Hujan dan Malam Ini.
"Dasar cewek gak benar, kegatalan amat sih jadi orang!" semprot seorang gadis yang kukenal bernama Nia. Dia adalah kakak kelas.
Banyak mata yang mengarah padaku. Pandangan mereka seperti warga yang memergoki seorang pencuri. Untuk beberapa saat aku diam, menenangkan perasaan yang sulit untuk digambarkan.
Tunggu dulu, jangan kalian kira aku adalah cewek gampangan atau beranggapan sama dengan Nia. Tolong dengarkan penjelasan ini, setelah itu silakan kalian beranggapan.
Sebelum malam ini, sebelum sekarang seperti yang kalian saksikan dengan tubuhku yang gemetar, dan pandangan mata mereka yang penuh benci. Aku harap kalian yang terjebak dengan situasiku ini tidak beranggapan keliru.
Tiga hari yang lalu, setelah mendengarkan pengumuman dari pihak sekolah, menyatakan bahwa kami yang duduk di kelas sepuluh dan sebelas mulai hari itu sampai seminggu ke depan dipersilakan belajar di rumah. Sebab kelas dua belas akan melaksanakan try out. Aku rasa tidak perlu menjelaskan try out itu apa, kalian tentu paham.
Di kantin biasa tempat aku jajan. Bersama Rahma, teman sekelasku. Kami duduk persis di depan mejanya Mbak Minah, penjaga kantin. Suasana dalam keadaan sepi, aku memang suka dengan keadaan seperti itu. Membiarkan yang lain berdesakan terlebih dahulu, setelah mereka kembali ke tempat biasa nongkrong, barulah aku ke situ mengisi perut.
Mataku tertuju pada kakak kelas yang kukenal bernama Hery, berdiri kebingungan. Beberapa kali ia menoleh ke samping, kemudian berulang kali pula meriksa isi kantongnya. Bisa kutebak, dompet atau uangnya tercecer.
"Jangan alasan deh," suara Mbak Minah memperingatkan.
Hery memang boleh dibilang populer, dia jago sepak takraw, makanya aku mengenalnya. Aku pun sering menyaksikannya bermain di sela-sela jam istirahat, apalagi dengan atraksinya kalau lagi meloncat ke udara dengan gaya salto, dan membanting bola yang terbuat dari rotan itu dengan ujung kakinya. Beeuuh, keren pokoknya.
Dengan menggaruk kepalanya yang kukira tidak gatal itu, Hery melengos. Ia berbalik dan tatapannya berhenti ke arah kami. Tentu kalian bisa menebak bagaiamana reaksiku yang ketahuan mengawasinya. Ia tersenyum, meski aku tahu itu adalah senyum yang dipaksakan. Membuang malu mungkin, padahal wajahku lebih gagap karena ketahuan melihatnya.
Hery mendekat ke arahku, "Gina 'Kan?"
Kok dia tahu namaku, padahal kami belum pernah bertegur sapa. Oh iya aku lupa, pasti dia melihat name tagku. Saat itu yang kuiingat mengangguk dan mengalihkan pandangan pada taman sekolah.
"Boleh pinjam uang, dompetku sepertinya ketinggalan di rumah." Seperti yang telah kutebak sebelumnya, pasti itu maksudnya mendatangiku.
"Berapa?" jawabku cepat. Agar urusan beres dan situasi kembali normal.
"Lima belas ribu," jawabnya sambil mengurai senyum. Hery bukan tergolong cowok tampan, hanya saja lesung pipinya membuat ia nampak manis. Oh iya, wajahnya juga terlihat bersih tanpa bekas jerawat. Meski tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun otot-ototnya terlihat keras. Maklum dia adalah salah satu atlet yang berhasil membawa harum nama sekolah kami.
Itulah awalnya pertemuan kami. Rupanya tanpa sepengetahunku, Hery meminta kontaku dengan Rahma. Begitulah pengakuannya.
Ia sering menghubungiku, dan sebagai ucapan terima kasih Hery mengajakku hangout. Awalnya aku menolak, apalagi orang tua tidak mengizinkan keluar malam. Namun setelah di desak-desak, akhirnya menyetujui malam ini dengan catatan tidak boleh terlalu malam.
Dengan alasan nginap di tempat Rahma, aku mendapat izin dari ibu. Begitulah, malam ini kami bertemu. Dari rumah selepas magrib aku pergi meninggalkan rumah bersama Rahma, kemudian di sebuah tempat yang kami sepakati, aku kemudian bersama Hery, dengan motor besarnya diajak berkeliling menikmati suasana malam di kota kecil kami ini. Senang aja bisa keluar, selama ini setiap weekend aku habiskan di kamar dengan menonton atau paling nginap di tempat teman atau saudara.
Kami kemudian singgah di sebuah kafe. Setelah beberapa lama di sini, ponsel milik Hery bergetar. Dari rautnya, membersitkan sebuah kepanikan saat membaca pesan yang masuk.
"Kamu tidak boleh larut malam 'Kan?" tanyanya padaku sambil memasukan hpnya ke dalam saku.
Aku hanya mengangguk, padahal masih awal. Baru pukul delapan.
"Kalau aku yang ngantar, nanti ketahuan dong," katanya lagi, "atau kuhubungi saja Rahma menjemput kamu di sini?"
Sebelum aku menjawab, telepon genggamnya kembali bersuara. Sepertinya ada panggilan yang masuk. Hery kemudian bergegas ke luar. Ia menjawab telepon itu di sana. Setelah beberapa lama, sambil menenteng helm lelaki itu kembali masuk.
"Kamu tunggu di sini sebentar ya, maaf ini ada keperluan mendesak."
"Kakak tidak usah ke sini lagi, aku sudah hubungi Rahma buat jemput," sahutku
Tidak suka, ya itu bentuk kekecewaanku dengan sikapnya. Hery hanya menoleh sebentar, sambil membuang senyum yang nampak sekali dipaksakan. Cukup lama aku menunggu Rahma, sehabatku itu menyuruh untuk menunggu di sini sebab dia sedang membelikan ibunya martabak manis. Saat itulah Nia dengan beberapa temannya datang ke mejaku kemudian langsung memaki-maki.
Aku keringat dingin sementara Nia dan teman-temannya masih mengoceh.
"Aku tidak seperti itu!" teriakku tanpa sadar.
Mata Nia makin melotot, kemudian menghempaskan telapak tangannya ke meja dengan keras. Persis di depan wajahku.
"Kamu iitu perusak hubungan orang tau gak!" teriak Nia lebih keras," Hery itu pacarku, beraninya kau jalan sama dia!"
Aku berusaha menjelaskan pada Nia bahwa Herylah yang mengajak jalan, bukan aku yang mengemis-ngemis. Namun yang didapatkan adalah simbahan air jeruk pesananku. Beberapa teman-temannya mendorong kepalaku dengan perkataan yang tidak jelas lagi kudengar.
Mendung yang sudah nampak dari sore tadi membuahkan hasil, hujan mulai jatuh dan kemudian datang lebih deras. Aku yang sudah tidak tahan, dengan sekuat tenaga berdiri dan berlari ke arah luar. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, kuberlari bersama hujan yang semakin hebat.
Kenapa aku yang disalahkan, kenapa bukan Hery yang disalahkan Nia. Kenapa aku yang dicap PHO dan kenapa. Banyak sekali pertanyaan yang mencerca benakku. Ini pasti dosaku pada ibu, ya karena telah berbohong padanya. Kalian juga pasti mengutukku karena hal ini, seandainya aku tidak keluar pastilah tidak mendapatkan perlakuan yang seperti ini.
Ibu maaf, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sekarang aku masih menyusuri tepi jalan, Rahma pasti tidak menjemput dalam keadaan hujan begini, untuk menghubungi ibu rasanya malu sekali. Lalu kepada siapa aku minta tolong, apa kalian mau menolongku?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top