Kursi Kampus Untuk Bu Dewi
Saya sudah lupa tepatnya berapa tahun di sini. Yang jelas kami mulai menempati rumah ini saat si Adek baru berusia empat tahun. Kemarin, ya Senin kemarin adalah hari pertamanya berseragam merah putih. Selalu terlihat imut dengan rambut yang dikuncir, kalau Si Kakak baru naik kelas tiga SMA, jadi ini adalah tahun-tahun terakhirnya menyandang predikat siswi. Saya memang tidak terlalu dekat dengan si sulung itu, kalau sama Si Adek sih akrab banget, acapkali di musim penghujan begini, saya tidur satu selimut dengannya.
Siang ini, saya duduk di muka pintu. Rumah dalam keadaan sepi. Hanya Bu Dewi yang beres-beres rumah. Sebuah sedan memarkirkan diri di depan halaman yang sejatinya sangat sempit, jadi terpaksa mobil itu berbagi dengan bahu jalan. Saya tahu pemiliknya, adik Bu Dewi. Ia pernah ke sini dua tiga kali. Orangnya jangkung, dengan rambut bergelombang.
Bu Dewi bergegas keluar dari ruang dalam saat orang yang berkulit kuning langsat itu mengucapkan salam.
"Eh Salma," sapa Bu Dewi sambil mengais sapu yang awalnya bersandar di kusen lalu menaruhnya di balik pintu, "masuk-masuk."
"Abang kerja, Kak?"
"Iya," sahut Bu Dewi mengurai senyum. Meski tanpa cumbuan bedak tidak memudarkan keelokan perempuan yang bulan lalu menginjak usia 38 tahun ini.
Salma, perempuan lulusan salah kampus ternama kota ini menjelajahi isi rumah. Entahlah apa yang membuatnya mengangguk-angguk. Mungkin melihat lantai papan yang mengkilat, atau pot-pot bunga yang tertata rapi di atas meja persegi panjang tempat Bu Dewi menyimpan perabotan dapur yang hanya dikeluarkan kalau sedang ada hajatan.
Ia melangkah ke sudut ruangan keluarga, tidak jauh dari televisi, berdiri lemari tanpa pintu yang didesain dengan model rak-rak bersegi empat. Setiap raknya bersusun buku-buku. Pada rak itu ditulis sesuai model buku. Pada bagian bawah tertulis 'dunia belajar, berdekatan dengan rak 'dunia sejarah', sedangkan paling atas tempat Bu Dewi menyimpan koleksi novel-novelnya bertuliskan 'dunia rupa hidup' bersanding dengan 'dunia bisnis dan informasi' buku-buku yang menjadi favorit suaminya.
"Buku-buku ini tidak bertambah, Kak," ujarnya dengan tatapan menjelajah isi lemari buku.
"Sebenarnya setiap bulan Bang Erwin memberi jatah untuk menambah koleksi bukuku, hanya saja untuk sementara kualihkan dulu untuk kepentingan lain."
"Untuk apa sih, Kak, buku-buku ini?"
Bu Dewi tersenyum menanggapi, sebuah pertanyaan yang memang tidak memerlukan jawaban. Bukankah adiknya ini seorang sarjana, tahu dengan persis fungsi dari sebuah buku.
"Betah Kak di rumah terus?" tanya Salma membelokkan topik setelah ia tidak menemukan jawaban pada pertanyaan sebelumnya. "Tidak berniat kerja?" sambungnya.
"Kau tidak lihat setiap hari aku berkerja," jawab Bu Dewi menempatkan bokongnya di kursi kayu, persis di depan saya. Sesaat kami bertatapan. Lalu saya kembali menatap adik Bu Dewi.
Salma nyengir mendapat jawaban yang bukan mewakilkan maksud pertanyaannya. "Kakak itu lulusan terbaik, dulu aktif di organisasi kampus, aku rasa Kakak tidak kesulitan mendapatkan pekerjaan. Kalau Kakak kerja dapat membantu keuangan suami. Lalu buku-buku ini pasti bertambah tanpa harus menunggu jatah dari suami Kakak."
Bu Dewi diam, mungkin belum ingin menanggapi.
"Apa Kakak tidak malu seorang sarjana hanya bekerja rumahan begini?"
"Apa ada aturan seorang sarjana tidak boleh menjadi ibu rumah tangga?" tanya balik Bu Dewi.
Salma lalu beranjak dan menempatkan dirinya di samping Bu Dewi.
"Aku ke sini untuk menawarkan pekerjaan pada Kakak," ujar Salma dengan suara yang amat rendah.
Bu Dewi menarik napas. Ini bukan pertama kali anggota keluarganya mengeluhkan ia yang memilih sebagai ibu rumah tangga. Setiap pertemuan keluarga selalu ada suara sumbang yang membicarakannya. Tidak salah memang, bahkan ia dulu memiliki keinginan yang sama, kalau sudah selesai kuliah ya cari kerja. Sepertinya sudah menjadi anggapan orang banyak bahwa kuliah dan kerja adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Untuk apa kuliah kalau tidak kerja, bila hanya menjadi ibu rumah tangga tidak perlu capek-capek menghabiskan waktu empat tahun di kursi perguruan tinggi.
"Kuliah dah ibu rumah tangga rasanya tidak ada yang salah," jawab suaminya saat dulu ia mengajukan keinginan berkerja.
"Apa kau kekurangan?" tanya suaminya, "tidak perlu cemas, aku akan bertanggung jawab dengan masalah keuangan rumah kita. Tanggung jawabmu adalah mengurus anak-anak, memastikan mereka dalam keadaan yang baik."
"Aku malu, Bang."
Suaminya menatap dengan pandangan lembut. "Malu dengan tidak menggunakan titelmu itu?"
Tidak ada suara, Bu Dewi memilih menunduk.
"Harusnya kau bangga, ibu rumah tangga dengan titel sarjana," suaminya mengusap pergelangan tangannya. "Kuliah itu bukan patokan untuk mewajibkan seseorang harus memiliki pekerjaan, kita kuliah bertujuan menambah wawasan, membuka pola pikir, membunuh keegoisan seperti menerima pendapat orang lain dan adakalanya mempertahankan pendapat. Intinya semakin memberikan pencerahan kepribadian. Lalu diaplikasikan saat kita terjun ke masyarakat.
"Ketika berumah tangga, maka kau mampu memosisikan diri menjadi ibu yang baik, istri yang baik. Saat berada di tengah-tengah masyarakat kau dapat menjadi warga yang baik dan ikut berperan kemaslahatan orang banyak. Pun di tengah-tengah keluarga mampu menempatkan diri dan memperlakukan mereka dengan baik."
"Cobalah untuk berpikir yang lebih besar tentang keadaanmu sekarang," lanjut suaminya setelah beberapa saat memberi jeda. "Ibu rumah tangga itu adalah sebuah profesi yang terhormat. Sungguh aku sangat berterima kasih dengan pelayananmu selama ini. Jika aku berada di posisimu sekarang belum tentu aku mampu melakukannya. Menjadi ibu rumah tangga itu bukan perihal gampang, untuk itulah aku sangat menghargai seseorang yang sudi memberikan sepenuh waktunya mengurusi rumah."
Dari mana munculnya sebuah kebanggaan? Adalah dukungan penuh dari orang terdekat. Hal inilah yang membuat Bu Dewi berbesar hati dengan kondisinya.
"Aku sudah memiliki pekerjaan," tolaknya dengan tetap mempertahankan senyuman atas tawaran Salma. "Aku bahagia dengan pekerjaanku sekarang, dan rasanya aku belum memerlukan pekerjaan lain."
"Apa Kakak tidak ingin memberi uang saku pada Ibu dari keringat Kakak sendiri?" tanya Salma dengan raut kecewa.
"Bukankah setiap bulan aku selalu mengirimkan uang pada Ibu. Suamiku tidak melepaskan tanggung jawabnya. Meski dia tidak memiliki kewajiban dengan ibu kita, dia tetap menyisihkan sebagain rezeki kami."
"Ah sudahlah, percuma ngomong sama Kakak," Salma berdiri lalu memasang kaca mata hitamnya. "Aku pamit," katanya. Entahlah mungkin dengan perasaan dongkol, ketika berpapasan dengan saya, ia menginjak bagian ujung tubuh saya. Sakit sekali, dengan spontan saya mengerang lalu meloncat.
"Kucing sialan," bentak Salma.
Bu Dewi menggeleng beberapa kali saat deru mobil adiknya meninggalkan pekarangan. Ia tersenyum meraih saya, lalu mengelus-ngelus bulu-bulu tubuh saya. Nyaman sekali rasanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top