Jurang Ketulusan
"Apa kabar, ini anakmu ya?" Komentarku pada postingan seseorang yang memang belum sekalipun disapa. Hampir saat membuka beranda maka aku mendapati postingannya, seperti yang aku lihat waktu itu. Ia menggendong bayi lelaki, dan di sampingnya lelaki berwajah lembut memeluk erat.
"Baik. Iya ini anak bersama suamiku," balasnya beberapa saat kemudian.
Kembali aku mengetik, "Bahagia selalu ya, salam sama suamimu."
Tak lagi ia membalas, kemudian aku membuka profilnya. Pada dindingnya selalu memamerkan kebahagian, diselingi beberapa gambar bersama seorang lelaki. Hanya saja ketika aku scrol kebawah beberapa postingannya memperlihatkan gambar yang sama, tiga gambar saja. Persis hampir dua kali sehari memposting gambar yang sama, kata-jata saja yang berbeda, namun dengan isi yang serupa, curahan hati kebahagian bersama anak dan suaminya. Terlihat ia begitu memuja suaminya itu.
Putri Astika Maharani, begitu nama panjangnnya. Aku ingat betul ketika pertama kali ia memperkenalkan diri. Nama yang bagus, seelok rupanya. Hingga kemudian seiring waktu membuat hati kami tertambat, setuju untuk mengukir hari bersama. Waktu yang kami lewati sungguh menyenangkan, walaupun ia bukan gadis pertama mengisi hatiku, namun bersamanya berasa lebih berkesan. Pandai membawa suasana hati, waktu yang beranjak sama sekali tidak membosankan.
Memang kami tidak pernah berikrar tentang kelanjutan hubungan, sebagaimana kami memang berbeda keyakinan. Pada suatu waktu kami mengakhiri hubungan itu dengan cara yang sangat baik, tepat pada hari kami berjanji mengikat hati. Aku tak tahu persis bagaimana warna hatinya, yang jelas matanya memerah walaupun tak ada yang keluar dari sana. Mulai saat itu kami tak pernah lagi bertemu.
Sekitar tiga tahun lalu, aku menemukannya di beranda medsosku. Tentu saja segera menambahkan ia sebagai teman. Meski sudah berteman tak lantas kami saling sapa, apalagi ia selalu mengunggah kebahgaian bersama keluarga kecilnya membuat aku menahan diri untuk menyapa.
Seminggu yang lalu sebuab rahasia itu terbuka untukku. Di sebuah toko buku ternama di kota kembang ini, mempertemukan aku dengan sahabtnya, Lili Prisia. Tepatnya, ketika aku mengitari koridor yang berjubel buku-buku novel. Walau sudah lama tak bersua, namun kami masih saling mengingat. Sempat aku berpikir bagaimana dengan Astika, apakah ia juga segemuk Lili ini. Setahuku, dulu Lili mempunyai tubuh yang amat ideal, mungkin gadis kecil yang bersama saatnya itu ikut merubah postur tubuhnya.
Kami kemudian memutuskan untuk mengobrol lebih lama, untuk itulah kami mampir di rumah makan yang menyediakan ayam ala Amerika, tepat di depan sebuah mall ternama kota ini.
"Kau masih sering bertemu Astika?" tanyaku.
Untuk beberapa saat Lili berdiam diri, hanya tangannya saja bergerak lembut mengelus kepala putrinya. Kemudian ia menggeleng lemah.
"Terakhir tiga tahun lalu, empat puluh hari tunangannya berpulang."
Sontak saja membuatku kaget, aku menatapnya dengan pandangan meminta penjelasan . Lili rupanya mengerti, kemudian kembali berkata setelah menyeruput minuman bersoda.
"Tunangannya meninggal kecelakaan, ketika hendak merayakan setahun hubungan mereka. Yang aku dengar, saat itu Astika meminta tunangannya untuk segera pulang tepat waktu, dan sepertinya membawa mobil terlalu kencang hingga membawanya pada maut."
"Bukankah sekarang dia sudah menikah?" cepat aku memburu Lili dengan pertanyaan.
Lili menggeleng. "Aku mengerti dengan pertanyaanmu, sebagaimana orang lain pastilah mengira saat ini Astika berbahagia bersama suami dan anaknya, seperti yang kau lihat di beranda medsosnya, bahkan aku melihat kau berkomentar di sana. Setiap hari aku pun melihat kata-kata indah dan kebahagian bersama suaminya."
"Lelaki yang bergambar bersamanya Itulah tunangannya dulu, yang sudah meninggal," lanjut Lili berucap setelah membersihkan mulut putrinya dengan tisue. "Dia memilih untuk tidak menikah. Hingga sampai saat ini Astika hidup dengan mimpinya, hidup dengan hayalan yang ia ciptakan sendiri. Baginya, tunangannya masih hidup, setiap hari dia hanya menunggu kedatangan tunangannya itu. "
Dari obrolan kami itu banyak hal yang tidak aku duga, begitu dalam rasa yang Astika berikan, hingga membuat akalnya tak mampu menimbang. Aku mengira sebuah ketulusan hanya terdapat dalam cerita-cerita korea yang romantis, yang bahkan membuat penggemarnya bercucur air mata. Dari Lili aku juga mengetahui bahwa sekarang Astika tak lagi tinggal di kota ini, semenjak tunangannya meninggal ia dibawa keluarganya di daratan Sumatera, lantaran itulah yang membuat Lili tak pernah lagi bersua, hanya mendengar kabar dari sanak famili yang masih di sini. Lili memberiku tahu bahwa tiga foto yang sering dipasang pada laman medsosnya adalah foto terakhir bersama tunangannya, sedangkan bayi lelaki itu adalah keponakan dari Astika.
Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar, namun gadis yang dulu aku kenal periang dan lincah masih tertinggal di sana. Masih berada pada masa yang seharusnya ia lupakan. Aku tak ingin mengubris betapa bodohnya ia mengorban waktu dengan sesuatu yang mustahil, yang aku salutkan betapa tulusnya ia walau jurang begitu menganga, jurang yang tak akan mampu diseberangi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top