suara yang sangat akrab di telinga. Ia adalah Rika, gadis dari bumi Palembang ini mempunyai paras yang ayu, entah angin apa yang membuatnya beberapa pekan ini kerab memintaku untuk membimbingnya, katanya, ia ingin pula berhijab, dan dapat menunaikan kewajiban dari Tuhan.

Ia memelukku erat. Sesuatu yang berbeda dipertunjukan, tak biasa Rika datang begini dan langsung memeluk. Aku menatapnya mencari sesuatu yang mungkin dapat menjadi penjelasan atas sikapnya ini, hanya tatapan sendu. Kami pun kemudian duduk di sisi pembaringan.

"Masihkah Jana berada dihatimu, Tiwi?" tanyanya padaku, sebuah pertanyaan yang berat untuk dijawab. Memang sekarang mulutku tak seperti dulu, yang selalu mudah untuk berkeluh kesah padanya.

Sosok Jana pula yang membuatku mencoba menyimpan keluh kesah, dibandingkan dulu tentu jauh berbeda. Dulu bersama Rika dan yang lainnya, kami selalu bergunjing, membuka aib dan berkeluh kesah, bahkan tak jarang membicarakan aib teman sendiri, tentu saja ketika orang dimaksud selagi tak berada bersama kami.

"Buat apa pertanyaan itu, Rika?" aku berkata tanpa menjawab pertanyaannya, "jika jawaban iya kemudian dapat mengembalikannya, maka tak perlu menunggu waktu sebulan ini."

Rika mendesah, sepertinya ia mengerti bagaimana perasaanku. Bukan perkara mudah melupakan seseorang, apalagi membekas sangat dalam.

"Sesuatu harus kau ketahui," gadis yang sudah tak beremak ini menggenggam jemariku, erat sekali, "ternyata benar orang baik itu disayangi Tuhan, hingga Tuhan memanggilnya pulang dengan cepat."

Kata-kata temanku ini tiba-tiba menjadi sulit untuk dimengerti, apa hubungannya pertanyaannya tadi dengan perkataannya sekarang. Apalagi ini, siapa yang dimaksud Rika?

"Maksudmu Jana sudah ...?" Otakku segera tersambung dengan pernyataanya, bibirku tak mampu menyelesaikan pertanyaanku.

Bukan tak mampu, tapi takut. Ya ini takut, menginginkan tebakan ini bukanlah sebuah kebenaran. Tidak, ini pasti bohong. Pasti Rika hanya bergurau, apalagi ia memang gemar berlebihan jika dalam bercanda. Tapi wajahnya itu lo, kenapa tak seperti biasanya, ayolah ubah segera mimikmu itu Rika, aku mohon tertawalah dan katakan bahwa kau sedang mengerjaiku. Plis Rika, sebelum air ini keluar dari kelopaknya.

Yang diharapkan tak kunjung tiba, mata sendu Rika menatapku. "Iya Tiwi, aku pun baru tahu tadi. Abangku yang mengabarkannya."

Seluruh persendianku berasa lemah. Jantung pun berdetak lebih cepat, tak dapat dikendalikan buliran air merambat pelan menggenangi kelopak kemudian jatuh bercucuran di kedua pipi. Sulit aku menggambarkan suasana hati, sebuah kenyataan yang melebihi keinginan telah terjadi, aku tak hanya kehilangganya, tapi benar-benar tak ada kesempatan untuk dapat melihat rupa dan senyumnya, ia telah pergi. Kembali ke asalnya.

18 Febuari.

Saat ini aku bersama wanita paruh baya, garis kecantikan masih membayanginya. Dari balik kerudung panjang yang dikenakan, mata sayunya nampak tenang. Ia memelukku erat sekali, seperti mendapati sesuatu yang hilang. Ia mencium dahiku. Wanita inilah yang menjadi perentara keberadaan Jana di bumi Tuhan ini.

"Jana bercerita banyak tentangmu, setiap menyebut namamu maka senyumnya mengembang mengalahkan sakit yang menyiksa raganya." Lembut suara wanita yang aku kenal bernama Bu Pingka ini.

Jana memang sosok yang sulit dimengerti, tak pernah sekali pun ia mengenalkan keluarganya. Aku bukan tak meminta, tapi tolakan lembut yang selalu didapatkan. Ia hanya mengatakan belum waktunya. Saat itu aku memang tak ingin membantah, yang penting cukuplah dengan kehadirannya.

"Dia memintaku untuk menutupi hal ini darimu," kembali Bu Pingka berkata, menggenggam tanganku erat, seakan tak ingin dilepaskan, "tapi lihatlah kau sendiri yang datang, tentu menginginkan sebuah penjelasan. Ini adalah buah kesalahan masa laluku."

Banyak misteri yang tersimpan di muka bumi, begitu pula dengan sosok Jana. Tak banyak yang aku ketahui tentangnya, padahal banyak waktu yang kami lalui, hanya mendapati keajaibannya saja tanpa mengerti bagaimana jati diri. Dari Bu Pingka aku mengetahui bahwa Jana menderita leukimia akut. Dahulu Bu Pingka adalah wanita yang gaya hidupnya bebas, broken home. Hingga kehidupan bebasnya membuat ia mengandung benih dari lelaki yang tak bertanggung jawab.

Tentu saja ia tak ingin benih itu membesar, segala cara digunakan untuk membuang kandungannya. Berbagai obat telah dicoba namun kuasa Tuhan bekerja lebih hebat, kandungannya malah membesar. Dan akhirnya Jana lahir tanpa mempunyai seorang ayah. Bayi yang tak berdosa, tak diharapkan kelahirannya ternyata mampu membuat Bu Pingka menjadi wanita yang sesungguhnya, kehadiran bayi itu membuat ia mengubah pola hidup, tapi ganjaran dari kesalahan berakibat fatal pada bayinya, menderita sebuah penyakit yang makin hari merogoti dan akhirnya merenggut kehidupan.

Jana adalah malaikat bagiku, sosok yang datang dengan melihat dunia dari sisi lain. Ia tak mempunyai wanita lain selain diriku, ia ingin aku membencinya dan melupakannya. Tapi ia salah, tak pernah sekali pun aku membencinya, bahkan dengan cara menyakiti ruang pekaku. Namanya akan kubingkai, disimpan dan menjadi petuah hidupku kelak.

Saat ini aku berada pada gundukan tanah kuning denga papan kecil bertuliskan Jana Andika Pratama. Belum lama, gundukan ini baru berusia tiga pekan. Air yang berisi kembang berupa warna kusiramkan, dengan untaian kalimat Ilahi. Terima kasih malaikatku, dan kini kau telah bebas dari sakit dunia. Aku tahu senyummu mengembang di sana, sebagaimana senyum yang selalu kau hadirkan ketika memapah pribadiku yang keras.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top