Dari Sudut yang Kosong

Untuk beberapa saat aku diam mematung. Menatap punggungnya yang semakin jauh, kemudian dua daun pintu itu melenyapkannya.

Lalu kenapa aku masih berdiri di sini? Mataku dengan jelas mengawasi berjel-jel manusia berdatangan di tempat ini. Hanya saja, pandanganku berasa kosong. Mulai berharap dia berdiri di situ, sambil memberi senyum. Atau melambai, memanggil namaku.

Hei, sadarlah. Itu hanya ilusiku saja. Bangun, dan segera tinggalkan tempat ini yang seharusnya tak didatangi. Lebih baik pagi tadi pulas di atas dipan, atau diam saja menghadap meja sambil menyesap kopi panas.

Tidak ada yang benar-benar menjadi pasti. Namun ini jelas menjadi alamat perjumpaan yang mungkin akan menjadi mustahil. Lagi dan lagi, berharap untuk melihatnya keluar manis dari pintu itu, dengan mata yang menginginkan aku untuk mendekat, kemudian membisikan cerita masa depan. Cukup dengan isyarat itu saja. Maka aku akan menunggu sampai jiwa terlepas.

Gila, sekarang aku benar-benar menjadi tidak waras. Kemana logikaku yang selama ini berhasil membentengi. Kenapa dengan mudah dihancur leburkannya kembali. Ya karena memang ini bukan pertama kalinya aku menyerah padanya. Rasa itu memang nyata, semakin aku hilangkan malah semakin hangat membasahi lubang hati yang menganga.

Ini adalah pertemuaan ketiga kami. Dan aku rasa tidak ada lagi pertemuan keempat dan seterusnya.

Salahku juga, tak seharusnya malam kamarin datang menemuinya. Dan kenapa kawanku itu mengabarkan kehadirannya di kota ini. Apa ini yang namanya kebetulan yang sebetulnya tidak ada itu? Atau perasaanku saja yang memaksakan bahwa ini harus menjadi sebuah kebetulan. Ah, sungguh penalaranku sekarang bekerja sangat tidak sehat.

"Bagaimana kabar gadis kecil itu?" Aku berdiri di teras rumah kawan karibnya. Bukan aku tak mau menatapnya, tapi aku takut tenggelam dalam golekan pandangannya yang selalu berhasil membiusku.

Dari tempat kuberdiri terdengar jawabannya, "Dia sekarang sudah kelas satu SMP. Dan dia sangat menyayangi ayahnya."

Kalimat terakhir itu seakan menusukku. Lebih, ya lebih dari sekadar kata menusuk. Sakit, dan entahlah kalimat apalagi yang cukup mewakilkan perasaan ini.

Atau dia memang sengaja meyakinkan bahwa tidak ada lagi namaku di sudut hatinya. Bukan sebuah rahasia, bahwa lelaki yang menjadi suaminya itu bukan ayah dari anaknya. Aku, ya jelas sekali. Akulah bapak dari putri manis itu.

Yakin, dia tak menutup telinga tentang kabarku. Bagaimana dia bisa tak acuh bahwa sampai detik ini aku masih membujang. Inilah yang kemudian menjadi anganku, bahwa suatu hari kelak dia kembali datang ke sini. Sebab dia tahu persis dimana aku berdiri menunggu. Dan dia pun tahu, aku tak akan keberatan meski dalam statusnya yang pernah menjadi istri orang lain.

Nyatanya semua ini memang khayalan belaka, dia ke sini bukan untukku. Hanya berulang cerita pada karibnya, sembari melepas rindu akan kampung halaman. Dan jelas bukan untukku.

Suara mesin bersayap melintas, dan aku yakin sekarang dia duduk manis sambil memejamkan kelopaknya. Merangkul gadis mungil itu. Kemudian saat mendarat kelak pastilah bergegas masuk dalam pelukan lelakinya.

Ah, cuih!

***Inspirasi cerita ini dari saat saya ngopi di ruang tunggu. Seorang pria dan seorang wanita saling bertatapan di pintu ruang tunggu bandara. Aneh, kok mereka tidak saling senyum. Bahkan melambai, padahal pandangan si lelaki terus mengikuti tubuh perempuan itu yang masuk sambil mengiringi gadis kecil.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top